Pages

Jumat, 25 Mei 2018

Selamat pagi, semoga kamu bangun dengan kebahagian. Semoga diujung bumi orang itu tak berhenti berdoa demi kebahagiaanmu. Semoga kamu juga membalasnya dengan doa yang sama, tak peduli apakah kamu tahu siapa dia atau tidak. Bilang saja pada Tuhan bahwa doa ini teruntuk orang diujung bumi yang selalu mendoakan kebahagianmu. Semuanya.

Selasa, 27 Maret 2018

Aku dan Bulan Maret

Aku dan bulan Maret sebenarnya selalu bertemu secara konstan
Tiap tahun sejak aku mendorong diri keluar dan didorong untuk keluar dari perut
Aku bertemu Maret
Tak kurang, tak lebih
Aku bertemu Maret sebanyak 31 hari setiap tahunnya
Tak seharipun lewat
Maret menyapaku dengan anginnya yang sepoi
Dengan matahari dan air yang siap mengguyur kapan saja
Maret yang selalu tersenyum dari awal hingga akhir

Maret lewat nada anginnya sering berbisik padaku
Katanya April terlalu jahil dan suka menipu
Disuruhnya aku hati-hati bila harinya telah habis diganti April
Maret juga kadang bercerita tentang Februari yang sesekali berganti
Membuat bulan cinta itu datang tidak pasti
Pesannya jangan seperti Februari yang sesekali memberi banyak tapi lebih sering sedikit
Seperti pesan singkat yang dikirimkannya tiap 4 tahun sekali dia akan datang lebih lama satu hari
Mengajakmu bercumbu dengan kali Blumbang dan berkencan di rumput-rumput Lodenok
Aih, aih, aih rasanya Februari pun sudah lupa dengan janji-janji
Sudah bertahun-tahun dia tak mengajakmu bercumbu di kali Blumbang juga tak mengajakmu kencan di benteng peninggalan Lodenok
Februari juga pergi terburu-buru, 28 hari dipangkasnya jadi satu minggu
dan semua berganti

Aku dan maret adalah sebuah pertemuan dan perpisahan
Dan kini dia menangis sesenggukan padahal biasanya dia biasa saja
Katanya dia takut aku sendirian di April
Dia takut pundakku akan rapuh tanpa sokongannya
Kubilang, jangan khawatir ada banyak tiang yang akan menyangga
Dan perpisahan hanyalah sebuah skip untuk kembali pada pertemuan
Maret masih menangis, katanya dia ingin memperpanjang satu minggunya lebih lama menjadi minggu-minggu yang tak habis atau tahun-tahun yang tak putus
Kubilang, aku harus terus berjalan biar aku bisa menyelesaikan tiap skenario yang sudah dituliskan
Maret bilang "andai aku adalah penulis skenariomu, maka akan kutulis ceritamu di bulanku."
Kubilang "hey, jangan egois, aku mesti bertemu bulan bulan lainnya supaya bisa belajar dan menjadi lebih baik dari sekarang"
Maret cemberut, disedekapkannya dua tangan di dadanya, dalam hatinya dia mengamini bahwa dia memang harus berakhir agar aku bisa pergi
Toh tahun depan jika ada umur panjang Maret dan aku akan bertemu lagi

Malang, Maret 2018

Sabtu, 17 Februari 2018

MAS MIZONE



Siang hari di kampus. Panas matahari yang begitu menyengat tertiup desiran angin sejuk di lorong sebelah barat kampus. Aku dengan kerepotan membawa setumpuk kerudung motif beraneka jenis yang aku jajakan di waktu luangku.
Di kanan kiriku Ilmi dan Dea sibuk membantu membawakan tas-tas yang isinya masih sama. Ilmi yang berada di sebelah kananku sesekali mengomel dan mengeluh padaku. Menanyakan bagaimana nasibku jika tidak ada dia dan Dea yang mau membantuku.
“Ya aku nggak bakal bawa barang sebanyak ini Mi,” jawabku santai, terkekeh. Aku melihat wajah Ilmi yang cemberut dan berbalik menatap Dea di sampingku. Dea menatapku dan tersenyum kecil seperti biasa, sedang aku tersenyum puas melihat Ilmi yang selalu cemberut seperti itu. Bagiku itu hiburan kecil di tengah hidupku yang penuh dengan ketidakpastian. Terutama cinta.
Cinta bagiku adalah problema yang tak punya solusi setitikpun. Aku Cuma berandai-andai di tengah ruwetnya hidupku mengerjakan tugas-tugas dosen yang mengalir deras tanpa usai, mencari rupiah demi rupiah untuk membayar kuliah dan kos aku bisa menemukan seseorang yang bersedia meminjamkan bahunya barang lima menit untuk melepas lelahku.
Di tengah lorong ini masih dengan Ilmi yang menggerutu dan Dea yang membisu aku  tersenyum-senyum membayangkan seorang pangeran berjalan menghampiriku dengan tawa renyah dan wajah penuh dengan kedamaian. Tak sadar kurasakan badanku berputar seperti gasing yang dilepaskan. Ada debar dan detak-detak seperti genderang yang memeuhi ruang dadaku. Mengasyikkan hingga aku sulit bernafas dan mataku terpaku.
“Mi, De, ada malaikat lagi jalan-jalan,” kataku lirih.
Ilmi sepontan langsung mengusap wajahku dengan anarkis, “hmmmm, Ganis, mata kamu hampir keluar tuh,” serunya tepat di telingaku. Aku Cuma meringis menyadari kekhilafanku.
“Tapi masnya emang lucu Mi, tawanya renyah kaya kripik,” aku berbalik menatap Dea mencari pembelaan, “iya kan De?” Dea dengan ketulusan memberikan senyumnya padaku tanda dia mendukungku.
“Mi, De, kayanya ini pertanda,” kataku mantap menatap bayang-bayang orang yang aku kira hanya halusinasi itu.
“Pertanda apa?” tanya Dea.
“Kalo dia jodohku,” kataku lebih mantap dengan senyum tersungging. Mas-mas itu kini lenyap di belokan gedung perpustakaan. Namun aku masih saja menatap lurus ke arah menghilangnya. Dalam benakku walaupun dia sudah menghilang tapi lintasan jejak kakinya membentuk potongan-potongan film yang mungkin akan selalu terputar dalam memoriku bahkan jika nanti aku tidur.
Jatuh cinta terkadang membuat kita lupa sejenak akan hidup kita yang begitu rumit dan penuh dengan persoalan-persoalan yang selalu datang. Begitu juga denganku, jatuh cinta pada mas-mas kemarin siang membuatku bisa tersenyum sepagi ini, di tengah ruangan yang nantinya aku akan bertemu dengan seorang dosen yang dengan tatapan matanya saja aku akan meleleh. Tapi tak apa, walaupun aku harus tercerai berai menjadi atom ataupun potongan netron, proton, dan elektron akan aku terima dengan ikhlas dan tulus hati.
“info baru!” seruku riang ketika aku sudah menjejakkan kakiku di hadapan meja Dea dan Ilmi di lantai tiga.
“Apa?” tanya Dea penasaran.
Aku tersenyum, “aku tahu nama mas-mas yang kemarin De.”
“Siapa?”
“Rafiq, namanya Mas Rafiq,” aku melepas ransel di pundakku dan duduk di sebelah mereka.
“Dari mana kamu tahu Nis?” tanya Ilmi yang mulai tergoda dengan ceritaku.
“Dari daftar pinjam peralatan di ruang TU,” jawabku dengan nada tidak bersalah.
Ilmi menghela nafas antara kesal dan mungkin menghargai kecerdasanku. Lalu dia menatapku tajam ingin membunuh, “ jadi itu alasan kamu belum mau naik padahal kita ada jam dosen killer itu?” Aku menjawabnya dengan cengiran.
“Kalian harus dukung aku ya,” pintaku dengan wajah memelas. Aku bangkit dari kursi dan menggenggam tangan mereka lalu aku tatap mereka satu persatu, “Mi, kamu kan sudah punya Yudhi, Dea juga sudah punya Mas Shidiq, bantuin temen kalian ini supaya  dapat pasangan juga,” kataku memelas di hadapan mereka.
“Emang apa hubungannya Nis?”
“Jelas ada dong, masa kalian tega temen kalian yang satu ini jadi jomblo terus.”
“Kalau menurutku nggak ada salahnya dengan jomblo, Nis,” kata Dea. “Berarti Tuhan lagi nyiapin yang terbaik buat kamu,” sambungnya.
“Kamu benar Dea,” aku tersenyum cerah, “dan ini seseorang yang disiapin Tuhan itu,” sambungku.
Mendengar jawabanku mereka berdua saling berpandangan, menatapku tajam, lalu berteriak kencang, “GANISSSSS”
Berkat kecanggihan  teknologi akhirnya aku mendapatkan banyak info tentang Mas Rafiq, atau kalau sekarang sudah aku panggil Mas Mizone, kenapa? Karena setiap kali aku papasan sama dia semangatku langsung meluap-luap sama seperti iklan yag ada di TV yang sering aku lihat.
Dari sosmed aku tahu dia lahir tanggal 8 Maret 1994, hobi naik gunung, asli Trenggalek dan senang menggambar. Dari pengamatanku yang jeli Mas Mizone berangkat ke kampus naik Motor Revo dan kosnya tidak jauh dari kosku. Pertanda nih, pertanda. Aku semakin riang gembira.
Ngefans sama Mas Mizone itu bener-bener bikin semangat. Tiap pagi aku bangun dengan  cerah ceria dan tidur dengan cerah ceria. Walaupun pagi aku harus kuliah dan siang harus jualan asal bisa lihat Mas Mizone semangatku langsung ngumpul lagi.
“Sorry Nis, ibuku belum kasih kiriman bulan ini,” kata  Ninik salah satu pelangganku. Dengan wajah memelas dia menaruh kerudung yang sudah dia buka di tanganku.
“Iya, nggak apa-apa,” kataku memaklumi walaupun dalam hati aku juga merasa kesal. Apalagi tindakannya itu ibarat virus yang cepat menyebar, anak-anak yang ada di sekitarnya mengikuti tindakannya satu persatu dan mengembalikan kerudung yang sudah terbuka ke atas tanganku. Di tengah riuh rendah permintaan maafnya aku Cuma bisa menjawab lirih, “iya nggak apa-apa, makasih ya.”
Setelah mereka pergi meninggalkan pekerjaan baru untukku, aku mencari tempat bersandar dan duduk. Aku menarik nafas panjang dan mulai melipat kerudung-kerudungku yang berceceran.
“Sini aku bantuin,” suara itu mengagetkan aku. Tanpa dikomando dia mengambil kerudung di tanganku dan berusaha melipatnya. Aku menatapnya masih tidak percaya, aku ingin bicara menyapanya. Namun yang keluar hanya udara yang bisu. Akhirnya hanya keluar kalimat yang begitu memaksa dan salah tingah, “nggak usah repot-repot mas, aku bisa sendiri kok.” Aku merebut kerudung dari tangannya. Orang itu melepas kerudung dari tangannya lalu mengulurkan tangan, “aku Rafiq, nama kamu siapa?”
Seperti orang bodoh aku hanya diam saja. Bagaimana tidak, sudah beberapa lama aku hanya bisa melihatnya diam-diam dan kini dia mengulurkan tangan untuk kenalan.
“Nama kamu siapa?” ulangnya.
“Ehm, aku Ganis Mass,” jawabku.
“Ganis ya? Nama kamu bagus juga,” ujarnya dan aku hanya bisa tersenyum.
Sejak perkenalan itu entah kenapa kami jadi begitu dekat. Aku dan Mas Mizone ibarat magnet beda kutub yang selalu lengket dan selalu tarik menarik. Setiap kali aku berada di suatu tempat Mas Mizone pasti ada di sana.
Hal ini tentu membuatku girang bukan kepalang. Ilmi dan Dea yang menjadi pendengar setiaku kerap kali hanya bisa geleng-geleng melihat tingkahku. Sering mereka menasehatiku agar aku tidak begitu mudah berharap. Namun aku seakan tuli dengan nasehat itu.
Sering kami keluar berdua hanya sekedar untuk membeli es krim atau mengantarku jika ada keperluan mendadak. Mas Mizone begitu bisa aku andalkan.
Sore itu setelah mengantarku dari kampus utama dia menurunkan aku di depan kos.
“Makasih kak,” ucapku. Mas Mizone  hanya mengangguk dan tersenyum.
“Nis?”
“Iya Mas.”
“Kamu mau nggak liburan minggu ini main ke rumahku?” tanyanya. Aku masih diam, mungkin aku salah dengar.
“Nis, gimana? Mau nggak main ke rumahku?”
Walaupun aku merasa begitu kaget mendengarnya, ada gemuruh riuh yang bergolak di hatiku. Muncul pertanyaan-pertanyaan yang membuatku mengembangkan senyum, “apakah aku akan dikenalkan dengan orang tuanya?” “Benarkah Mas Mizone suka denganku?” Reflek aku mengangguk mengiyakan. Mas Mizone yang duduk di motornya tersenyum senang. “Ok, kalau gitu hari jum’at sore nanti aku jemput di kos, kita bakal naik kereta ke Trenggalek.”
“Siap Bos!” aku memberi hormat padanya. Melihat antusiasku yang tinggi Mas Mizone memberikan senyum renyahnya lagi sebelum berlalu meninggalkan aku yang melambai riang padanya.
Hari H tiba. Ditemani ransel coklat kesayanganku aku menghampirinya yang sudah menungguku di halaman depan. Kami berdua melangkahkan kaki bersama menuju tempat menunggu angkot di seberang jalan yang akan membawa kami ke stasiun kota baru.
Angkot biru itu mengantarkan kami hingga turun di depan stasiun. Aku berjalan di belakang Mas Mizone yang mendadak berhenti. Aku hampir menabraknya dan menyadari dia sedang berbicara dengan seseorang di depannya.
“Hei Al, udah lama nunggu ya?” Mas Mizone menyapa seorang perempuan yang memakai celana dan jaket jeans dan kerudung motif warna kuning. Perempuan itu hanya tersenyum, “baru lima belas menit kok,” katanya kemudian.
Aku yang berdiri di belakang Mas Mizone bertanya-tanya, “siapakah dia?”
Mas Mizone menoleh padaku dan mengenalkan aku pada seseorang itu, “Ganis, kenalin ini Mbak Alma, dia juga ikut ke rumahku.”
Wajahku tampak kaget mendengarnya, “Mas Mizone ngajak cewek lain?” tanyaku pada diri sendiri. Namun kubuat hatiku berkhusnudzon, dan menyakinkan diri bahwa perempuan itu ada hanya sekedar aku tak sendirian di sana.
Sayangnya kehadiran perempuan itu merebut semua perhatian Mas Mizone padaku. Meninggalkan aku yang terduduk lesu di kursi kereta hingga tertidur.
“Nis, bangun Nis, sudah sampai,” terdengar suara sayup-sayup suara Mbak Alma di telingaku. Malas kubuka mataku dan mengikuti orang-orang yang mengalir mencari jalan turun.
Kami keluar dari stasiun dan menyusuri jalan kecil beberapa ratus meter. Di ujung perjalanan kami bertemu dengan rumah berwarna hijau sederhana.
“Assalamualaikum, Ibu, Ayah, Rafi pulang!” seru Mas Mizone saat kami tiba di teras rumah. Ayah Ibu Mas Rafiq tiba di pintu. Aku spontan tersenyum pada mereka. Namun mereka memandang kami diam tanpa ekspresi. Menyadari itu Mas Mizone bicara, “kok diem aja sih Yah, Bu,” Mas Mizone menghampiri mereka. Sebelum dia menuntun orangtuanya masuk ke dalam rumah dia menoleh pada kami, “Al, Nis, kalian duduk dulu, aku masuk dulu.”
Mengiyakan kata-kata Mas Mizone kami berdua duduk di kursi teras. Aku yang masih merasa heran  bertanya polos pada Mbak Alma, “mbak kenapa mereka diam saja?” Di depanku Mbak Alma hanya tersenyum kecil membuatku semakin bingung.
Orang tua Mas Mizone kembali bersama Mas Mizone.Ibunya membawa nampan berisi kue dan minuman sambil meletakkan nampan. Ibu itu menatapku lekat-lekat.
“Bu, kenalin ini Alma pacar Rafiq,” kata Mas Mizone dengan santainya. Mbak Alma berdiri dan menyalami kedua orang tua Mas Mizone.
“Dan ini Ganis,” lanjut Mas Mizone. Aku yang masih shock karena pernyataan Mas Mizone masih bengong di kursiku. Rasanya aku pengen nangis saat itu, tapi melihat orang tua Mas Mizone  yang memandangiku aku bangkit dari kursi dan menyalami Ibu Mas Mizone.
Alih-alih menyambut tanganku beliau langsung memelukku erat-erat sambil menangis. Sayup-sayup kudengar Mas Mizone melanjutkan perkataaanya, “yang aku bilang mirip sama almarhum Lisa.”
Almarhum Lisa? Aku bertanya-tanya. Ibu Mas Mizone melepaskan pelukannya memegangi tanganku menyentuh wajahku seakan-akan aku benda ajaib yang sudah lama dicarinya.
Penjelasan pernyataan Mas Mizone  akhirnya aku temukan di ruang tamu. Sebuah foto besar perempuan dengan senyum lebar. Perempuan itu benar-benar mirip denganku. Wajahnya, bibirnya, bahkan caranya tersenyum.
Dan kini aku sadar kenapa Mas Mizone begitu peduli denganku. Itu tidak lain hanya karena aku mirip dengan almarhum adiknya. Dan alasan dia membawaku jauh-jauh ke sini tidak bukan hanya supaya orang tuanya bisa melihatku.
Rasanya perih sekali menyadari kenyataan ini. saat Mas Mizone mengajak aku dan Mbak Alma  pergi melihat sekeliling aku memilih di rumah menemani Ibu Mas Mizone dan mendengar ceritanya tentang Lisa.
“Lisa meninggal karena lemah jantung 2 tahun lalu, dan keluarga ibu terasa beku sejak saat itu. Mas Rafiq tidak banyak bicara begitupun ibu dan bapak. Rumah ini terasa mati semenjak Lisa meninggalkan kami,” ceritanya.
Lalu beliau mengusap kepalaku, “tapi sejak 2 bulan lalu semuanya mulai berubah, mungkin semenjak Rafiq kenal sama kamu.”
“Dia banyak cerita kalau dia menemukan Lisa lagi. Kamu tahu Nis, Rafiq sangat menyayangi adiknya itu.”
Aku tersenyum, “tapi saya bukan Lisa Bu, saya tetap saja Ganis.”
“Ibu tahu kamu tidaklah 100% persis seperti Lisa. Kamu juga tidak lahir dari rahim ibu dan memiliki keluarga sendiri. Tapi melihat kamu saja bisa bertemu kamu kami sudah bahagia. Terlebih karena kedatanganmu sudah mengembalikan kebahagiaan kami.”
Kami terdiam cukup lama. “Ganis, kamu maukan sering-sering main ke sini?” tanyanya. Aku menatap beliau.
“Iya biar Rafiq yang nemenin.”
Aku tersenyum, “insya Allah Bu,” jawabku.
Malamnya orang tua Mas Mizone mengajak kami main ke sebuah taman. Di sana kami menggelar tikar dan makan bersama. Kami berbincang, bercanda, dan tertawa bersama.
Ketika orang tua Mas Mizone fokus pada Mbak Alma aku diam-diam pergi dan duduk di sebuah ayunan. Kupandang bintang-bintang yang sesekali berkedip padaku.
“Kenapa kedip-kedip? Seneng lihat orang lagi galau,” makiku.
“Ternyata kebaikannya selama ini hanya karena aku mirip adiknya,” omelku.
“Ternyata aku penyakit GR akut nih.”
“Penyakit GR akut? Penyakit baru Nis?” tanya Mas Mizone yang entah sejak kapan dia ada di sana. Aku melihatnya lalu berpaling lagi. Aku tidak tahu apa yang aku rasakan kalau melihatnya.
Mengabaikan kehadirannya aku mengayunkan kaki dan menyibukkan diri memandang bintang-bintang. Tak ada respon dari Mas Mizone lagi. Dia malah ikut duduk di ayunan tepat di sampingku, “dasar tidak peka,” batinku kesal.
“Makasih Nis,” katanya selang beberapa lama. Aku menatapnya, “buat apa?”
“Buat semuanya. Makasih udah mau deket sama aku, makasih udah mau datang ke sini, dan makasih udah buat keluargaku tersenyum lagi.”
“Yang ada aku yang berterima kasih Mas, udah boleh main ke sini.”
Mas Mizone tersenyum padaku, “sama-sama kalo gitu.”
“Nis, mas punya permintaan satu lagi buat kamu.”
“Apa Mas? Kalau Ganis bisa Insya Allah Ganis turutin.”
“Kamu mau nggak jadi adik Mas Rafiq.”
Dadaku terasa sesak seketika itu juga. Pisau-pisau tipis mulai menggores bagian terdalam hatiku. Andai dia tahu, aku tak hanya ingin jadi seorang adik tapi lebih dari itu.
“Kenapa? Karena Ganis mirip Lisa?” sentakku. Entah kenapa suaraku mendadak sarat akan emosi.
“Kamu nggak mau ya?” ada nada sedih dalam suaranya. Aku merasa bersalah sudah bertindak kasar.
“Ganis bukan Lisa Mas, dan nggak akan sama dengan Lisa,” aku mencoba menetralisir suasana.
“Mas tahu kamu bukan Lisa, tapi Lisa di atas sana pasti ingin kalau kamu jadi adik Mas Rafiq.”
“Dari mana mas tahu?”
“Keluarga mas jadi sepi, dingin, dan tidak berwarna sejak kepergian Lisa. Kami jadi apatis dan hidup sendiri-sendiri. Pasti di sana Lisa sedih. Tapi sejak kamu muncul semua berubah, kamu ibarat perantara yagn dikirim Tuhan untuk mengembalikan kebahagiaan kami, dan di sana Lisa pasti juga bahagia.”
Aku menatap Mas Mizone, lalu melihat ke bentangan langit malam dan melihat ayah, ibu, dan Mbak Alma yang sedang bercengkerama dengan hangat. Cerita ibu tadi mereka baru bisa saling bicara akrab lagi belum lama ini dan Mas Mizone bisa pulang baru saat ini. Ada ketidakikhlasan yang menyusup jauh di pori-pori hatiku. Namun di satu sisi aku ingin melihat keluarga ini tetap bisa seperti ini. “Besok kita bisa ke makam Lisa Mas?” tanyaku akhirnya.
Mas Mizone memenuhi permintaanku untuk pergi ke makam Lisa. Di sana kami berdua membersihkan makamnya dari daun dan rerumputan liar. Tak lupa kami menaburinya dengan bunga dan menyiramkan sebotol air. Lalu kami berdoa, kubacakan surat Al-Fatihah dengan khusuk dengan mata terpejam. Diakhir bacaanku, masih dengan menutup mata aku membatin, membayangkan jika sekarang Lisa bisa mendengarku dari surga, “Lis, tadi malem Mas Mizone minta aku buat jadi adiknya. Aku bingung Lis, satu sisi sebenarnya aku tidak hanya ingin Mas Mizone jadi kakakku, satu sisi katanya aku sudah membuat keluarga kamu kembali seperti dulu. Lis, aku tidaklah sama dengan kamu, terlebih aku tidak ingin menggantikan posisi kamu. Lis, bolehkah aku jadi bagian dari keluargamu? Menjadi adik Mas Rafiq? Kalau kamu denger aku, minta tolong sama Tuhan supaya memberi jawaban.”
Setelah menarik nafas panjang kubuka mataku. Aku takjub mendapati sekelilingku. Warna-warna cantik beterbangan di sekitar kami. Aku menoleh pada Mas Mizone dan diapun menggeleng tidak tahu.
Aku berpikir sejenak, benarkah kupu-kupu cantik ini jawabannya? Dan kupu-kupu itu seakan membentuk senyuman untukku, mengiyakan. Aku membalas senyumnya masih diselimuti ketakjuban.
Kutatap wajah Mas Mizone yang masih terpesona dengan sekelilingnya, “Mas?” panggilku.
“Iya,” dia menoleh padaku.
Aku menarik nafas panjang, berusaha memberikan keyakinan pada diriku bahwa ini yang paling baik, “aku mau jadi adik Mas Rafiq,” kalimat itu meluncur juga dari mulutku. Seperti roket yang meninggalkan bumi mencari pengalaman hidup di luar angkasa. Begitu juga kalimat ini, pastinya akan mengubah seluruh perjalanan hidupku nantinya.
“Benarkah?” Mas Mizone menatapku tidak percaya.
“Iya, aku akan berusaha jadi adik yang baik buat Mas Rafiq” kataku sambil tersenyum. Mas Mizone membalas senyumku, “makasih Nis?” katanya. Aku tersenyum lagi, ya paling tidak aku bisa membuatnya tersenyum kan?
Kembali di rutinitas kampus, aku bertukar cerita bersama Ilmi dan Dea tentang liburan kami. Saat aku mengakhiri ceritaku bukannya bersimpati karena kejadian itu, mereka malah tertawa terbahak-bahak.
“Kalian itu ya, orang ngenes gitu diketawain,” sungutku kesal. Seharusnya mereka kan prihatin dengan keadaanku.
“Abis dulu kamu bilang kalau pertanda jodoh nih, pertanda jodoh, ujung-ujungnya jodoh jadi adik,” kata Ilmi, “mana diajak ke sana sama pacarnya Mas Mizone lagi,” sambungnya masih dengan tawa yang menggelegar.
“Seneng banget kamu Mi,” aku menatapnya kesal.
“Tapi kalau menurutku kamu tetep berharga kok Nis, kata Mas Mizone kan kamu bisa ngembaliin keluarga itu seperti dulu lagi, apalagi yang waktu di makam itu,” kata Dea menengahi.
Aku menatap Dea lega, “iya juga sih De.”
“Iya Nis, kamu harus tetep bersyukur,” kata Ilmi akhirnya.
“Yap, emang sepertinya kau harus bersyukur,” kataku memotivasi diri.
“Gitu dong!” kata Ilmi sambil menepuk pundakku.
“Ke kelas yuk, udah mau mulai nih,” ajak Dea.
“Oke,” jawab aku dan Ilmi. Kami bangkit dari kursi di lorong barat. Karena terlalu bersemangat aku menabrak seserorang yagn berjalan ke arahku.
“Maaf Mas,” seruku spontan.
“Nggak apa-apa kok,” katanya sambil tersenyum.
Seperkian detik kutatap wajahnya sampai dia benar-benar hilang dari pandangan mataku.
“Mi, De, Tuhan cepet banget kasih ganti. Pangeran kuda putihku barusan aja lewat.”
“GAAANNNNISSSS!!!!” teriak mereka sambil memukuli aku.
Selesai