Pages

Jumat, 30 September 2016

Pesta Semalam

Rumah besar yang terlihat sederhana dengan gerbang hitam yang sudah berulang kali di cat. Emperannya terasa selalu sejuk entah pagi, siang, atau malam. Pohon mangga yang berbuah satu dua kali lebih meneduhkan atap yang lumayan tinggi.
Malam bergerak naik, bintang berpesta di atas langit, dan asap mengepul dari emperan yang teduh itu. Gerbang warna hitam itu terbuka menampakkan jalanan paving yang lengang. Hanya suara berisik ibu setengah baya dengan rambut keriting yang sedang menceritakan sesuatu kepada orang yang sedang mencari daun-daunan di luar sana.
Asap pemanggangan melenggang pergi bersusul-sulan diterpa kipas angin yang dinyalakan sedang. Sesekali mbak Dewi juru masak kami membolak-balik tusukan sate yang terbakar di atas pemanggangan. Bau daging sapi dan kambing yang kami tusuk sesorean menyebar dan menguar.
Emperan jadi ramai, musik dari hape diyalakan keras dengan speaker pinjaman, kamera-kamera di aktifkan dan tingkah narsis tidak terelakkan.
Ya, ini pesta kami, malam keakraban jika aku bisa berhiperbola. Malam ini kami berkumpul untuk memasak daging yang didapat mbak kosku (Ita) dari sekolah magangnya. Kami putuskan iuran untuk membeli jagung sebagai pelengkap hidangan, membeli bubuk keju untuk penyedap rasa, arang untuk bahan bakar dan alat panggang yang kini kepanasan menahan bara yang semakin seru semakin malam.
Ratna, juru kamera sekaligus pemilik kamera paling bening untuk sementara, mulai beredar dan berlalu lalang di antara kami. Sebagai maniak foto dan kenarsisan dia meminta semua orang untuk bersai "hello" di kamera oppo mirrornya. Sedang kami yang seperti laron-laron langsung mengerubutinya, seakan dia adalah cahaya. Kami berebut masuk ke dalam lubang kamera, diabadikan pada layar pipih di sana.
Beberapa menit kemudian mbak Rivat bergabung menambah hiruk pikuk. Malam berubah jadi hangat dan tugas-tugas dosen yang mengalir tanpa henti membentuk siklus, diam mengambang di udara untuk sesaat. Sebuah kebahagiaan dan tawa membekukannya. Kami berceloteh ke sana kemari, memuji mbak dewi yang demi bertusuk-tusuk sate rela belum mandi, mbak Rivat yang diangkat jadi ketua suku kos-kosan kami, pacar mbak Ita yang sering main ke kos, dan masih banyak olok-olokkan yang kami pentaskan malam ini. Inggit datang dengan raut muka agak kecewa karena kehilangan bagian cerita kami, dia harus mengajar les privat setiap habis magrib dan baru pulang pukul setengah delapan. Namun kekecewaannya tidak berlangsung lama, setelah menaruh tas di meja sembarangan dan tanpa ganti baju dia langsung mengikuti kami untuk berlomba masuk ke kamera. Tangan kami melambai, dan sebuah lagu dari Aderai yang aku lupa judulnya membuat kami bernyanyi, sebuah paduan suara yang berantakan tapi menyenangkan untuk dilewatkan. Kami menyanyi tidak peduli dengan tetangga yang akan mengomel karena mendengar suara kami yang naik turun.
Pukul setengah sepuluh, tikar di gelar di emperan kami, tusukan sate, jagung bakar, sambal kacang kini terhidang di tengah-tengah kami. Berimpit-impitan kami menikmati tusukan demi tusukan, menenggak es sirup yang dibuat tergesa-gesa.
Malam menyusut dengan cepat, celoteh kami tetap membahana. Walaupun kenyang kini membuat kantuk kami semakin nyata. "bagusnya acara ini bisa ada satu bulan sekali," komentar seseorang yang tidak aku perhatikan. "Tapi kan daging mahal," seruku masih menikmati setusuk daging sapi yang hampir membuat gigiku rontok. "Yo nggak perlu daging to, jagung kaya gini aja kan juga enak," saut yang lainnya. "Iya, yang penting itu kebersamaannya." kata seseorang yang aku juga tidak tahu siapa. Yang jelas malam ini aku merasa punya keluarga, seperti sedang mengumpulkan puzzle bahwa mereka adalah bagian-bagian yang bisa melengkapi satu sama lain. Arum teman sekamarku yang pandai dan endelnya setengah mati. Orang yang selalu belajar dan belajar tanpa henti. Inggit yang terlampau suka kebersihan, dia tidak akan membiarkan bahkan setitik noda melekat pada setiap inci kos-kosan kami. Lalu ima, pejuang kuliah yang menjual beraneka macam barang dan jasa, dari pulsa, kerudung, baju, les privat, dan entah apalagi yang berusaha dia jual, dia pembisnis pemula namun mudah adaptasi dengan pasar. Dan ada saudara kembarku (memaksa) yang penggila segala hal berbau korea, fans para oppa, penikmat lagu K-Pop dan rela begadang demi menonton drama korea di laptopnya yang dipaksa hidup terlunta-lunta karena hobinya. Dan terakhir Ilmi, dia tidak ikut pesta kami hari itu, dia tertidur pulas di kamarnya, tepar, setelah pulang dari Sidoarjo. Dia teman sekelas, sosok yang pandai, kreatif dan paling rajin beribadah. Mereka teman seangkatanku, teman seperjuangan dan berbagi keluh kesah dosen pada matakuliah yang sama, teman main, teman gila-gilaan, dan teman bersedih ria.
Satu jam kemudian tikar resmi kami lipat, alat-alat kotor kami bawa masuk untuk dibersihkan. Inggit kebagian tugas menyapu sisa bakar-bakar dan makanan. Malam berakhir, namun kisah dan cerita belum berakhir, hanya butuh jeda untuk bernafas. Kantuk butuh ditidurkan, dan walaupun banyak yang ingin aku ceritakan.....sesuatu masih bisa dilanjut bukan?

Malang, late post. acara ini di sponsori daging ibu kos dan mbak Ita pada waktu Idul Adha. Terima kasih ya, walaupun tidak sempat pulang karena banyak tugas, kalian telah memberi rumah untuk saya tertawa di hari besar ini.

Senin, 26 September 2016

SENDIRIAN



Saya sendirian, di tempat yang kau pikir sangat ramai ini aku sangat sendirian. Kamu meninggalkan saya tanpa menoleh ke belakang lagi. Kamu biarkan saya dengan luka menganga di kaki dan tidak kau perhatikan lagi.
Saya sendirian, dan tetap melangkah di jalanan sendiri. Butir-butir embun yang ada di kelopak mata perlahan mulai turun. Masih di belakangmu, masih luka lebih menganga dan penuh kerikil kecil.
Saya sendirian, tapi kau tak juga mengerti. Karena kamu lupa cara menggenggam tangan saya. Kamu lupa bahwa di tengah tawa pun terkadang ada sepi yang mengakar.
Saya sendirian, tidak mengertikah kamu? Sebuah kata yang tak bisa saya ucapkan dan terlanjur mengakar tidak diperhatikan.
Saya sendirian, ingin rasanya saya menangis dalam dunia saya. Saya ingin meluruhkan kedap yang ada di hati saya, mengakui bahwa saya sendiri dan terlampau terluka.
Saya sendirian, ingin lari ke  sepi yang yang membawa keramaian, ingin direngkuh puluhan tangan yang mengerti bahasa diam bahwa aku sendirian.
Saya sendirian, tapi kamu pikir aku dalam keramaian, kamu pikir aku direngkuh ribuan tangan. Faktanya matamu tak dapat lagi melihat kenyataan, yang kau lihat hanya sebuah siluet senyum yang sengaja aku paksakan.
Saya sendirian, memilih menyingkir entah untuk apa berkorban dan tak sengaja kau tepiskan. Blok-blok mulai membentuk dindingnya, waktu mulai membuat jaraknya, ruang menggali kuasanya.
Saya sendirian, entah di ujung pagi atau di kedalaman senja. Sesuatu hal yang engkau lupakan, engkau abaikan.
Saya sendirian, perlahan mulai luruh di air mata dan butuh sandaran. Tapi siapa? Kau melangkah dan tak juga menengok.
Saya sendirian, dan terlampau ingin pulang cari kedamaian. Kelelahan menahan penat yang tak dapat dibagi dan diratakan.
Saya sendirian.
Malang, 27 September 2016
Aku menipumu dengan siluet senyumku, mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku pikir suatu saat kamu akan mengerti. Tapi hari ini, aku menyadari kamu bukan orang sejeli itu.

Kamis, 22 September 2016

TANGGUNG JAWAB KATA MAMAK




Siang itu aku bangun terkejut karena Mamak menelepon. Sebenarnya aku tak perlu terkejut karena begitulah Mamak, seorang paranoid terhadap anaknya yang selalu ingin tahu apapun tentang anaknya bahkan hal paling kecil sekalipun. Mamak  adalah sosok yang akan selalu memantauku berapa banyak aku minum sehari dan berapa kali aku makan sehari. Dia adalah alarm yang akan selalu mengingatkan tentang kesehatan fisikku sekaligus kejiwaanku. Mamak menjadi alarm bagiku agar tidak pulang malam dan makan tepat waktu. Mamak adalah pemantau gizi makanan setiap hari walaupun sering aku tipui.
Ya, Mamak adalah teman curhat intensifku. Setiap hal yang aku lalui, semua yang aku temui tidak pernah luput dari Mamak. Pengalaman saat aku tidak bisa masuk kelas karena terlambat, tugasku yang bagai bom waktu, teman-teman dekatku semuanya aku ceritakan pada Mamak. Hanya saja aku tak begitu terbuka tentang satu hal dengan Mamak. Satu hal itu adalah perasaan “suka”. Entah kenapa itu bukan menjadi topik favoritku ketika bercengkerama dengan Mamak lewat saluran telepon. Aku lebih memilih berbicara tentang kuliah dan cita-cita, bercerita tentang adikku yang beranjak dewasa atau musim yang sedang terjadi di desa. Berkali-kali aku mendesak mulutku untuk berani menceritakan pasal “rasa” yang diam-diam muncul di hatiku sebagai bagian dari perkembangan sikogisku. Tapi mulutku selalu kelu dan aku tak pernah punya argumen lebih jika berbicara pasal “rasa”. Membicarakan “rasa” bersama Mamak aku sering berbenturan pendapat, namun sebagai anak yang tidak mempunyai pengalaman tentang “rasa” seperti dia aku hanya bisa terkekeh ketika mendengarkan argumen dan petuahnya. Aku tak pernah melawan kata-kata Mamak pasal “rasa” itu, karena aku tidak punya cukup teori tentang semua itu. Bagiku “rasa” itu adalah perasaan yang membuncah bagai kembang api yang dilontarkan pada malam tahun baru, meledak dan memancar menghiasi langit malam yang kelam namun penuh harapan.
Namun sore itu, kami berbicara sedikit pasal “rasa”. Tipis-tipis aku menanyakan bagaimana Mamak dan bapak bisa bertemu, pacaran, dan akhirnya menikah. Ternyata Mamak juga tak begitu banyak menceritakan pengalaman “rasa” nya itu padaku, seakan itu bagian dari tabu yang tak pantas untuk diceritakan. Bukankah Mamak berbeda dari ibu-ibu lainnya? Mamak hanya menceritakan bahwa dia hanya bertemu bapak beberapa kali dan untuk akhirnya siap dipinang dan menikah di usia muda. Ah, begitu sederhana bukan kisah cinta Mamak?
Karenanya dalam sore itu Mamak bilang padaku, “pacaran itu nanti-nanti saja kalau sudah sama-sama siap menikah, jadi kamu pacaran terus nikah jadi nggak perlu ada putus dan kamu juga nggak patah hati. Kamu juga nggak akan ada penyesalan sama mantan-mantan kamu” komentarnya panjang lebar sedang aku Cuma menyimak dan sesekali tertawa hambar. Mamak melanjutkan kata-katanya, “cari pasangan itu jangan Cuma dilihat dari gantengnya saja, memangnya kamu bisa makan kalau modal ganteng saja.” Sontak saja perkataan itu menohok ulu hatiku seperti aliran kedut listrik yang menggerayangi tubuhku untuk memberikan reaksi nyengir dengan suara nyinyir. Bagaimana tidak, hari ini, detik ini, bahkan ketika aku menulis tulisan ini, aku dalam posisi menyukai seseorang karena kegantengannya. Aku bertanya apakah Mamak tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang? “cari itu yang ada tanggung jawabnya,” imbuh Mamak. Sepontan karena perasaan aneh yang menggeliat dalam perutku aku berkomentar, “yang banyak uangnya ya mak?” “Tanggung jawab, ya pokoknya tanggung jawab, dia menerima kamu apa adanya. Bahkan sekalipun kalau dia jelek kalau tanggung jawab yang terima saja,” jawabnya.
Kami hanya berbicara sampai kata tanggung jawab karena Mamak masih sibuk menyetrika baju orang, dan akupun akhirnya mengiyakan. Telepon terputus namun pertanyaanku malah baru muncul sebagai akibat kebebalanku. Aku belum paham tentang tanggung jawab yang diusung Mamak. Apa yang Mamak maksud tentang tanggung jawab? Dimana aku bisa menemukan orang  dengan kriteria tanggung jawab yang dilontarkan Mamak? Sampai detik ini tanggung jawab hanya bisa aku artikan sebagai bentuk tindakan mencukupi secara finansial? Tapi kenapa saat aku tanya Mamak apakah orang itu harus banyak uang dia tidak mengiyakan?
Lalu aku berspekulasi pada pikiranku sendiri apa makna tanggung jawab yang dimaksud seorang Mamak. Mamak mungkin ingin aku menemukan seseorang yang bisa menjadi duplikat dirinya. Seseorang yang akan selalu ada saat aku ingin menceritakan hal-hal remeh temeh kehidupanku yang tercecer setiap hari. Mamak mungkin berharap orang itu akan bersedia menampung semua rasa suka dan sedihku dalam porsi yang sempurna dan meleburkannya menjadi kenangan yang akan selalu kuingat. Mamak mungkin berharap orang itu akan selalu sanggup mendengarkan aku bahkan dititik lelahnya sendiri, seperti Mamak yang tak bosan untuk mendengarkan ceritaku yang susunannya berantakan. Mamak mungkin berharap orang itu akan menjadi alarm untukku. Orang yang akan mengingatkan aku untuk minum 8 gelas perhari dan makan tiga kali sehari. Mamak mungkin berharap orang itu tidak akan membiarkanku kelelahan hingga jatuh sakit. Mamak mungkin berharap dia akan selalu merengkuh pundakku bahkan ketika dia tahu aku bukanlah orang yang sesempurna yang dia harapkan. Mamak mungkin berharap orang itu akan tetap menemaniku sampai Tuhan memisahkan kita.
Dan aku melukis doa di atas kata-kata Mamak itu agar aku suatu saat dipertemukan dengan kriteria tanggung jawab sepeti yang Mamak katakan. Orang yang akan mendekapku dalam semua doa dan pengorbanannya.


Selasa, 20 September 2016

Nostalgia Sore

Sore ini aku dan kamu bertemu dalam imajiku. Bernostalgia tentang waktu pertama bertemu. Waktu ketika matahari berkejaran dengan awan, turun ke barat dan tidur di pangkuan lautan. Aku suka soreku bersamamu, sore yang hangat, sejuk, dan nyaman. Aku larut bersamamu, menari dengan capung-capung berkejaran, menikmati hijau rumput yang segar, memandangi langit biru yang menyebar.

Soreku indah bersamamu, walau cuma bayangan semu, tapi momen itu tak pernah palsu di hadapanku. Soreku berasa cepat disaput malam ketika aku bersamamu. Seperti tangan pelukis yang terlalu cepat menumpahkan cat hitam di atas kanvas.

Aku ingin memeluk kenangan itu, mensidikannya, dan memutarnya di DVD kepalaku.

Nostalgia untuk sepiring lagu Kala Cinta Menggoda, sebotol Mizone tanpa label, dan secangkir sore yang indah.  Aku, kamu, dan kenangan kita akan tetap hidup walau waktu meninggalkan jejak-jejaknya

Senin, 19 September 2016

YAKIN

"Kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, langkah kegiatan, metode pembelajaran," kata-kata itu melantun pelan dari mulut kecilku yang separuh terbuka. Kepalaku tersandar di atas meja dipangku tanganku sendiri. "tik, tik, tik," bunyi itu mengalun pelan di bawah telingaku. Menghitung detik kematian kah?

Mataku tak mau berkompromi untuk dibuka, kepalaku terasa berat ditarik gaya gravitasi bumi yang menjemukan. Dan lengan tanganku terlalu nyaman untuk kupindahkan dari bawah kepalaku. "Tik, tik, tik," bunyi detik jadi peninabobokku.

Sebuah nafas yang teratur adalah doa dan kegelisahan, harapan dan kebimbangan. Diantara kata kerja operasional, kegiatan pembelajaran ada keraguan yang nyalang. Lalu aku memindahkan posisi kepalaku, suara tik, tik, tik, itu tetap saja terdengar di telingaku.

Adakah kau mengerti? Ada hal yang tidak kau pahami di dunia ini? Namun tangan, mulut, kaki, dan doa tak juga kunjung menyerah pada kenyataan. Dia tetap merangkak walaupun badan harus disungkur ketidakyakinan dan kebimbangan.

Sampailah aku di penilaian. Benarkah keputusanku? Aku bercermin pada cermin kehidupanku. Menilai diriku, menilai semua tingkah lakuku, menilai semua pilihanku. Perlahan air bening dari kelopak mataku itu turun seketika. Menurunkan resah dan derita. Kompetensi dasar, indikator, tujuan pembelajaran, metode, langkah kegiatan, sumber dan media, penilaian dan lampiran. Aku mencoba merengkuh kata-kata itu, benar-benar merengkuhnya seperti aku memeluk orang yang aku sayang. Aku ingin mengusir ketakutanku lewat air mata yang sekarang berubah jadi sungai sungai kecil menemukan muaranya di atas meja. Aku ingin mengembangbiakan kepercayaan dan keberanianku di atas hatiku, mengakarkannya di dalam hatiku. "yakin, yakin, yakin, dan yakin" kulafalkan kata itu serupa mantra, di atas tidurku, di atas tangisku, di awan impianku.

Malang, 19 September 2016
Hal yang sulit itu adalah ketika kamu harus meyakinkan dirimu ketika hatimu sulit untuk meyakini.

Jumat, 16 September 2016

Saya mulai tidak sanggup untuk memperjuangkanmu, rasanya aku sangat lelah untuk menunggumu berbicara denganku, aku lelah kau terbangkan tinggi lalu kau hempaskan seketika. Mengapa kamu setega ini? Mengapa aku sebodoh ini? Aku ingin berhenti, namun dengan nakalnya kamu tiba-tiba muncul membawa harapan beberapa detik, menurunkanku perlahan, melambungkannya lagi, lalu tiba-tiba memutuskan benang itu. Apa kau pikir aku layangan? Biarlah aku jadi layangan yang kau putus malam ini, tapi mengapa aku mesti berbalik arah kepadamu, mengikat benang yang kau patahkan dan menikmati tarik ulur tanganmu.
Aku lelah, sangat lelah menghadapimu, dan berulangkali benar-benar ingin berhenti. Namun kenyataannya aku tetap di sini, dibumbui janji dan harapan palsu.
Seharusnya aku mengaca sendiri? Siapa aku? Dan dimana posisiku? Jika dibandingkan denganmu mungkin kau tidak akan pernah sekedar melirikku. Tapi aku masih mencoba, memulainya sebagai temanmu sambil berusaha suatu waktu aku akan benar-benar bisa menjajari tempatmu. Bodohkah aku? Aku rasa tidak, aku hanya dibutakan rasa sukaku, aku dibutakan perasaan sukaku padamu sehingga aku tidak bisa mengendalikan sistem otakku. Aku tidak bodoh karena menyukaimu, aku hanya terlalu jatuh dalam kepadamu hingga aku sulit bangkit untuk melupakanmu? Kau bertanya apa aku ingin melupakanmu? Tentu saja, aku ingin melupakan jika aku pernah menyukaimu. Aku ingin hidupku berjalan sederhana sebelum kamu muncul dengan handy talkie  itu. Seharusnya kau tidak muncul saat itu, atau setidaknya aku tak perlu ada di tempat itu untuk melihatmu. Aku sendiri bingung mengapa semua ini harus terjadi? Apa yang akan aku peroleh dari menyukaimu? Apa yang aku peroleh jika aku sering terhempas darimu? Diantara lainnya kamu adalah cinta yang hanya bisa didapatkan dengan sebuah keajaiban jika setiap hari bidadari itu selalu mengelilingi dengan cahaya.
Ahhhhhhh, jika rasa suka ini sebuah keputusan rasional aku pasti mengutuk diriku sendiri. Tapi cinta tidak pernah jadi keputusan rasional untukku. Dia selalu hadir dengan sikap emosionalnya dan menundukkan sisi rasionalku menjadikan aku budak kecil yang bodoh di matanya.
Seharusnya kita tidak bertemu bukan, seharusnya percakapan basa-basi itu juga tidak terjadi. Jadi, kamu tidak perlu susah-susah membalas pesanku yang kadang membuatmu bosan dan geli. Seharusnya kita tidak bertemu, biarlah kamu tetap di tempatmu saat ini, karena ini memang tempatmu. Hanya aku yang seharusnya tak hadir, seharusnya aku berada di tempat yang jauh, setidaknya beda propinsi dari tempatmu berbeda saat ini.
Ya, aku sebaiknya memikirkan solusi untuk diriku sendiri. Aku harus menyiapkan berjuta planning  untuk menenangkan hatiku yang sedang berontak. Mengamankan hidup agar tidak pecah dan jatuh berkeping-keping

Sabtu, 10 September 2016

Meriang Kecewa

Aku meriang pagi ini, badanku menggigil dan tubuhku panas dingin. Oh, bukan karena aku kelelahan dan kena tipes seperi mbak kosku, aku hanya KECEWA. Hmmmm haruskah aku menjelaskannya padamu. Aku cuma kecewa, karena dia seperti peribahasa kacang lupa kulitnya. Hanya se simpel itu yang bisa aku sampaikan. Badanku ngelu, hatiku ngilu, lidahku kelu saking kecewanya. Semakin aku bicara aku takut aku malah meracau dan tiba-tiba bikin orang sakit hati. Aku tak mau dia ikut ikutan sakit.
Mungkin aku butuh dokter? Kamu punya rekomendasi dokter untukku? Aku ingin cepat cepat sembuh dari sakit KECEWA ini. Apa kamu mau jenguk aku dulu? Mungkin kamu punya obat herbal untuk KECEWA yang dalam ini.

Kamis, 08 September 2016

Selamat pagi pak lurah, bagaimana kabarmu hari ini? Sudah lama rasanya kita tak pernah bicara sejak obrolan terakhir kita. Aku mau jujur padamu, bahwa aku merindukanmu sebagai teman berdiskusi dan berbagi cerita. Aku sangat butuh orang yang mampu memberiku saran hari ini.
Kau masih ingat obrolan panjang kita yang terakhir tentang menyukai seseorang. Kamu benar pak, orang jika dikejar terus menerus pada akhirnya akan lari dan menjauh juga. Kali ini aku benar benar mampu untuk menebak bagaimana perasaanmu. Ah, pak Lur, aku tidak ingin perkataanmu itu benar. Aku pikir dia akan tetap biasa saja ketika banyak orang mengerubutinya. Ternyata dia juga menghindar, bahkan hanya sekedar untuk stalker di dunia maya pun dia tidak mengijinkanku lagi. Ah, pak lur aku sangat ingin membagi ceritaku ini denganmu, di teras kelas atau di ruang perpustakaan, tapi kamu sendiri seakan juga hilang dariku. Dan pada kenyatannya aku kehilangan kau dan dia.

Selamat pagi pak lur, semoga harimu menyenangkan
Sahabatmu (Malang)
Untukmu (Semarang)