Pages

Sabtu, 22 Oktober 2016

Sejarah bukan Hafalan.

Aku, aku lahir di tengah keluarga biasa saja, menjalani hidup dengan biasa dan cara biasa. Aku seperti orang kebanyakan, suka makan nasi, suka gorengan, suka nonton tivi dan suka diajak rumpi. Aku suka mendengar orang-orang tua berkisah tentang masa lalu, sebuah historis yang semakin lama semakin dilupakan, karena hanya sekedar dijadikan pelajaran hafalan di sekolahan.
Aku suka mendengar buyut bercerita tentang masa kecilnya, tentang tentara Jepang yang selalu memburu, tentang padi-padi dan sapi yang dibiarkan berceceran, tentang senapan yang menembak bertubi-tubi menakuti, tentang pesawat terbang, dan tentang rumah yang terbakar. Buyut menceritakan kepadaku berulang-ulang karena aku selalu memintanya ketika liburan sekolah atau ketika waktu lengang dan aku tidak bosan mendengarnya.
Ketika beliau bercerita aku akan rebah di pangkuannya yang renta sambil menutup mata. Aku akan membentuk film tersendiri pada layar mataku, berada pada waktu dan kejadian yang diceritakan buyutku. Aku lebih mudah membayangkan cerita versi buyutku ketimbang membayangkan isi buku sejarah yang aku pelajari dari SD sampai bangku kuliah. Cerita versi buyutku lebih memiliki ruh, ada jiwa keaslian yang dituangkannya padaku ketika mendengarnya. Bukan cerita kaku yang menjelaskan tanggal-tanggal penting tanpa catatan. Rasanya aku belum pernah membaca buku sejarah dengan penuturan yang imajinatif dan mudah dirasakan.
Cerita buyutku memiliki ruh mungkin karena cerita itu begitu dekat denganku. Letupan senapan, mayat-mayat bergelimpangan itu mungkin ada di bawah kakiku ketika aku mendengar cerita itu sehingga roh-roh yang tertinggal di sana menghidupkan kembali kisah itu ketika disyairkan buyutku. Alasan itulah yang juga menjadi dasar salah satu dosen matakuliahku untuk membuat bahan ajar yang sebisa mungkin dekat dengan kehidupan anak, sehingga roh-roh itu bermunculan dan menguatkan isi dari cerita sejarah itu.
Sekarang aku pikir mungkin dosenku benar, dan memang benar. Kita belajar dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan kita, memaknainya dan menyimpannya dalam otak. Begitupun sejarah. Akan lebih baik mempelajari sejarah yang dekat dengan kehidupan kita, mempelajari sejarah bagaimana keluarga kita bisa ada, lalu berlanjut bagaimana desa kita bisa terbentuk. Mempelajari siapa saja pahlawan-pahlawan yang telah gugur demi desa kita. Bukan berarti rasis dan hanya mengelukan desa kita, tapi memang sejarah bukanlah sebuah hafalan. Bukankah lebih mudah memaknai apa yang ada di hadapan kita, ketimbang memaknai sesuatu yang belum kita kenal sebelumnya. Toh, inti dari sejarah adalah bahan belajar. Belajar dari kesalahan dan belajar dari kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku yakin setiap sejarah dimanapun dia pasti memiliki keduanya. Tidak akan mungkin ada sejarah yang full hanya berisi keburukan, pasti di dalamnya ada nilai-nilai kecil kebaikan yang ingin didapatkan. Dan tidak mungkin sejarah berisi seratus persen kebaikan, karena pasti tetap ada kesalahan-kesalahan untuk jalan menuju kebaikan.
Sejarah bukan suatu hafalan untuk mengukir angka delapan atau sembilan. Pelajaran sejarah diadakan untuk belajar merajut masa depan, bukan dilupakan dan ditelantarkan. Bukannya dilarang move on, dan selalu membicarakan masa lalu, tapi tanpa masa lalu akankah ada masa sekarang dan masa depan. Semua tetap diawali dari masa lalu.

Maaf bahasanya berantakan :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar