Pages

Jumat, 22 Desember 2017

Aku, Dia, dan Pulang

Menjadi pencinta yang diam terkadang adalah pilihan paling konyol. Membuat cerita-cerita sendiri, memainkannya seperti wayang di balik layar imajinasi. Menggerakkan tokohnya, menyetingkan waktu dan tempatnya, menaburkan suasana di sekujurnya. Semuanya adalah khayalan. Perjalanan cinta diam diam.
Dan wayang dalam kehidupan aslinya bergerak semakin menjauh. Kadang dia bersembunyi di balik rak rak buku yang sering aku sentuh, namun ketika aku kejar dia semakin dalam bersembunyi, mungkin dia malah masuk menjadi kata kata, huruf-huruf dalam buku buku Abdul Majid, Suharsimi Arikunto, atau Zainal Arifin.
Ketika aku sudah pilu dia berjalan di sepanjang jalan berpaving menuju satu-satunya gedung Pascasarjana, melewati taman hijaunya dan hilang di balik pintunya. Aku menunggunya, duduk di bahu jalan. Tidak tidak, aku tak berambisi untuk bisa bicara, aku hanya ingin melihatnya lewat entah sedang baca buku atau berceloteh dengan kawannya. Hanya saja, sampai adzan magrib menggaung dia tak keluar lagi. Apakah gedung itu punya jalan lain selain pintu masuknya, atau dia melayang begitu saja seperti oksigen. Melebur bersama udara lainnya, membaur bersama karbon dioksida.
Aku masih belum menyerah. Kutunggu dia di bawah payung warna warni dengan kursi-kursi batu berwarna warni. Ku tunggu dia menyeduh kopi di sebuah panggung mini dimana agama, politik, dan wanita di perdebatkan antara mereka. Aku menunggunya sambil menyesap jus melon berwarna orange yang manisnya semakin menyusut. Hingga terik matahari membuat orang tak bisa bertahan dan meninggalkan kursi batu tanpa payung warna warni dia juga tak ada. Hanya ada asap rokok yang semakin membumbung, berwarna putih dan tebal disusul kepulan asap kopi cappucino dan kopi hitam. Aku menyeret langkahku ketika matahari lelah berada di puncaknya dan sinarnya jadi tak sepanas beberapa waktu lalu. Aku berlalu, meninggalkan kursi batu berpayung pelangi dengan gelas jus yang kosong.
Kutemukan dia akhirnya, badannya menembus pintu gedung stasiun berwarna putih. Dia tergesa meski jam masih berdetak menuju angka delapan. Aku mengerjarnya, namun aku tak lagi punya tiket untuk masuk ke gerbongnya. Aku tahu, beberapa menit lagi dari caranya berlari, kereta sedang menunggu dia dengan mesinnya yang tergopoh-gopoh. Aku tak dapat mengejarnya dan berjalan gontai menuju parkir motor yang aku ganjar lima ribu. Aku mengeluarkan motorku, memutarnya ke arah pulang. Dan aku membayangkan dia sedang melewati rumah-rumah yang rapat, sawah-sawah yang hijau, kebun tebu yang lebat, dan berpapasan dengan puluhan mobil yang silih berganti. Kulihat dia mengeluarkan sebuah benda kotak berwarna hitam, memasang gulungan kabel dan menancapkan dua cabangnya di lubang telinga. Aku tahu dia melihat jamnya, memastikan dia tak akan terlambat sampai di kota yang jauh sembari berdoa tak banyak masalah dengan crash yang sering terjadi antar kereta, karena akan banyak kota yang ia lewati sepanjang perjalanan, akan sangat banyak stasiun yang menunggu untuk diminta berhenti. Sedang aku, aku sudah menikung di perempatan Klojen, dihentikan lampu merah perempatan Rampal, dan memacu dengan sangat lemah motor menuju pulang (ku).

Rabu, 20 Desember 2017

Tersesat di rindu

Sudah pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Mataku tak juga ingin terpejam. Padahal aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Pikiranku malah sedang sibuk mendengarkan alunan lagu dari penyanyi legendaris yang sekarang tinggal nama dan karya. Tidak, tidak, bukannya isi kepalaku sedang berputar-putar memainkan kepingan memori yang aku miliki tentangmu.

Malam ini aku ingin jujur pada rentetan mendung yang mengubur bintang cantikku, aku sedang merindukanmu. Benar benar rindu yang kanak kanak. Memilih menyelencari jendela sosmedmu, memandangimu yang beku, membaca puisi yang kau tulis di papan putih sampingnya, dan mengamatimu yang sedang bicara di kolom komentar. Rinduku kanak kanak yang takut berdiri, takut jatuh. Rindu yang menawanku di cawan mimpi, membuaiku dengan cerita-cerita indah pangeran dan putri yang selalu berakhir bahagia.

Rinduku tak akan pernah dewasa. Karena aku tidak berusaha untuk menghentikan lajunya rindu. Aku hanya menikmatinya, meski rindu membuatku sekarat tiap detik ketika mengingatmu.

Minggu, 03 Desember 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 6)

Matahari kuning jam 10 pagi menembus dedaunan mangga kurus di halaman rumah Bude. Ue yang baru mencuci Jupli (motor pinjaman bude buat Ue) merebahkan tubuhnya di kursi abu-abu. Kepanasan dan lengket Ue mengipasi tubuhnya dengan tangan. Untuk ukuran minggu pagi ini adalah minggu yang sempurna. Langit biru cerah tanpa awan, matahari bersinar begitu kuning di atas langit merangkak ke puncak tahtahnya sebelum akhirnya tergusur juga.
Lagu Faded menyentak dari dalam smartphone berwarna putih lusuh akibat kejahatan yang dibuat Ue. Sampai lagu berganti menjadi "Side to side dari Ariana Grande" Ue masih menatap langit biru itu. Lagu itu hanya backsong saja, sedangkan pikirannya melayang pada Kak Rizal yang kemarin menyapanya.
Ue meraih smarthponenya, mengabaikan lagu lain yang kini terputar dan menjerit-jerit. Sebuah notif whatshapp berwarna putih menghiasa atas layar smartphonenya. Ue menggesernya ke bawah tanpa nafsu. Biasanya notif itu  hanya berisi chat grup beberapa organisasi yang diikutinya yang biasanya hanya dibuka atau sesekali di baca oleh Ue.
Pesan itu ternyata dari nomor yang tak dikenal. Bukan tidak dikenal sebenarnya, Ue saja yang jarang mau memberi nama pada kontak-kontak whatshappnya. Pesan itu berbunyi "Ue mau pergi ke Malang Tempoe Doeloe nggak?"
Penasaran Ue klik pesan itu dan munculah kolom percakapan lengkap dengan foto kecil di ujung kiri atas. Laki-laki. Sepertinya Ue kenal. Dia buka foto profil orang itu.
"Hah, nggak mungkin!" pekiknya.
"Apanya yang nggak mungkin Ue?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul.
Ue menoleh, menyembunyikan smartphone di balik tangannya.
"Bukan apa apa Kak."
"Kamu kelihatan kaget banget??"
"Masa iya? Perasaan kakak aja paling."
"Biasanya sih gue nggak pernah salah."
"Eh Kak, Bude ada di rumah nggak?" tanya Ue mengalihkan topik.
"Nggak ada, mama pergi ke rumah Tante Tuti di Arjosari."
"Emmm, kalo gitu Ue minta ijin sama kakak aja ya."
"Minta ijin apa?"
"Ue mau ke MTD kak."
"MTD?" Kevin tampak menimbang-nimbang.
"Gimana Kak?"
"Boleh sih, Alrey katanya juga mau ke sana."
"Fix, berarti boleh ya?"
"Iya, sekalian temenin Alrey ya? Apa dia gue suruh jemput lu ya?"
"Nggak, nggak usah Kak, Ue berangkat sendiri saja," kata Ue. Badannya sudah berdiri dan berlari menuju kamar. Dia harus mandi sebelum bau bau asam yang bisa membuat besi berkarat dari tubuhnya tida bisa hilang.

Rabu, 29 November 2017

Kuburan Cinta di Tomohon



Udara dingin perbukitan menerpa anak rambut yang usil menggelitiki dahi. Berkibar-kibar senada dengan gerak awan ke arah timur, bercampur dengan kawan-kawannya, bercengkerama membentuk mendung yang semakin lama semakin menggelap. Jam 7 pagi waktu indonesia tengah. Suasana cukup terang untuk memandang gunung Lokon di sebelah barat tempatku berdiri dari tepi jalan Tondano-Tomohon. Di seberang jalan dari rumah kayu berwarna coklat renyah itu aku menghela nafas begitu dalam. “Nyatanya cukup jauh aku berlari, cukup jauh aku menghindari masalah yang menerpa pori-pori hatiku yang ingin aku sembuhkan dan rapatkan kembali,”
Aku duduk di trotoar jalan, tak peduli dengan tatapan orang yang penuh tanya, “sedang apa dia duduk di sana?” mungkin begitu tanyanya. Aku tak peduli pada mereka yang melihatku sambil berbisik-bisik, aku sudah lelah berdiri dan aku butuh untuk duduk, tetapi aku tidak ingin kembali ke pemondokan, mengurung diri dalam kamar berukuran 4x4 meter menghadirkan kenangan itu kembali ke atas memoriku. Aku sudah terlalu jauh berlari.
Kembali lagi ke trotoar. Awan masih belum tuntas arak-arakannya dan gunung Lokon juga masih hijau, diam, dan menjulang tinggi menampilkan siluet seperti sebuah gunungan lumut yang di tumbuhi jamur-jamur rumah di lereng gunungnya. “Ya, seperti itulah perasaanku, hijau, subur, besar, dan diam. Dan saking lamanya perasaan itu dipendam dia jadi berlumut. Perasaan besar yang berlumut, apakah kamu pernah sesekali menengok perasaan berlumut ini? Nyatanya aku gunung Lokon[1] yang tetap diam menyimpan kisahnya sendiri sambil mengamatimu yang lalu lalang pergi ke kampus, membeli bahan makanan, dan sholat jum’at seminggu sekali.”
Angkot warna biru muda hilir mudik di hadapanku. Kamu tahu? seperti angkot di kota kita yang diberi nama line, di sini kamu akan mengenalnya dengan nama otto. Angkotnya sama berwarna biru, bentuknya juga sama, hanya tempat duduknya yang berbeda. Jika di kota kita kamu akan duduk di kursi-kursi yang di letakkan memanjang di tepi jendela, di sini kamu akan menemui angkot dengan susunan tempat duduk sama seperti susunan tempat duduk pada mobil. Di bagian depan ada kursi sopir dan kursi penumpang, di belakangnya ada tiga deret tempat duduk dengan kapasitas 8 orang. Sama bukan dengan di kota kita?
Otto akan mengantarkanmu ke tempat yang kamu mau, jauh dekat ongkosnya sama saja. Namun, otto yang ada di depan pemondokanku hanya dapat mengantarmu ke kota Tondano dan Tomohon yang sekarang aku tinggali. Naik saja, tapi jangan sesekali bilang “kiri” pada supirnya ketika kamu ingin turun dari otto. Dia tak akan mengerti, di kota ini jika kamu ingin berhenti kamu bisa mengatakan “stop” saja atau “muka”. Tapi apa pentingnya itu sekarang, kiri, muka, ataupun stop tak berlaku lagi bagiku. Semuanya terus berjalan, semuanya tak bisa berhenti, dan kata apapun yang aku sugestikan untuk bisa melupakanmu nyatanya hanya omong  kosong dan tak memiliki arti. Seperti om supir angkot yang tak paham maksud “kiri”, hatiku sendiri juga tak paham kode untuk berhenti.
“Hei,” sapa seseorang mengalihkan lamunanku. Tanpa mempedulikan wajah kusutku dia duduk di sampingku, memandangi arak-arakan awan di belakang pemondokan Prof. Heydemans.
“Kusut sekali?” tanyanya singkat padaku, “ada masalahkah?” tanyanya dengan logat Manado yang cukup kental. Aku tak menjawab hanya menghela nafas saja. Tak ingin membagi cerita pada orang yang baru aku kenal.
“Saya akan dengar cerita dari ngana[2], ya setidaknya jika saya tak bisa kasih solusi untuk ngana, beban ngana jadi lebih ringan setelah cerita”
Aku masih diam.
“Coba saya tebak, ngana putus cintakah?”
“Boro-boro putus cinta Ga, pernah jadian saja nggak,” kataku akhirnya.
“Tapi wajah ngana kusut sekali, seperti orang lagi patah hati saja,” tanya Erga.
“Entahlah, apa aku berhak untuk patah hati, sedang perasaan ini hanya aku simpan sendiri, dia tak salah to jika tak tahu?”
“Ya kenapa ngana tak katakan saja?”
“Aku nggak mau merusak pertemanan kami Ga, lagian apa gunanya mengatakan itu sekarang, satu bulan lagi dia akan menikah dengan panaseanya”
“Siapa itu panasea?”
“Ya, anggap saja gadis pujannya,”
Its complicated Ris,” kata Erga. “Emmmm, saya ada tempat bagus untuk ngana “ katanya setelah cukup lama. Tangannya lalu gesit menarik lengan tanganku. Langkahnya tiba-tiba menarikku mendatangi bendi[3] mengatakan tujuan yang tak aku mengerti dan mengajakku untuk naik di atas keretanya.
“Kita mau kemana Ga?” tanyaku bingung. “Sudahlah ngana akan baik saja jika sama saya, saya jamin itu,” kata Erga. Bendi semakin kencang, bunyinya yang tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk mengingatkanku pada lagu masa kecil “Pada Hari Minggu”. Masih ingatkah kamu?
“Hei Ris, janganlah murung terus, ngana tak maukah lihat indahnya ini kota? Ini Tomohon Ris, Sulawesi, bukan Jawa lagi. Tak maukah ngana abadikan keindahan-keindahan ini?” kata Erga membuatku bicara. “Om, lihat dia om, wajahnya muram saja bagai mendung, jangan-jangan setelah ini Tomohon hujan gara-gara dia,” canda Erga pada Om Kusir. Erga menatapku, merasa gagal karena tak dapat membuatku tertawa atau bicara. Sayangnya Erga bukanlah orang yang mudah menyerah, gagal mendapat perhatianku lewat candanya dia mengeluarkan smartphone dari dalam sakunya. Membuka aplikasi instamoment dan memaksaku untuk tersenyum di kamera.
“Ya, disini Erga dan Riska, torang[4] sedang jalan-jalan di kota Tomohon. Dan saya mau kasih tunjuk tempat spesial buat teman saya ini biar mukanya tak masam dan mendung,”
“Sudahlah Ga,” aku menepis smartphone yang mengambil gambar dari kamera depannya.
“Sakitkah?” tanya Erga, wajahnya kali ini berubah serius menilik senti persenti wajahku. Mataku berembun, pertanyaan itu seakan membludakkan emosi menjadi tetes-tetes air mata yang turun tiba-tiba dari kelopak mataku.
Kali ini Erga tak dapat berkata apapun, hanya membiarkanku menarik nafas berulang kali untuk menenangkan isak yang telah terlanjur hujan. Sebenarnya aku sangat malu, di usiaku yang sudah lebih dari 20 tahun, masih saja aku menangis, di depan orang asing pula.
Sampai di perempatan Jalan Lembong Erga mengajakku turun, tangannya yang kuat menggenggam lenganku yang gontai. Aku bersyukur karena dia menuntun langkahku dan aku hanya perlu menunduk, menyembunyikan mata merahku yang lama-kelamaan terasa semakin berat.
“Aku hanya ingin membuatmu tersenyum dan ingin mengajakmu untuk melihat sesuatu yang unik di kota ini yang bisa membuatmu bergidik, tapi tujuan ini mungkin lebih cocok untuk kondisimu saat ini Ris,” kata Erga. Dia menghampiri satu otto, tawar menawar harga, mengajakku naik dan otto bergerak tergesa gesa, melewati perkampungan-perkampungan dengan rumah-rumah kayu yang mirip dengan rumah Prof. Heydemans. Jalan berkelok-kelok melewati hutan-hutan bambu dan membawa kami sampai di sebuah gerbang besi yang terbuka. Erga mengajakku turun dari otto.
“Selamat datang di waruga,” katanya.
“Tempat apa ini?” tanyaku.
“Pemakaman,” jawab Erga santai. Dia menunjuk bangunan peti dari batu di pinggiran gerbang yang sudah dikelilingi banyak pohon pucuk merah rendah.
“Kenapa?” tanya Erga. “Ngana kagetkah?”
Aku menatapnya pias. Erga benar-benar gila. Aku tahu dia tourguide di kota ini. banyak tempat-tempat yang bisa ditunjukkannya padaku, tetapi mengapa mesti pemakaman. Tak adakah tempat yang lebih baik untuk orang melepas kesedihan. Aku sedang sedih dan galau lalu pemakaman, aku rasa bukan tempat yang cocok untuk menghibur.
Ngana bilang, ngana  tak ingin merusak pertemanan yang sudah ngana bangun. Ngana bilang dia sebentar lagi akan menikah. Jadi saya pikir ngana ingin melupakan dia.”
Tujuanku ke kota ini memang untuk melupakan dia, lalu apa hubungannya dengan waruga.
Ngana tahukan ini pemakaman, ngana tahu untuk apa tempat ini?”
“Anak kecil pasti tahu Ga, pemakaman pasti tempat untuk mengubur,”
“Ya, ngana pandai sekali. Saya ajak ngana kesini supaya ngana bisa kubur kenangan ngana di sini.”
Aku menatapnya, sedikit tersenyum menghargai usahanya mengajakku ke waruga hingga harus menyewa otto berharga ratusan ribu. “Ngana sudah tersenyumkah?”
Aku menjawabnya masih dengan tersenyum, “saya memang tak tahu bagaimana rasanya perasaan ngana, tapi jika perempuan sudah menangis berarti ada rasa sakit yang sudah tak dapat di tahannya lagi. Saya tak mengerti detail masalah ngana, tapi saya harap di tempat ini ngana bisa lepas itu masalah semua,” katanya.
Aku tersenyum, tersanjung dengan kata-katanya sambil menangis karena perasaan itu tumpah, kenangan itu tumpah.
***
“Bisa ketemu?” tanyamu siang itu lewat blacberry messenger.
“Yap, tentu saja,” jawabku kegirangan.
“Aku tunggu di alun-alun kota jam 7 malam ya,” katamu saat itu.
“Oke, aku pasti datang,” jawabku dengan wajah semakin sumringah.
Jam tujuh tepat aku duduk di undakan alun-alun, menunggumu dengan senyum yang masih sumringah.
“Kamu sudah lama?” tanyamu tiba-tiba sambil duduk di sampingku. Aku menoleh dan mencium bau parfummu. Kemeja kotak warna biru langsung menyambut pemandangan yang melekat di tubuhmu. Yah, seperti malam-malam yang lalu, kamu sama menawannya. Kamu indah, bahkan lebih indah dari bulan purnama sekalipun.
“Belum, baru lima menit mungkin,” jawabku sambil menatap jam tangan, mengalihkan detak jantung yang melebihi batas kontrolnya. Bau parfummu malam itu begitu menyengat hidungku membuat jatuhku lebih dalam dari pertemuan-pertemuan kita yang lalu.
“Hmmm, sudah sering ya kita ketemu malam-malam begini, curi-curi waktu jika aku pikir-pikir.”
“Ya mau gimana lagi, aktivitas kita di organisasi dan instansi sering kali tidak bersahabat,” kataku.
“Tapi aku senang bisa curi-curi waktu seperti ini,” katamu. Mata sipitmu lantas menatapku sedikit jail membuatku salah tingkah. “Kamu sendiri gimana?”
Aku diam, mengalihkan pandangan pada langit yang buram. Tanpa aku mengatakanpun seharusnya kamu sudah tahu bagaimana perasaanku. Satu tahun aku mengagumimu, baru 4 bulan yang lalu aku berani mengontakmu dengan susah payah, menghadapi sikap cuekmu, menanti balasan BBM mu yang membuatku hampir putus asa setiap menitnya. Jika hari ini aku bisa duduk di undakan alun-alun bersamamu, kamu pasti tahu bagaimana rasanya aku tanpa harus aku ceritakan padamu.
“Kamu tahu, aku sangat bahagia hari ini.”
Aku menatapmu, kebahagiaan itu menari-nari di wajahmu. Aku melihatnya dengan jelas di matamu yang dipantulkan lampu bulat alun-alun kota Malang.
“Aku punya kabar baik, dua bulan lagi aku akan menikah dengan panasea-ku.”
Langit semakin buram, lampu-lampu taman meredup, ada kesadaran yang menghilang dengan cepat di otakku.
“Ris?” kamu menggoyang tubuhku.
“Menikah?” tanyaku.
“Iya,”
“Tapi.....”
“Tapi apa Ris?”
“Aku pikir....”
“Kamu pikir apa? Kamu tahu Ris, dia gadis idamanku, kalem, lembut, sederhana, cerdas, alim, dan sosialisasinya baik, sopan santunnya duhhhhh, sudah nggak ada tandingannya lagi,” katamu.
“Oh ya,” seketika aku menekan perasaanku. Menyembunyikan badai yang kini memporak-porandakkan bangunan hatiku.
“Ya, aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya.”
“Jadi kamu akan menikah dua bulan lagi?”
“Ya, kami akan menikah, kami ingin hubungan kami segera dihalalkan oleh negara dan agama.”
“Aku ikut senang, semoga kalian bisa jadi keluarga yang bahagia.”
***
Erga menarikku lebih jauh ke dalam waruga . “Lihat ini Ris,” katanya.
Dia menunjuk sebuah bangunan mirip collosium di Roma. Sebuah bangunan dengan lapangan yang dikelilingi undakan-undakan mirip stadion.
“Di sini dulu adalah tempat orang-orang melakukan upacara kematian Ris,” kata Erga.
“Terus?”
“Ayo kita ketengah sana, mari kita adakan upacara kematian untuk kenanganmu. Ayo kubur kenangan yang membuatmu menangis di waruga. Makamkan di peti-peti batu di atas sana, simpan di sini Ris, kubur jauh dari tempatmu akan melanjutkan hidup,” kata Erga.
Sesaat aku tidak sadar jika Erga sudah memabawaku ke tengah-tengah collosium versi Sulewi Utara ini.
“Lakukan ritualmu Ris,” teriak Erga.
Awalnya aku tak paham apa maksud perkataan Erga. Aku malah sibuk berputar-putar melihat tempat pemujaan di atas collosium lalu melihat versi gunung Lokon dari waruga. Awan mulai berarak menutup gunung Lokon, kumpulannya menjadi mendung yang hitam dan luruh jadi hujan. Hujannya mengalir dari tebing-tebih tinggi, terjun bebas dan semakin deras. Aku duduk, rasa sakit itu menusuk seperti ratusan panah yang di tembakkan bersamaan. Kenangan bermunculan, perpustakaan, kedai kopi, alun-alun, semuanya tumpah ruah seperti film yang dipercepat putarannnya. Kenangan itu berputar semakin cepat, cepat, dan cepat, “AAAAAAAAAAAAAAAA” aku berteriak kehilangan akal. Lambat laun putaran film itu melambat dan bayangan-bayangan kabur menghujam memoriku. Lelah aku duduk di lantai lapangan.
“Mau minum?” tanya Erga menyodorkan sebotol air mineral. Aku meraihnya menenggaknya buru-buru. “Kamu tahu Ris, waruga telah menerima upacaramu. Pembakaran telah berlangsung dan peti mati waruga sudah terbuka untuknya, hari ini kenanganmu, perasaanmu kepadanya telah dimakamkan di waruga,” kata Erga.
Mataku terasa berat, badanku lemas, Erga memapahku menaiki tangga lagi. Aku menatapnya, berterimakasih tanpa kata.


[1] Gunung tetinggi kedua di provinsi Sulawesi Utara
[2] Kata ganti orang kedua tunggal (kamu)
[3] Delman dalam bahasa Indonesia
[4] Dari kito orang yang artinya kita

Minggu, 26 November 2017

Kembang Senja


Kembang-kembang petang menjatuhkan tintanya
Pada kelopak yang rela dilukis kisahnya
Kisah derap kaki diburu gesa
Menangkap bayang di lapisan senja

Wajah semu berbaju biru
Dikelokan jalan kita bertemu
Menautkan pandang memecah rindu
Jalanku membuntu

Tak ada sua tak ada kata
Hanya bungkuk yang dipaksa menyapa
Sedang aku bermimpi bisa cerita
Tentang menanti yang kelam ujungnya

Tuhan, bisakah aku bermohon padamu
Meminta sekotak waktu
Untuk memutar mesin mimpiku
Agar aku berjumpa dengan inginku

Tuhan, bisakah Kau sekali saja
Membuatkanku sebuah cerita
Sehari dia bisa mencinta
Gadis yang telah lama mendamba
Tuhan, aku hanya ingin leburkan rindu
Mengembalikan senja yang mengikutiku
Yang menggores batas nyata dan semu
Menjebakku di taman kupu-kupu

Tuhan, aku ingin jadi jalinan takdirnya
Menderap langkah beriring dengannya
Memayungi matahari berdua
Menadah hujan bersama, sehari saja

Kamis, 23 November 2017

HARUS KUAT!

Menjadi wanita? Andai saja ketika di surga dulu aku boleh meminta mungkin aku tak akan memilih jadi wanita. Pada saat ini, wanita masih dianggap lemah dan butuh penopang laki-laki entah untuk tertawa atau entah untuk menangis. Setidaknya itu yang aku tahu, karena pundak laki-laki terlihat lebih kokoh dari pada perempuan.

Semua itu bisa jadi indah bisa juga malah menjadi semakin menyedihkan. Yang akhirnya memunculkan satu tanya khusus untuk diriku. Mengapa aku terlahir sebagai perempuan? Untuk dikasihi? Untuk diberi pundak ketika menangis? Untuk diberi pelukan ketika tertawa? Semuanya bohong.

Dua puluh satu tahun aku hidup. Dua puluh satu hidupku masih kugunakan untuk berkhayal tentang kedatangan seorang lelaki yang bisa meminjamkan pundaknya dan memberikan rengkuhan tangannya. Laki-laki lain, selain ayahku.

Dua puluh satu tahun sudah aku berkhayal akan bertemu dia di ujung embun yang bening atau di hangat senja yang merah. Dua puluh satu tahun sudah aku menebak banyak orang yang mungkin akan meminjamkan pundak dan memberikan pelukannya untukku.

Dua puluh satu tahun sudah aku menunggu. Kadang juga sempat menggila menarik seseorang agar pundaknya bisa aku sandari. Tangannya bisa aku gunakan untuk menutup diri. Dua puluh satu tahun sudah namun jawaban-jawaban pahitlah yang selalu aku dapat. Aku tak bisa membuat mereka meminjamkan pundak atau memberikan tangannya padaku.

Minggu, 12 November 2017

Suhue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 5)

Tas ransel merk Apollo itu mendarat tepat di sebelah salah satu bantal bersarung club kesayangan Kevin, Barcelona. Pemiliknya menyusul dan menjatuhkan diri di atas seprei berwarna biru yang menjadi latarnya.
Pelan, Alrey duduk di samping Kevin yang rebahan. Memandangi langit-langit Kevin yang berwarna putih bersih.
"Kalau loe mau ngeprint tugas nyalain aja printernya, laptopnya nggak gue matiin. Sekarang gue ambil makanan dulu di kulkas," kata Kevin sembari bangkit dari seprei birunya. Berdiri dan melangkah keluar untuk mencari asupan nutrisi untuk mereka.
Alrey berjalan menuju meja belajar yang dimaksud Kevin. Tombol on pada mesin printer merk Canon itu di tekannya hingga lampu kuningnya berkedip kedip. Laptop Lenovo keluaran teranyar dibukannya dan menampakkan latar berupa sebuah gurun dengan latar belakang langit biru. Ditekannya tombol sign in dan layar dekstop bergambar langit malam itu menampakkan icon icon aplikasi di sudut kirinya, berkumpul.
Alrey mengeluarkan flasdisk toshiba tanpa penutup berbandul bentuk love yang ditengahnya ada huruf "H". Alrey memandangnya lama, membiarkan proyektor mini dari pusat hurufnya menayangkan gadis yang berlari-lari sambil tersenyum.
Tiba-tiba sesuatu di dalam dadanya ingin meluap dan Alrey langsung memalingkan pandangannya ke langit-langit kamar. Perih, sangat perih, hatinya seakan dicumbui garam laut yang asin. Betul-betul terluka dan dia mengusirnya dengan cepat-cepat menancapkan memori penyimpan sementara itu di lubang USB laptop, mengabaikan tangannya yang berkeringat dingin dan gemetaran.
"ALLLL!!!! HATI-HATI DI MEJA GUE ADA BOTOL TINTA PRINTER YANG BELUM GUE TUTUP"
Sial, botol itu terlanjur melayang dan tumbah di lantai kamar Kevin yang putih. "NGOMONG LOE TELAT VIN, TINTANYA UDAH TUMPAH," teriak Alrey. Susah payah ditutupnya genangan tinta itu dengan kertas tak terpakai milik Kevin. Setelah mengangkat botol yang hilang separuh itu Alrey keluar kamar mencari lap yang lebih baik.
"Vin, ada kain nggak kepakek nggak?" tanya Alrey.
"Cari apa Kak?" tanya Ue.
"Oh itu Ue, tinta Kevin tumpah, aku lagi cari lap, biar nggak keburu kering," jelas Alrey.
"Oh, pakai kain pel aja Kak, biar Ue bantu," kata Ue.
Beberapa saat Alrey hanya berdiri mematung di depan kamar Kevin menunggu Ue membawa kain pel beserta seember air.
"Udah Ue, biar aku aja, lagian aku yang numpahin kok," kata Alrey.
"Nggak apa-apa Kak, biar Ue aja, kan Ue cewek,"
"Emang harus selalu cewek yang bersih-bersih?" tanya Alrey mengikuti Ue yang masuk kamar.
"Ya, seperti kodrat aja sih, cewek emang selalu harus ngerjain tugas rumah kan?" kata Ue. Tangannya sibuk mengelap tumpahan tinta dengan kain tak terpakai sebelum mengepelnya.
"Sekarang kan udah emansipasi Ue, laki-laki juga punya kewajiban buat ngerjain tugas rumah, seperti perempuan yang punya hak buat bekerja dan setara dengan laki-laki," kata Alrey yang berdiri menunggui Ue.
Ue memeras kain pel untuk terakhir kalinya, puas melihat lantai yang sudah kembali seperti semula. "Kalau tugas rumah bikin perempuan bahagia apa masih dipermasalahkan? Ya udah, kalau laki-laki mau ikut ngerjain tugas rumah itu malah lebih baik, itu namanya kerja sama," kata Ue. Tangannya sudah memegang gagang ember dan membawanya keluar.
Alrey masih berdiri di tempatnya menunggu lantai itu berangsur mengering.
"Hey, mana tintanya?" tanya Kevin. Alrey menoleh dan mendapati Kevin membawa selembar baju bermotif polkadot di tangannya.
"Telat," kata Alrey.
"Telat?" tanya Kevin yang mencari-cari tumpahan tinta.
"Kok sudah bersih?"
"Iya, sepupu loe yang udah bersihin ini semua."
"Ue?"
"Ya siapa lagi sepupu loe yang tinggal di sini?"
"Ya maklum, gue kan nggak tahu mama nyimpen kain bekasnya di mana."
"Ue bisa tuh."
"Ue kan cewek Al, elo tahu kan kehebatan cewek, bisa menghadirkan sesuatu yang tidak bisa kita temukan, apalagi kalau ibu-ibu."
"Ya mungkin aja," kata Alrey. Dia merebahkan tubuhnya santai di atas seprei Barcelona Kevin.
Ada hiasan bintang yang muncul di langit-langit Kevin, bintang yang berkelip dan sangat banyak.
"Loe sehat kan Al?" tanya Kevin khawatir melihat Alrey yang nampak berbeda.
Alrey mengangguk.

Selasa, 24 Oktober 2017

Suhuuee, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 4)

Gerimis berlapis-lapis membasahi dedaunan, pohon, pagar, dan jalanan berpaving. Tidak jadi hujan deras, tapi cukup membuat Ue menpuk kemeja warna birunya kebasahan. Untung saja tasnya anti air jadi dia tak perlu takut tugas proposal PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dari Pak Tris itu rusak atau basah.
"Ue?" teriak seseorang. Ue menoleh mencari sumber suara. Seseorang memakai jaket warna hijam yang dinodai gerimis, celana jeans warna abu-abu dan menggendong tas ransel melambai padanya. Ue menatapnya, pandangannya lekat pada orang yang kini melangkah padanya.
"Huh, basah deh," keluh orang yang kini sudah berada di depan Ue.
"Ue???" dia melambaikan tangan di depan Ue.
"Eh, oh iya ada apa Mas?" tanya Ue tersadar.
"Kenapa ngelamun? Kerasukan lo," kata Kak Rizal. Ya orang itu Rizal, target tersulit yang dibilang Ue.
"Hahaha, mana bisa mas, yang ada setannya takut mau ngrasukin aku," canda Ue.
"Yah, siapa tahu ada yang mau masuk ke tubuh cantik kamu."
"Hah?"
"Ah, enggak, kamu ada kelas?"
"Iya, ada kuliah metodologi penelitian?"
"Oh ya? Siapa dosennya?"
"Pak Tris."
"Wah, aku dulu juga Pak Tris. Kalau ada apa apa jangan sungkan tanya ya? Pasti aku bantu," katanya sambil mengedikkan satu mata.
Ue tersenyum, senang sekaligus kaget. Akhirnya perjuangannya sekarang sudah ada titik temunya. Yippiee
***
"Ue, aku tunggu di kantin ya?" pesan singkat itu masuk ke smartphone Ue.
"Siapa Ue?" tanya Andin.
"Kak Rizal," jawab Ue senang.
"Kak Rizal yang kamu suka itu?" tanya Andin kaget.
"Yupppss, tadi pagi aku ketemu dia, sekarang disuruh ke kantin," kata Ue.
"Kok bisa? Bukannya dia cuek banget sama kamu?"
"Nggak tahu juga sih, mungkin ini yang namanya hasil dari kerja keras," kata Ue menyombong.
"Hati-hati aja Ue," Andin memperingatkan.
"Iya cantik," kata Ue memegang pundak Andin.
"Aku serius Ue, kita nggak bisa selalu percaya sama yang namanya cowok," kata Andin. Pandangannya menerawang jauh, kabut mulai terlihat di matanya. Ue tahu Andin masih sakit hati sejak menerima perlakuan dari Dafa.
"Iya Ndin tenang aja, aku bakal jaga diri kok, lihat, aku sekarang baik-baik saja kan?"
"Ue, roda kehidupan selalu berputar. Aku tahu kamu itu idealis, suka melakukan apa yang kamu ingin lakukan. Tapi cinta bisa meracuni idealismu Ue," kata Andin.
"Racun? Tenang aja Ndin, sebelum racun itu masuk ke tubuhku, aku pasti sudah sadar."
"Aku khawatir Ue, aku mohon jagalah dirimu baik-baik," pinta Andin. Tangannya menggenggam tangan Ue erat.
"Pasti"

Senin, 16 Oktober 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 3)

Matahari mengenai teras paling ujung bangunan kampus. Permukaan keramiknya lebih terang karena sinar hangat-hangat kuku matahari yang ingin rebahan di ufuk barat. Sinar hangat itu juga memantul di buliran air mata Andin yang tak juga berhenti. "Masih nangis Ndin?" tanya Ue dengan muka prihatin. Andin diam, air mata semakin banyak luruh dari matanya. Neza menyenggol punggungku dari belakang. "Udah tahu masih nangis malah ditanya," omelnya pada  Ue. "Yee, gue pikir air matanya bocor, udah 2 jam lo Ndin, lu nggak capek nangisin cowok brengsek kaya dia?"
***
Dua jam yang lalu
"Teh anget, teh anget, cariin teh anget pliss," seru Ue pada kerumunan yang mengumpul. Lisa tergopoh-gopoh mengulurkan satu cup teh panas padanya. "Gila lu nis, teh nya panas banget," protes Ue.
"Nggak usah protes Ue, cepetan kasih ke Andin tuh."
Ue mendekatkan  teh yang hawanya mendidih pada bibir Andin. "Pelan-pelan Ndin, Lisa mah nggak bisa bedain mana makhluk hidup mana bukan makhluk hidup," kata Ue menenangkan Andin.
"Hemm, pengen gue timpuk aja lu Ue, udah dibantuin masih aja ngomel."
Andin tersenyum dan menyedot pelan-pelan teh durjana dari Lisa. Wajahnya nyengir kepanasan, sejalan dengan itu rona-rona merah terbit di pipinya yang pucat. "Setidaknya teh itu bisa bikin Andin sadar," kata Lisa bangga, "ya udah gue masih ada kelas, gue cabut dulu ya," tambahnya.
Perlahan orang-orang yang berkerumun itu meninggalkan Ue, Neza, dan Andin yang matanya sudah jadi sebesar bola tenis.
"Nah, sekarang lu bisa cerita Ndin, kenapa lu bisa nampar Dafa terus pingsan begitu?"
Neza menyenggol Ue.
"Gue udah putus sama Dafa Ue," kata Andin dengan lemah.
Ue saling pandang dengan Neza.
"Gimana ceritanya Ndin?"
(cerita Andin)
"Yang, aku ke kampus kamu pukul 1 siang," pesan whatsapp itu menggetarkan smartphone Andin sekaligus hatinya. Ada rasa takut sekaligus kelegaan yang menjalar di tubuhnya. Sebenarnya sudah sering kali Andin mengajak Dafa yang belakangan ini berubah untuk bertemu. Namun dengan alasan kesibukan organisasi yang tidak bisa ditinggalkan pertemuan itu hanya sekedar rencana saja.
Andin sebenarnya sudah lelah dengan sikap Dafa yang sangat berubah. Awalnya Andin masih bisa menerima ketika Dafa tidak memberinya kabar ketika ada kegiatan. Dia paham, kesibukan bisa membuat orang lupa beberapa hal. Andin mencoba mengerti.
Belakangan Dafa bikin ulah yang membuat Andin menangis setiap malam. Selain tak berkabar, cowok berwajah Arab itu sering kali bikin instamoment sedang kangen seseorang. Pikiran Andin semakin menjadi-jadi. Beberapa tugas dosen yang dikejar deadline menggunung di meja belajarnya, sayu memanggil Andin yang hanyut dalam ketakutannya.
"Udah lah Ndin, cepet minta ketemu dan minta penjelasan," nasehat Hima sambil menarik helai demi helai kain Ero. Sesekali dia mengusap kepala Andin yang bergetar.
"Gue bingung Him, gue masih sayang banget sama Dafa, tapi dianya kok gini ya?" isak membanjir di bantal bersarung pink miliknya.
Hari ini setelah Andin memberikan penawaran beberapa kali, Dafa mengajaknya untuk bertemu. Andin kenakan baju terbaik di lemarinya dan kerudung ungu menjadi pelengkap manis yang membungkus kepalanya.
Pukul satu tepat, kaki mungil Andin menghampiri meja paling ujung kantin kampusnya. Pandangan Dafa yang jail ditangkapnya dengan rasa haru antara marah, kangen dan takut.
"Hai," sapa Dafa riang. Andin bersikap biasa, dia duduk di depan Dafa.
"Katanya ada maba baru di kos kamu?" tanyanya.
"Iya."
"Mana kok nggak dikenalin?"
"Kuliah, kenapa sih tanya tanya maba?"
"Katanya disuruh kenalan?"
"Nanti juga lewat, sekarang masih kuliah tahu,"
"Kalau nggak lewat gimana?"
"Lewat, lewat, dibilangin masih kuliah. Ayolah cepet ngomong!"
"Ngomong apa sih?"
"Ayo cepet! Aku lo sebenarnya sudah tahu ceritamu semua."
"Cerita yang mana? Kan cerita tentang aku banyak."
"Udahlah kamu cerita dulu, nanti kalau ceritanya benar aku bilang benar."
"Maaf" kata Dafa sambil menggenggam tangan Andin.
"Maaf buat apa? " tanya Andin, air mata mulai memecah tembok kelopak matanya.
"Nah, aku belum ngomong apa apa aja kamu sudah nangis." Dafa mengusap air mata yang luber di pipi Andin
"Sebenarnya aku sudah tahu kalau perasaan kamu sudah nggak sama seperti dulu. Kamu suka sama orang lain kan?" tanya Andin akhirnya. Kecurigaan dalam hatinya dia tumpahkan pada cowok Arab yang sampai detik ini masih memasang wajah jail di hadapannya.
"Maaf!" katanya lagi, kali ini Dafa berlutut di hadapan Andin. Menggenggam tangan kecil dan meremasnya kuat.
"Cuma gitu doang?" tetes air mata seperti rinai hujan yang perlahan turun.
"Kamu kan sudah tahu ceritanya, maaf aku nggak bisa nerusin hubungan ini," kata Dafa, tangannya erat menggenggam tangan Andin yang kini pecah tanggul matanya.
"Aku salah apa?" tanya Andin disela isak.
"Ini bukan salah kamu dan juga bukan salah dia, ini murni salahku. Aku sendiri tidak tahu kenapa perasaanku seperti ini. Tapi namanya perasaan tidak bisa dipaksa."
"Aku nggak mau," berontak Andin.
"Aku sudah tidak bisa, kamu harus bisa mengikhlaskan aku" jelas Dafa.
"Nanti kalo kita putus kamu nggak bakal menghubungi aku lagi, masih pacaran aja kamu jarang ngasih kabar."
"Aku janji akan selalu ngasih kabar ke kamu. Sudahlah, sekarang kita memperbaiki diri masing-masing saja. Kalau jodoh nanti juga akan kembali. Dan walaupun kita sudah putus kamu masih boleh main ke rumah, kamu sudah aku aku anggep adik, mbak juga sudah nganggep kamu adik, bapak dan ibu juga nganggep kamu anaknya. Kamu tahu bapak ibu kan? Lagian rejeki, jodoh, dan maut sudah ada yang ngatur. Sudahlah sekarang jangan nangis. Kamu nggak perlu nangisi orang seperti aku. Kamu ini orang baik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari aku. Ikhlaskan aku, jangan nangis."
"Aku nggak bisa," Andin tetap berontak.
"Kamu harus yakin kalau bisa."
"Kamu suka siapa sih?" tanya Andin akhirnya.
"Osa."
"Plakkkk"
"Nggak apa apa, tampar aja, masih sakitan hatinya kamu daripada tamparan ini."
"Plakkk"
***
Senja kian nampak sekarang, jingga di tepi langit di atas atap rumah peninggalan belanda begitu tegas. Setegas semu merah yang tertinggal di wajah Andin yang begitu berantakan. Ue yang tak bisa berkata apa apa lagi hanya bisa merangkul pundak Andin disusul dengan tangan Neza yang ikut mengusap pundaknya.

Senin, 09 Oktober 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 2)

Ue menopang dagu dengan kedua tangan. Pandangannya lurus menembus layar 14 inchi di depannya. kursor berbentuk vertikal di samping huruf times new roman terus berkedip, menunggu Ue kembali mengetikkan kata operasional tujuan pembelajaran.
"Serius amat Ue?" ganggu Neza.
"Apaan sih Nez? "
"Tumben amat lu serius banget?"
"Gimana nggak serius, besok gue simulasi ngajar dan gue belum persiapan apa apa."
Neza duduk di samping Ue, memakan cilok dengan lahap sambil ikut-ikutan menatap layar 14 inchi.
"Wahhhh, nyerah gue," teriak Ue yang sudah tak menemukan inspirasi lagi.
"Makanya Ue, jangan sibuk nyepik cowok terus, lupa kan harus bikin RPP," ceramah Neza.
"Nggak ada hubungannya sama cowok lah Nez, emang aku belum ada inspirasi aja," bela Ue.
"Nggak ada inspirasi atau inspirasi kamu semua hanya untuk nyepik cowok?"
"Nez," Ue menatap Neza serius.
"Apa?" tanya Neza, tusukan ciloknya menggantung di udara. "Please, berhenti ceramahin gue dan bantu gue ngerjain RPP aja ya!" Ue memasang wajah memelas. Neza meliriknya iba.
***
"Fiuhhhh, akhirnya selesai juga," Ue berjalan menuju kantin bersama Neza. "Untung ya, gue nggak ngulang Nez," senyum ceriah terpampang di wajahnya yang memerah kepanasan. Sesekali Ue mengibaskan jas almamater yang membungkus kemeja putihnya.
"Sebagai ucapan terima kasih atas jasa Neza yang telah memberi Ue inspirasi dan bantuan pembuatan media, maka diputuskan Ue akan mentraktir Neza jus," Ue memasang senyum Pepsodent.
"Beneran?" tanya Neza meyakinkan, "lu nggak bohong lagi kan? Dulu lu bilang mau traktir, eh giliran gue udah pesen banyak lu suruh gue bayar sendiri."
"Suwer, kali ini gue nggak bohong lagi," Ue memasang jari telunjuk dan jari tengah di depan mata Neza.
"Oke deh, gue coba percaya aja."
"Plakkk!!!!!" suara pukulan menggema dan tertangkap telinga Ue. Kaki mereka yang selangkah lagi masuk ke stand minuman terhenti begitu saja. Lima meter dari tempat mereka berdiri seorang perempuan mengenakan kerudung ungu terlihat pucat. Air merembes dari kelopak matanya yang memerah. Di depannya seorang lelaki berwajah arab berkulit gelap memegang pipinya. Lelaki itu melangkah mendekat, "maaf," serunya lirih dan pukulan kedua mendarat lagi di pipinya. Dia tidak berontak, tidak membalas dan hanya berseru maaf terus-terusan. Perempuan berkerudung ungu memandangi tangannya bergetar, isaknya luar biasa tak dapat dibendung. Beberapa menit kemudian dia menatap laki-laki arab di depannya dan tubuhnya langsung lunglai terbawa gravitasi.
Belum sempat menyentuh lantai lelaki arab berhasil menangkap tubuhnya.

Kantin berubah gaduh. Beberapa anak membopongnya ke ruang kesenian. Tempat paling dekat untuk membaringkan perempuan berkerudung ungu yang tak sadarkan diri. Beberapa lelaki sibuk menjauhkan lelaki arab dan menyuruhnya pergi. Ue dan Neza ikut-ikutan gaduh dan berlari untuk membantu perempuan berkerudung ungu.
"Ndin, lu kenapa?" tanya Ue pada perempuan berkerudung ungu yang terlihat berantakan di atas pangkuannya.

Sabtu, 07 Oktober 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta!

"Lu tuh ya, emang nggak peka, bego, apa gimana sih?" cercaan Kevin membanjir di lubang telinga Alrey. Sedang yang dicerca malah memandang langit yang hari ini biru cerah dengan seleret awan tipis yang mulai berkumpul. "Al, lu dengerin gue ngomong nggak sih?" tanya Kevin merasa percuma saja telah memarahi Alrey.
"Dengerin," jawab Alrey singkat.
"Vin," Alrey menatap Kevin, "lu tahu gue kan?" tanyanya.
Kevin mengangguk pasrah.
***
"Fiuhhh, tantangannya berat juga nih."
"Kenapa lu Ue?"
"Biasa Kak, orangnya cuek banget," jawab Ue.
"Lu tuh ya, dari dulu sampe sekarang samaaa ajaaa, nggak bosen lu hidup gitu gitu aja?" tanya Kevin.
"Duh Kak, lu kan tahu gue," jawab Ue. Kevin memandangi Ue yang merebahkan tubuhnya di atas sofa, kakinya diayun ayunkan. Mulutnya melantunkan lagu Coldplay Skyfull of stars dengan lafal yang berantakan dan nada yang nggak karu-karuan. Kevin memakan kacang bawang dari toples berwarna ungu cerah.
Masih memandangi Ue, dia mengingat pertama kali Ue datang ke rumahnya.
***
"BUDEEEEEE!!!" suara teriakan itu menggetarkan dipan Kevin, memberinya efek guncangan beberapa detik dan membuatnya terbangun dengan mata berat.
"Ueeeee," suara mama Kevin membalas teriakan itu.
Lengkaplah, bayangan pertemuaan Kevin dan Nia (gebetan Kevin) sirna sudah. Gontai Kevin membuka pintu kamar dan mendapati sesosok perempuan berambut sebahu yang mengembang mengenakan jaket jeans warna abu-abu muda dan celana senada yang robek di bagian lututnya. Sepatu converse lusuh membungkus kakinya memberikan kesan kebebasan dan ketidakteraturan.
"Siapa ma?" tanya Kevin yang menggaruk-nggaruk kepalanya separuh sadar.
"Ah iya, ini Ue Vin, sepupu kamu yang tinggal di Jogja itu lo," kata mama Kevin sumringah.
Kevin melotot, mengamati kembali gadis yang berdiri di depannya yang ternyata memanggul ransel sepanjang punggungnya. "Jogja? Nggak salah?" Kevin tanya lagi.
"Iya Kak, Jogja. Emang kenapa sih? Ada yang salah?" tanya Ue balik.
"Seharusnya salah, yang gue tahu orang Jogja itu kalem kalem, nah lu??"
"Husss, kamu kok ngomong gitu sih Vin, ini sepupu kamu lo,"
"Nggak apa apa Bude, orang kan boleh punya persepsi sendiri sendiri," kata Ue sambil tersenyum. Gigi gingsulnya menampakkan diri di ujung bibir kirinya.
"Ya sudahlah, mending Bude anter kamu ke kamar aja," Mama Kevin membawa Ue ke kamar belakang. "Kok kamu baru nyampe jam segini sih?" tanya mama Kevin di perjalanan.
***
 "Ue???" pangggil Kevin.
"Ada apa Kak??"
"Lu udah suka sama berapa orang sih?"
"Ha? Kenapa kakak tanya gitu?"
"Ya pengen tahu aja? Emang nggak boleh?"
"Kakak kepo," jawab Ue dengan pandangan dipelototkan. Ue meraih tasnya yang jatuh di lantai dan melangkah ke kamar.
"Ingat kuliah Ue," teriak Kevin.
Ue memberi isyarat ibu jari dan telunjuk yang disatukan tanda mengerti. Kevin geleng-geleng kepala. Tiba-tiba......

Rabu, 26 Juli 2017

Pasal "Mental"

suatu hari di ba'da senja, untuk kedua kalinya saya menangis karena hal yang sangat sepele. Perkara dimusuhi seseorang yang dulunya dekat. Perihal nama, atau bagaimana kronologinya aku tidak akan menceritakannya panjang lebar, biarlah itu jadi rahasia saya sendiri. Yang ingin aku ceritakan adalah tentang mereka, kedua orangtua saya. Ya, orangtua saya, meski bukan lulusan perguruan tinggi atau lulusan sekolah ternama dan hanya bekerja seadanya mereka bisa menghentak hati saya pasal "Mental".
Ya, meski saya telah berusia 21 tahun dan telah menghabiskan 6 semester di perguruan tinggi, nyatanya "mental" saya tidak cukup kuat untuk mengatasi problema kecil itu. Rasanya malu ketika orangtua saya yang bahkan tidak mengantongi ijazah SMA malah mempunyai mental yang jauh lebih kuat daripada saya. Saya malu karena mereka telah berhasil mengatasi berbagai masalah dalam kehidupannya, sedangkan saya acapkali menangis karena hal-hal sepele seperti ini. "Mental" saya belum mampu untuk mengatasi rasa takut tentang banyak hal. Saya sangat malu ketika berbicara, tapi entah mengapa tiba-tiba saja terpikir untuk cerita, karena saya merasa saya harus menemukan pemecahan dari "mental" ini.
Ya, orangtuaku bukanlah ahli konseling, bukan juga psikolog, jadi jangan harap akan mendapatkan penguatan yang manis. Kata-kata mereka jelas sekali menghentak. Berulang kali mereka bilang itu bukan memarahi tapi menasehati. Entahlah mungkin tiap orang punya cara tersendiri untuk menasehati anaknya.
Sekarang saya lega, walaupun sekarang aku tidak tahu apa yang dibicarakan orangtua saya usai menerima keluh kesah anaknya via sambungan telepon. Tapi mau bagaimana lagi, kita hanya bisa percaya pada orangtua untuk memberikan solusi meski itu akan membebani pikiran mereka.
Hanya saya berharap ketika saya ingin bercerita lagi saya tidak meneteskan air mata dan terlalu "baper" kata ibu saya, Bercerita biasa untuk saling menemukan solusi, sharing yang dewasa.
Memang benar kata ilmu perkembangan umur tidak menentukan kualitas kedewasaan seseorang. Dan entah saya akan dewasa pada usia berapa. Saya harap dengan adanya masalah kecil ini bisa jadi cermin bagi saya, masalah pasti memiliki jalan keluar tanpa air mata.
Saya pikir untuk mimpi-mimpi saya pun mungkin akan menemui banyak kendala, dan dengan kejadian hari ini saya harap akan selalu jadi pengingat saya tentang "semangat" yang diucapkan bapak berulang kali bukan hanya semangat biasa, tapi semangat yagn harus bisa mengembangkan mental saya.
Akhirnya, saya tidak tahu mengapa saya masih menulis ini di blog ini. Sedang saya tidak tahu apakah tulisan ini akan membuat saya malu pada akhirnya. Atau siapalah yang akan membacanya, biar saja, maya menyimpan ingatan yang mungkin saya lupa, karena saya memang pelupa.
Akhirnya selamat malam, saya malu, tapi saya lega. Terima kasih.

Kamis, 13 Juli 2017

puisi buat kamu




Hai ini puisi buat kamu yang suka berpuisi
Hei, aku suka dengan puisimu
Aku suka kata yang kau petik dari banyak syair dan kau ramu jadi satu
Hei, aku suka caramu ungkapkan perasaan lewat syair-syair syahdu
Puisimu sedetik bikin jantungku berhenti berdetak
Kau tahu, puisi itu sangat indah
Ketika kamu bicara tentang langit, tentang laut, tentang pantai, dan jutaan galaksi yang tersebar
Kalau sudah kubaca puisi rasanya tak ada hal lain yang penting lagi di hidupku
Rasanya aku sudah sangat terpenuhi dengan puisimu
Semua tulisan indahmu mengalihkan apapun dalam hidupku untuk fokus ke kamu
Hei, kamu yang suka buat puisi
Rasanya puisi ini lebih seperti hujatan pada akhirnya
Atau sejak awal ini bukan puisi
Karena setelah aku baca berulang tak ada rima di dalamnya
Tak ada metafor yang mampu meluluhlantakkan perasaan
Pun paduan kata dalam baris-baris ini sangat berantakan
Sejak muncul kamu baris-baris kataku tak lagi menyatu
Kata-katanya berlompatan seperti katak di musim hujan
Mengejar kolam pemandian
Bersorak sendirian tak pedulian dan ah, mungkin agak kampungan
Wah, jangan-jangan kau jadi ilfil setelah baca puisi tak beraturan
Sayang aku tak tahu harus berkata lewat apa selain puisi
Aku hanya bisa bicara lewat puisi tak beraturan alias berantakan
Yah, untuk puisi ini memang terlalu panjang
Kalau begitu anggap saja ini sumpah serapah
Aku mau bilang padamu, puisimu sangat indah, terlampau bagus kombinasi kata yang kau campur-campur itu
Kadang malah bikin perasaanku meledak
Sayang, tapi puisi tak bisa bikin kenyang, kalau itu hanya tulisan hitam di atas putih atau malah di ketikan maya
Sayang, hidup tak hanya makan puisi, walau aku tahu ada beberapa orang yang bisa beli nasi gegara puisi
Sayang, tapi tidak sembarang orang, tidak semua orang
Sayang, kau sudah menawan tanpa kau tulis berlembar-lembar puisi di kertas putihmu
Sayang, cobalah kau bergerak, melangkah, pada hal-hal yang berbau uang
Ah sayang, apa aku terlihat materialistis sekarang
Ah, pasti kau jadi ilfil beneran
Tapi benar sayang, kita tak bisa memakan berlembar-lembar puisi di kertas putihmu
Aku lebih suka meloakkannya agar bisa jadi kepingan receh yang bisa dibelanjakan
Yah sayang, ini hanya gerutuan wanita saja
Yang butuh kejelasan masa depan dan kesejahteraan
Ku harap kau tak perlu marah dan menumpahkan tinta di bajumu
Aku hanya wanita saja, yang melihat kerasnya orangtua untuk membiayai hidup anaknya
Aku hanya wanita saja, yang tidak ingin jadi pengemis di mata orang tuanya karena yang ada di rumahnya hanya berlembar kertas puisi saja
Sayang, aku mencintaimu
Apakah kamu mencintaiku juga?
Ah tentu saja kau mengatakannya lewat berbait puisimu
Tapi sayang aku butuh cara lainmu ungkapkan sayang lewat kerja kerasmu sediakan nasi dan lauk pauk
Ah sudahlah mungkin aku benar-benar membuatmu ilfil sekarang
Dan puisiku tak sebagus puisimu yang bisa meluluhkan hati
Puisiku lebih mirip angin ribut yang dijejali beribu belati
Menusukmu tepat di pusat hati
Sayang, aku mencintaimu, pun mencintai puisimu, hanya saja sayang bisakah kau lakukan hal lain selain menulis puisi dan menulis puisi
Yah sayang, mari bekerja lalu bertukar puisi di malam-malam gelap penuh awan, mari bikin puisi bangunkan bulan yang akhir-akhir ini tak lagi terang
Selamat sore sayang, maaf  bikin hatimu patah dan marah
I LOVE YOU
Pacitan, 1 Juli 2017