Pages

Kamis, 18 Agustus 2016

Didi Kempot dan Campursari

"Didi Kempot" nama ini tidaklah asing bagi saya. Sejak saya masih belajar untuk mengeja kata, setiap hari ayah saya pasti mendengarkan lagu dari musisi campursari asal Solo ini. Suaranya yang khas dan ditambah dengan irama musik yang nyaman di kuping, Didi Kempot dan campursari sudah menjadi bagian dalam hidup saya.
Kebanyakan orang mungkin berpikir kalau saya kampungan karena selera saya. Tapi memangnya apa yang salah dengan itu? Memangnya musik kampungan dan modern dilihat dari segi apa? Dari segi bahasa yang sulit dilafal atau dari hentakan musik yang tidak karu-karuan? Memangnya apa yang salah dari musik campursari?
Dari musik ini saya dapat belajar kosakata bahasa jawa yang lebih mumpuni. Saya mulai belajar untuk merangkai kata kiasan dengan susunan sebuah puisi dalam versi bahasa Jawa, bahkan ketika saya belum mengenal apa itu syair dan puisi.
Bagi saya lirik lagu Didi Kempot adalah syair yang saya pelajari pertama kali. Melalui lagu karangannya saya yang masih duduk di SD belajar tetang sebuah dunia orang dewasa. Dunia orang dewasa yang ditinggal pergi dan dikhianati kekasihnya (Cidro), tentang perjuangan seorang lelaki menafkahi istrinya (Layang Kangen), tentang kehidupan poligami (Bojo Loro), dan sindirian untuk orang yang lupa akan asalnya (Kere Munggah Bale). Tentunya masih banyak lagu karangan Didi Kempot yang menyoroti tentang kehidupan, dan karya dari lagu-lagunya sampai saat ini tidak pernah mati.
Suara Didi Kempot akan tetap menemani malam-malam saya yang sangat merindukan rumah dan merindukann masa kecil saya yang dikelilingi syair-syairnya. Tapi saya cukup lega, karena walaupun orang sekarang lebih bangga memutar lagu-lagu barat, Didi Kempot tidak pernah putus asa untuk menyebarluaskan karyanya. Hari ini, aku tidak hanya mendengar lagu Stasiun Balapan ataupun Tanjung Mas Ninggal Janji, hari ini saya dapat menikmati karya Didi Kempot dari sudut banyak daerah seperti dari Malang (Ademe Kutho Malang) dan sebuah lagu tentang kota saya Pacitan (Pantai Klayar).
Bagi saya musik campursari terutama ciptaan Didi Kempot menjadi oase bagi kehidupan musik saya yang penuh dengan kata-kata picisan tentang cinta dan syair-syair yang tidak puitis lagi. Musik campursari Didi Kempot masih tetap memiliki ruhnya sebagai musik dengan syair-syair yang puitis dan tetap enak untuk di dengarkan. Dan karena itulah, musik campursari Didi Kempot tetap hidup, terutama dalam hati saya.



Sabtu, 13 Agustus 2016

CINTA BOSA BASI

Waktu itu pukul satu, langit masih terang dan matahari masih punya tempat di atas sana. Kamu yang pakai sweater warna hijau tiba-tiba muncul begitu saja. Menggunakan helm vespa warna coklat kamu langsung memarkir motor beat merah putih di hadapanku. "Deg" satu detik saja, jantungku berhenti berdetak dan nafasku tertahan di tenggorakan. Kamu melangkah saja dengan sikap biasa, di depanku, membelakangiku, menjauh dan akhirnya menghilang di balik dinding bangunan.

Adegan itu menjelma de javu di hadapanku. Seperti kaset kusut yang diputar berulang kali, dengan adegan yang sama, dan ending yang sama, hanya saja tempat dan suasananya berbeda. Sama halnya dengan kejadian siang ini yang bertempat di salah satu halaman kampus yang separuh sepi. Kamu tak pernah menyapaku akupun juga tak berani menyapamu dan tidak akan pernah cukup untuk memiliki keberanian itu. Sampai kamu menghilang di sudut-sudut gedung atau ditelan sekumpulan orang.

Tapi, berbeda dari hari-hari yang lalu, hari ini aku tidak hanya bisa melihat punggung terakhirmu. Hari ini setelah kau menaruh ransel kesayanganmu, kau duduk di deretan kursi berjarak lima meter dari tempatku. Kamu duduk di sana, ngobrol, dan nyanyi sama teman-temanmu. Sedangkan aku.... kamu pasti tahu sendiri. Aku sibuk menata hatiku yang mulai berlompatan seperti kelinci, tak bisa kutangkap dan kupasang pada kotak-kotaknya sendiri.
"Ah, apa seperti ini rasanya orang jatuh hati?"
Aku tetap saja mengulang pertanyaan itu dalam hatiku setiap melihatmu. Aku masih tidak mengerti mengapa aku menyukaimu. Apakah karena mata sipit di wajahmu? Atau kulit putih tanpa noda yang menyelimuti tubuhmu? Lalu bagaimana jika semua itu hilang darimu. Jika matamu tak lagi sipit, dan kulitmu tak seindah yang aku lihat hari ini.
Aku bertanya-tanya lagi, "apakah benar ini jatuh hati?"
Aku mengetahui sosokmu sejak satu tahun yang lalu dan sampai sekarang aku hanya sampai pada tahap mengetahui, tidak memahami, atau melakukan aksi, apalagi analisis, sintesis, atau bahkan evaluasi. Sejak satu tahun lalu aku hanya berada di tempat yang sama dan tanpa kemajuan. Benar-benar siklus jatuh hati tanpa ujung bukan?
Dan hari ini kamu ada di sampingku (walaupun jauh), aku masih saja melihatmu yang semakin jernih di mataku. Lalu aku kabur, karena takut dengan perasaanku yang membumihanguskan pikiranku. Berasa ada sistem yang eror di kepalaku, semacam koslet karena dua kutub yang seharusnya tak bertemu tiba-tiba saja bersinggungan satu dengan yang lainnya, mengelupas oleh getaran yang dihasilkan organ pompa darah.

Entahlah kejadian itu seperti di ulang terus-terusan. Seakan ada yang memutarnya beratus kali agar aku mengerti. Tapi mengerti untuk apa? Untuk cinta yang tak harus dimiliki dan hanya bisa disimpan di dalam hati? Ah, bagiku itu hanya basa-basi. "Dan apakah jatuh hatiku juga cuma basa-basi?" tayaku pada pintu gedung yang menutup, basa-basi untuk mengetahui, basa-basi untuk memahami dan akhirnya bosan sendiri.

Aku masih mencarimu sore itu, berharap aku bisa mengembalikan memori yang dihapus konsleting otakku, tapi kamu tidak ada, dan kamu tetap jadi bosa-basi tak berujungku. Sekali lagi aku menatap pintu itu dan bertanya kamu ada di mana.

Rabu, 10 Agustus 2016

SKENARIO

Malamnya sepi, hanya suara lirih laptop di kamar sebelah yang mengalirkan logat korea ke kamarku. Tidak seperti hari-hari yang lalu, televisi 14 inci yang tepat berada di depan kamarku kini terlelap, hanya lampu indikator warna merahnya yang menyala merah, marah karena tidak ada lagi yang mempedulikannya.
Ya, hidup memang selalu berubah sesuka hatinya. Rupa-rupanya dia ngikut saja pada dendangan  waktu yang mengalun pelan-pelan dari detik, menjadi menit, menjadi jam, menjadi hari, menjadi minggu, menjadi bulan, dan akhirnya menjadi tahun. Hidup seumpama anak kecil yang mengejar pelangi di angakasa berharap bisa bertemu ujung dan membelainya.
Hidup membuat pemainnya pada skenario skenario yang ditulis rapi entah sejak kapan. Menamparkan banyak pengalaman rasa sakit dan luka, lalu membiarkannya duduk terasing di tempat tersepi, biar tubuh  bisa merenung dan menata ulang lagi.
Aku berada pada ruang sepi itu, masih merasakan sayatan-sayatan perih yang sedang aku tutul dengan antibiotik harapan. Nyeri memang, tapi aku juga ingin menghibur diriku dengan masa lalu yang indah. Masa lalu saat orang-orang itu berada pada tempat yang aku pijaki saat ini.
Waktu itu aku masih sangat lugu. Aku bagai orang yang tinggal jauh dari kota dan tiba-tiba masuk dalam lingkungan serba luas dan bergerak sangat cepat. Lalu aku bertemu mereka, orang-orang yang banyak bicara dan cerita. Orang-orang yang tak lelah menjawab ketidaktahuanku, orang-orang yang aku kagumi. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam aku pandangi dari jarak 20 meter dari tempatku berdiri, orang yang sering mengajakku diskusi, orang-orang yang menguatkan aku agar tetap tidak lelah bermimpi.
Namun, hidup yang kejam sering mengingatkan aku pada titik titik bahwa mereka akan menghilang pada waktunya. Dan mulai sejak saat itu sayatan itu muncul dalam hidupku. Awalnya hanya bekas merah namun lama-lama berdarah dan bernanah.
Semakin hari aku menyaksikan mereka semakin jauh dan hilang. Aku tidak bisa melihatnya sesering dulu atau bertukar pikiran seperti waktu-waktu yang lalu. Mereka sibuk dengan skenario hidupnya yang mulai berbeda denganku dan aku sendiri harus tetap melanjutkan skenarioku.
Lalu aku belajar untuk membiarkan mereka mulai jauh, aku mulai membiasakan mandi sakit hati setiap hari, setiap aku ingat bahwa skenario yang ditulis saat bersamaku akan habis besok atau lusa. Aku menyaksikan mereka dari jarak pandangku mulai menyelesaikan skenarionya, seminar, sidang, lalu yudisium.
Dan pada akhirnya televisi itu istirahat, tidak ada komentar komentar histeris saat melihat pasangan Boy dan Reva bersama, atau melihat serial Uttaran yang terlampau panjang. Pada pijakan ini, seharusnya aku yang menyalakan televisi itu, meneruskan tawa dan komentar histeris yang terulang setiap petang, mengusir penat dan lelah yang seharian menerjang.
Hari ini, aku pada tempat mereka tapi tak bisa berbuat seperti mereka. Dan aku masih tetap saja belum berdamai dengan masa lalu dan tetap berharap mereka tidak pergi. Aku tidak tahu bagaimana menyambut orang-orang baru yang akan mengisi separuh skenario yang tersisa. Apakah aku akan banyak bercerita seperti mereka? Apakah aku akan cukup untuk dihargai dengan tingkah selengekan dan penuh kejailan? Aku merasa belum pantas berdiri di tempat ini, belum pantas dituakan apalagi dijadikan panutan.
Hidup dan nyanyian waktulah yang akan memberikan jawaban. Jadi, untuk sementara biarkan saja aku di ruang sepiku, mengobati luka dengan mimpi dan harapan yang mulai kurajut lagi.

Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh kakak kakak yang pada tahun ini telah menyesaikan skenario S1 nya dan siap melangkah ke panggung wisuda. Aku ikut bangga karena kakak berhasil menyelesaikan skenario kakak, sekaligus merasa kehilangan karena kakak telah memberikan saya pengalaman yang sangat berharga. Terima kasih karena telah peduli dan terima kasih telah mengisi hidup saya meski sekarang harus cerai dan pergi.


Selasa, 09 Agustus 2016

Namanya Eko

Langit Malang yang tak juga gelap menampakkan awan yang  masih tak lelah berjalan- jalan dari sisi langit yang satu ke sisi yang lainnya. Seakan dengan begitu sejarahnya tidak akan habis di makan angin dan gaya tarik bumi.
Aku sendiri tidak begitu peduli dengan arakan awan yang tak kunjung lelah itu.  Hari ini aku hanya ingin bercerita tentang seseorang. Seseorang yang pertama aku mengenalnya adalah seorang ibu paruh baya mengenakan daster sederhana yang membuka pintu gerbang dengan celotehnya yang panjang dan suaranya yang sangat kencang.
Ibu dipertigaan yang membuka toko itu mengenalkannya padaku sebagai Bu Yoga.  Ya, Bu Yoga, wanita agak gemuk, berkulit putih dengan rambut hitamnya yang ikal. Aku masuk ke gerbang rumahnya berharap ada satu tempat tidur yang bisa menampungku untuk belajar di kota asing ini.
Aku mengekor padanya, memasuki emperannya yang teduh dan masuk ke ruang tamunya yang hangat. Aku merasa nyaman saat menduduki sofa sederhana berwarna abu-abu miliknya. Dalam hati aku membatin bahwa ini tempat paling pas untuk kutinggali.
Hingga mataku yang lugu menatap sebuah lukisan di dinding sebelah kiriku. Lukisan itu menelisik ulu hatiku dan menggoyahkan kenyamananku. Lukisan yang tergantung di atas dinding itu memberikan tatapan asing padaku, bahwa aku dan dia sebenarnya berbeda.
Aku mulai ragu dan takut. Sejak kecil aku hidup di tempat di mana orang-orangnya memiliki keyakkinan yang sama denganku. Waktu aku SD, waktu aku SMP, waktu aku SMA semua sama. Tapi hari ini aku mendapatkan sebuah pengalaman baru, perasaan takut dan ingin tahu menguasai rongga-rongga hatiku.
Lalu dengan polos aku bertanya padanya, “apakah aku bisa sholat di rumahnya? Apakah aku bisa ngaji? Apakah aku bisa puasa?”
Ibu itu memang tidak tersenyum ramah seperti ibu peri dalam dongeng dongeng yang sering kudengar. Tapi aku bisa melihat ketulusan kata-katanya, “saya memang nasrani mbak, tapi anak-anak yang kos di sini semuanya islam. Saya tidak membeda-bedakan seseorang karena keyakinannya, karena keyakinan adalah pilihan masing-masing orang. Dan saya senang, karena mbak mbak yang kos di sini semuanya rajin-rajin ibadahnya. Kita memang beda mbak, tapi bukan berarti harus memisahkan diri satu sama lainkan?” ceritanya panjang lebar.
Dan dengan keyakinan yang aku tambatkan pada kuasa Ilahi aku menyetujui tinggal di sini dan membayar sejumlah uang muka.
Awalnya aku masih sibuk bertanya, “benarkah ibu ini benar-benar serius dengan perkataannya?”. Aku pun mulai mencari jawaban, dan jawaban itu adalah iya. Ibu benar-benar tidak membeda-bedakan kami yang tidak sama keyakinannya dengan dia. Ibu tetap baik seperti orang lainnya, sering membagikan jajanan pasar yang tidak habis dia jual di sekolah. Sesekali ibu juga memberikan kami takjil untuk buka puasa saat berpuasa sunah. Ibu juga tidak melarang kami melantunkan ayat-ayat Allah selesai magrib dan selesai subuh. Ibu tetap pada keyakinannya dan kami tetap pada keyakinan kami.
Ya, dia Bu Yoga walau sebenarnya  nama aslinya bukan Bu Yoga, tapi Bu Eko. Dia selalu menggantikan tempat ibu yang kini jauh dariku, mengomeliku karena perkara sepele karena belum makan dan tidak mau mandi. Bu Yoga seakan menjelma jadi ibu baruku, yang akan menanyakan keberadaanku saat tidak ada di kos dan selalu menyuruhku belajar. Sesekali saat kami duduk berdua, dia akan menceritakan aku banyak kisah tentang silsilah keluarganya, kesuksesan adik-adiknya, dan menasehatiku agar belajar dengan baik agar bisa sukses di kemudian hari.
Sering Bu Yoga bercerita bahwa dia tidak seberuntung adik-adiknya. Namun, bagiku Bu Yoga adalah salah satu keberuntunganku selain diterimanya aku sekolah di tanah ini. Karena dia, aku dapat membanggakan diri bahwa tidak hanya bu kos mereka yang peduli tapi ibu kosku juga. Bahkan di tengah perbedaan kami.
Mungkin hal inilah yang membuatmu akan tetap merasa hangat memasuki rumah ini dan merasa disambut keramahan, karena suara nyaring bu Yoga akan menjadi penghangat alami di kos ini.
Oh iya, namanya Eko, Eko Sriwahyuni. Tapi orang lebih akrab memanggilnya Bu Yoga. Ah, setidaknya kamu tahu tentang diakan.