Jumat, 28 Oktober 2016
Kamis, 27 Oktober 2016
Salim : Kuli Rawis
Rabu pagi itu, matahari pukul setengah
sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di
dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan
bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata
motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah
ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan
sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu,
tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan
hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang
terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah
pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong,
hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya
ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai
dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami
berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa
lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih
tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya
kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara
hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan. Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu
pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah
maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna
permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya
dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan
lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa
catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah
pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung
rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai
akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di
kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli
pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan
putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada
kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya
bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna
teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri
penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus
memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL
dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan
yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara
kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang
sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu
bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban
tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu
tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh.
Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya
rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap
dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari.
Selamat sore Salim :* :*
Salim : Kuli Rawis
Rabu pagi itu, matahari pukul setengah
sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di
dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan
bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata
motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah
ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan
sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu,
tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan
hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang
terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah
pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong,
hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya
ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai
dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami
berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa
lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih
tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya
kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara
hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan. Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu
pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah
maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna
permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya
dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan
lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa
catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah
pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung
rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai
akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di
kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli
pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan
putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada
kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya
bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna
teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri
penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus
memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL
dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan
yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara
kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang
sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu
bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban
tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu
tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh.
Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya
rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap
dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari.
Selamat sore Salim :* :*
Sabtu, 22 Oktober 2016
Sejarah bukan Hafalan.
Aku, aku lahir di tengah keluarga biasa saja, menjalani hidup dengan biasa dan cara biasa. Aku seperti orang kebanyakan, suka makan nasi, suka gorengan, suka nonton tivi dan suka diajak rumpi. Aku suka mendengar orang-orang tua berkisah tentang masa lalu, sebuah historis yang semakin lama semakin dilupakan, karena hanya sekedar dijadikan pelajaran hafalan di sekolahan.
Aku suka mendengar buyut bercerita tentang masa kecilnya, tentang tentara Jepang yang selalu memburu, tentang padi-padi dan sapi yang dibiarkan berceceran, tentang senapan yang menembak bertubi-tubi menakuti, tentang pesawat terbang, dan tentang rumah yang terbakar. Buyut menceritakan kepadaku berulang-ulang karena aku selalu memintanya ketika liburan sekolah atau ketika waktu lengang dan aku tidak bosan mendengarnya.
Ketika beliau bercerita aku akan rebah di pangkuannya yang renta sambil menutup mata. Aku akan membentuk film tersendiri pada layar mataku, berada pada waktu dan kejadian yang diceritakan buyutku. Aku lebih mudah membayangkan cerita versi buyutku ketimbang membayangkan isi buku sejarah yang aku pelajari dari SD sampai bangku kuliah. Cerita versi buyutku lebih memiliki ruh, ada jiwa keaslian yang dituangkannya padaku ketika mendengarnya. Bukan cerita kaku yang menjelaskan tanggal-tanggal penting tanpa catatan. Rasanya aku belum pernah membaca buku sejarah dengan penuturan yang imajinatif dan mudah dirasakan.
Cerita buyutku memiliki ruh mungkin karena cerita itu begitu dekat denganku. Letupan senapan, mayat-mayat bergelimpangan itu mungkin ada di bawah kakiku ketika aku mendengar cerita itu sehingga roh-roh yang tertinggal di sana menghidupkan kembali kisah itu ketika disyairkan buyutku. Alasan itulah yang juga menjadi dasar salah satu dosen matakuliahku untuk membuat bahan ajar yang sebisa mungkin dekat dengan kehidupan anak, sehingga roh-roh itu bermunculan dan menguatkan isi dari cerita sejarah itu.
Sekarang aku pikir mungkin dosenku benar, dan memang benar. Kita belajar dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan kita, memaknainya dan menyimpannya dalam otak. Begitupun sejarah. Akan lebih baik mempelajari sejarah yang dekat dengan kehidupan kita, mempelajari sejarah bagaimana keluarga kita bisa ada, lalu berlanjut bagaimana desa kita bisa terbentuk. Mempelajari siapa saja pahlawan-pahlawan yang telah gugur demi desa kita. Bukan berarti rasis dan hanya mengelukan desa kita, tapi memang sejarah bukanlah sebuah hafalan. Bukankah lebih mudah memaknai apa yang ada di hadapan kita, ketimbang memaknai sesuatu yang belum kita kenal sebelumnya. Toh, inti dari sejarah adalah bahan belajar. Belajar dari kesalahan dan belajar dari kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku yakin setiap sejarah dimanapun dia pasti memiliki keduanya. Tidak akan mungkin ada sejarah yang full hanya berisi keburukan, pasti di dalamnya ada nilai-nilai kecil kebaikan yang ingin didapatkan. Dan tidak mungkin sejarah berisi seratus persen kebaikan, karena pasti tetap ada kesalahan-kesalahan untuk jalan menuju kebaikan.
Sejarah bukan suatu hafalan untuk mengukir angka delapan atau sembilan. Pelajaran sejarah diadakan untuk belajar merajut masa depan, bukan dilupakan dan ditelantarkan. Bukannya dilarang move on, dan selalu membicarakan masa lalu, tapi tanpa masa lalu akankah ada masa sekarang dan masa depan. Semua tetap diawali dari masa lalu.
Maaf bahasanya berantakan :D
Aku suka mendengar buyut bercerita tentang masa kecilnya, tentang tentara Jepang yang selalu memburu, tentang padi-padi dan sapi yang dibiarkan berceceran, tentang senapan yang menembak bertubi-tubi menakuti, tentang pesawat terbang, dan tentang rumah yang terbakar. Buyut menceritakan kepadaku berulang-ulang karena aku selalu memintanya ketika liburan sekolah atau ketika waktu lengang dan aku tidak bosan mendengarnya.
Ketika beliau bercerita aku akan rebah di pangkuannya yang renta sambil menutup mata. Aku akan membentuk film tersendiri pada layar mataku, berada pada waktu dan kejadian yang diceritakan buyutku. Aku lebih mudah membayangkan cerita versi buyutku ketimbang membayangkan isi buku sejarah yang aku pelajari dari SD sampai bangku kuliah. Cerita versi buyutku lebih memiliki ruh, ada jiwa keaslian yang dituangkannya padaku ketika mendengarnya. Bukan cerita kaku yang menjelaskan tanggal-tanggal penting tanpa catatan. Rasanya aku belum pernah membaca buku sejarah dengan penuturan yang imajinatif dan mudah dirasakan.
Cerita buyutku memiliki ruh mungkin karena cerita itu begitu dekat denganku. Letupan senapan, mayat-mayat bergelimpangan itu mungkin ada di bawah kakiku ketika aku mendengar cerita itu sehingga roh-roh yang tertinggal di sana menghidupkan kembali kisah itu ketika disyairkan buyutku. Alasan itulah yang juga menjadi dasar salah satu dosen matakuliahku untuk membuat bahan ajar yang sebisa mungkin dekat dengan kehidupan anak, sehingga roh-roh itu bermunculan dan menguatkan isi dari cerita sejarah itu.
Sekarang aku pikir mungkin dosenku benar, dan memang benar. Kita belajar dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan kita, memaknainya dan menyimpannya dalam otak. Begitupun sejarah. Akan lebih baik mempelajari sejarah yang dekat dengan kehidupan kita, mempelajari sejarah bagaimana keluarga kita bisa ada, lalu berlanjut bagaimana desa kita bisa terbentuk. Mempelajari siapa saja pahlawan-pahlawan yang telah gugur demi desa kita. Bukan berarti rasis dan hanya mengelukan desa kita, tapi memang sejarah bukanlah sebuah hafalan. Bukankah lebih mudah memaknai apa yang ada di hadapan kita, ketimbang memaknai sesuatu yang belum kita kenal sebelumnya. Toh, inti dari sejarah adalah bahan belajar. Belajar dari kesalahan dan belajar dari kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku yakin setiap sejarah dimanapun dia pasti memiliki keduanya. Tidak akan mungkin ada sejarah yang full hanya berisi keburukan, pasti di dalamnya ada nilai-nilai kecil kebaikan yang ingin didapatkan. Dan tidak mungkin sejarah berisi seratus persen kebaikan, karena pasti tetap ada kesalahan-kesalahan untuk jalan menuju kebaikan.
Sejarah bukan suatu hafalan untuk mengukir angka delapan atau sembilan. Pelajaran sejarah diadakan untuk belajar merajut masa depan, bukan dilupakan dan ditelantarkan. Bukannya dilarang move on, dan selalu membicarakan masa lalu, tapi tanpa masa lalu akankah ada masa sekarang dan masa depan. Semua tetap diawali dari masa lalu.
Maaf bahasanya berantakan :D
Langganan:
Postingan (Atom)