Pages

Jumat, 16 September 2016

Saya mulai tidak sanggup untuk memperjuangkanmu, rasanya aku sangat lelah untuk menunggumu berbicara denganku, aku lelah kau terbangkan tinggi lalu kau hempaskan seketika. Mengapa kamu setega ini? Mengapa aku sebodoh ini? Aku ingin berhenti, namun dengan nakalnya kamu tiba-tiba muncul membawa harapan beberapa detik, menurunkanku perlahan, melambungkannya lagi, lalu tiba-tiba memutuskan benang itu. Apa kau pikir aku layangan? Biarlah aku jadi layangan yang kau putus malam ini, tapi mengapa aku mesti berbalik arah kepadamu, mengikat benang yang kau patahkan dan menikmati tarik ulur tanganmu.
Aku lelah, sangat lelah menghadapimu, dan berulangkali benar-benar ingin berhenti. Namun kenyataannya aku tetap di sini, dibumbui janji dan harapan palsu.
Seharusnya aku mengaca sendiri? Siapa aku? Dan dimana posisiku? Jika dibandingkan denganmu mungkin kau tidak akan pernah sekedar melirikku. Tapi aku masih mencoba, memulainya sebagai temanmu sambil berusaha suatu waktu aku akan benar-benar bisa menjajari tempatmu. Bodohkah aku? Aku rasa tidak, aku hanya dibutakan rasa sukaku, aku dibutakan perasaan sukaku padamu sehingga aku tidak bisa mengendalikan sistem otakku. Aku tidak bodoh karena menyukaimu, aku hanya terlalu jatuh dalam kepadamu hingga aku sulit bangkit untuk melupakanmu? Kau bertanya apa aku ingin melupakanmu? Tentu saja, aku ingin melupakan jika aku pernah menyukaimu. Aku ingin hidupku berjalan sederhana sebelum kamu muncul dengan handy talkie  itu. Seharusnya kau tidak muncul saat itu, atau setidaknya aku tak perlu ada di tempat itu untuk melihatmu. Aku sendiri bingung mengapa semua ini harus terjadi? Apa yang akan aku peroleh dari menyukaimu? Apa yang aku peroleh jika aku sering terhempas darimu? Diantara lainnya kamu adalah cinta yang hanya bisa didapatkan dengan sebuah keajaiban jika setiap hari bidadari itu selalu mengelilingi dengan cahaya.
Ahhhhhhh, jika rasa suka ini sebuah keputusan rasional aku pasti mengutuk diriku sendiri. Tapi cinta tidak pernah jadi keputusan rasional untukku. Dia selalu hadir dengan sikap emosionalnya dan menundukkan sisi rasionalku menjadikan aku budak kecil yang bodoh di matanya.
Seharusnya kita tidak bertemu bukan, seharusnya percakapan basa-basi itu juga tidak terjadi. Jadi, kamu tidak perlu susah-susah membalas pesanku yang kadang membuatmu bosan dan geli. Seharusnya kita tidak bertemu, biarlah kamu tetap di tempatmu saat ini, karena ini memang tempatmu. Hanya aku yang seharusnya tak hadir, seharusnya aku berada di tempat yang jauh, setidaknya beda propinsi dari tempatmu berbeda saat ini.
Ya, aku sebaiknya memikirkan solusi untuk diriku sendiri. Aku harus menyiapkan berjuta planning  untuk menenangkan hatiku yang sedang berontak. Mengamankan hidup agar tidak pecah dan jatuh berkeping-keping

Tidak ada komentar:

Posting Komentar