Kertas kusut itu
terlempar begitu saja dari tangan Agis. Kertas tak bersalah itu melayang dan
mendarat bersama tumpukan kertas lainnya di atas keranjang sampah. Kertas tak
bersalah itu ternyata tidak sendirian, dia hanya salah satu dari formasi
menggunung tulisan Agis yang tidak srek
di hatinya.
“Hei, Agis kenapa
kamu membuang kertas-kertas ini?” tanya Gina. Gadis berperawakan agak gemuk,
penggila jajanan pasar, dan pecinta lingkungan itu memungut dengan nelangsa
kertas yang telah disia-siakan Agis.
“Kamu tahu Gis,
untuk membuat kertas-kertas ini satu pohon harus dikorbankan, dan kamu tahu
Gis?”
“Aku tahu Gin, kamu
mau bilang satu pohon yang hilang juga menghilangkan satu kesempatan penghasil
oksigen di bumi kita.”
“Kamu tahu itu Gis,
tapi mengapa kamu masih saja membuang kertas-kertas ini?”
Agis menarik nafas
panjang, tidak menjawab pertanyaan Gina. Agis memilih untuk menatap keluar
jendela kamarnya, menatap langit biru yang sesekali dinodai awan putih.
“Gis, kamu ngelamun?”
Agis menatap Gina
dengan malas. “Ada yang hilang Gin,” katanya kemudian.
“Hilang? Kamu kehilangan
apa Gis? Apa itu penting?” tanya Gina khawatir.
“Sangat penting,
sesuatu yang amat penting.”
“Ya ampun Agis,
mengapa kamu bisa seceroboh itu?”
Agis diam.
“Kalau itu penting
ayo kita cari Gis, sebelum semuanya terlambat,” usul Gina dengan semangat.
Agis bertopang dagu,
menatap Gina yang mulai mengkhawatirkan kehilangan yang dialami Agis.
“Aku tidak tahu apa
yang hilang Gin, tapi aku merasa ada yang hilang. Sesuatu yang penting, sesuatu
yang berwarna, sesuatu yang manis, tapi aku tidak tahu dia apa atau dia siapa. Aku
hanya merasa kehilangan sesuatu dan aku tidak bisa tenang, bahkan hanya untuk
menulis.”
Gina memandangnya
dengan tatapan tidak percaya.
“Jadi aku minta maaf
padamu karena membuatmu menjadi kehilangan pohon kesayanganmu dan membuangnya
dengan percuma. Aku tahu bagaimana perasaanmu kehilangan mereka, tapi
setidaknya kamu tahu apa yang telah dicuri darimu.”