Pages

Jumat, 22 Desember 2017

Aku, Dia, dan Pulang

Menjadi pencinta yang diam terkadang adalah pilihan paling konyol. Membuat cerita-cerita sendiri, memainkannya seperti wayang di balik layar imajinasi. Menggerakkan tokohnya, menyetingkan waktu dan tempatnya, menaburkan suasana di sekujurnya. Semuanya adalah khayalan. Perjalanan cinta diam diam.
Dan wayang dalam kehidupan aslinya bergerak semakin menjauh. Kadang dia bersembunyi di balik rak rak buku yang sering aku sentuh, namun ketika aku kejar dia semakin dalam bersembunyi, mungkin dia malah masuk menjadi kata kata, huruf-huruf dalam buku buku Abdul Majid, Suharsimi Arikunto, atau Zainal Arifin.
Ketika aku sudah pilu dia berjalan di sepanjang jalan berpaving menuju satu-satunya gedung Pascasarjana, melewati taman hijaunya dan hilang di balik pintunya. Aku menunggunya, duduk di bahu jalan. Tidak tidak, aku tak berambisi untuk bisa bicara, aku hanya ingin melihatnya lewat entah sedang baca buku atau berceloteh dengan kawannya. Hanya saja, sampai adzan magrib menggaung dia tak keluar lagi. Apakah gedung itu punya jalan lain selain pintu masuknya, atau dia melayang begitu saja seperti oksigen. Melebur bersama udara lainnya, membaur bersama karbon dioksida.
Aku masih belum menyerah. Kutunggu dia di bawah payung warna warni dengan kursi-kursi batu berwarna warni. Ku tunggu dia menyeduh kopi di sebuah panggung mini dimana agama, politik, dan wanita di perdebatkan antara mereka. Aku menunggunya sambil menyesap jus melon berwarna orange yang manisnya semakin menyusut. Hingga terik matahari membuat orang tak bisa bertahan dan meninggalkan kursi batu tanpa payung warna warni dia juga tak ada. Hanya ada asap rokok yang semakin membumbung, berwarna putih dan tebal disusul kepulan asap kopi cappucino dan kopi hitam. Aku menyeret langkahku ketika matahari lelah berada di puncaknya dan sinarnya jadi tak sepanas beberapa waktu lalu. Aku berlalu, meninggalkan kursi batu berpayung pelangi dengan gelas jus yang kosong.
Kutemukan dia akhirnya, badannya menembus pintu gedung stasiun berwarna putih. Dia tergesa meski jam masih berdetak menuju angka delapan. Aku mengerjarnya, namun aku tak lagi punya tiket untuk masuk ke gerbongnya. Aku tahu, beberapa menit lagi dari caranya berlari, kereta sedang menunggu dia dengan mesinnya yang tergopoh-gopoh. Aku tak dapat mengejarnya dan berjalan gontai menuju parkir motor yang aku ganjar lima ribu. Aku mengeluarkan motorku, memutarnya ke arah pulang. Dan aku membayangkan dia sedang melewati rumah-rumah yang rapat, sawah-sawah yang hijau, kebun tebu yang lebat, dan berpapasan dengan puluhan mobil yang silih berganti. Kulihat dia mengeluarkan sebuah benda kotak berwarna hitam, memasang gulungan kabel dan menancapkan dua cabangnya di lubang telinga. Aku tahu dia melihat jamnya, memastikan dia tak akan terlambat sampai di kota yang jauh sembari berdoa tak banyak masalah dengan crash yang sering terjadi antar kereta, karena akan banyak kota yang ia lewati sepanjang perjalanan, akan sangat banyak stasiun yang menunggu untuk diminta berhenti. Sedang aku, aku sudah menikung di perempatan Klojen, dihentikan lampu merah perempatan Rampal, dan memacu dengan sangat lemah motor menuju pulang (ku).

Rabu, 20 Desember 2017

Tersesat di rindu

Sudah pukul sepuluh lebih tiga puluh menit. Mataku tak juga ingin terpejam. Padahal aku sedang tidak ingin melakukan apa-apa. Pikiranku malah sedang sibuk mendengarkan alunan lagu dari penyanyi legendaris yang sekarang tinggal nama dan karya. Tidak, tidak, bukannya isi kepalaku sedang berputar-putar memainkan kepingan memori yang aku miliki tentangmu.

Malam ini aku ingin jujur pada rentetan mendung yang mengubur bintang cantikku, aku sedang merindukanmu. Benar benar rindu yang kanak kanak. Memilih menyelencari jendela sosmedmu, memandangimu yang beku, membaca puisi yang kau tulis di papan putih sampingnya, dan mengamatimu yang sedang bicara di kolom komentar. Rinduku kanak kanak yang takut berdiri, takut jatuh. Rindu yang menawanku di cawan mimpi, membuaiku dengan cerita-cerita indah pangeran dan putri yang selalu berakhir bahagia.

Rinduku tak akan pernah dewasa. Karena aku tidak berusaha untuk menghentikan lajunya rindu. Aku hanya menikmatinya, meski rindu membuatku sekarat tiap detik ketika mengingatmu.

Minggu, 03 Desember 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 6)

Matahari kuning jam 10 pagi menembus dedaunan mangga kurus di halaman rumah Bude. Ue yang baru mencuci Jupli (motor pinjaman bude buat Ue) merebahkan tubuhnya di kursi abu-abu. Kepanasan dan lengket Ue mengipasi tubuhnya dengan tangan. Untuk ukuran minggu pagi ini adalah minggu yang sempurna. Langit biru cerah tanpa awan, matahari bersinar begitu kuning di atas langit merangkak ke puncak tahtahnya sebelum akhirnya tergusur juga.
Lagu Faded menyentak dari dalam smartphone berwarna putih lusuh akibat kejahatan yang dibuat Ue. Sampai lagu berganti menjadi "Side to side dari Ariana Grande" Ue masih menatap langit biru itu. Lagu itu hanya backsong saja, sedangkan pikirannya melayang pada Kak Rizal yang kemarin menyapanya.
Ue meraih smarthponenya, mengabaikan lagu lain yang kini terputar dan menjerit-jerit. Sebuah notif whatshapp berwarna putih menghiasa atas layar smartphonenya. Ue menggesernya ke bawah tanpa nafsu. Biasanya notif itu  hanya berisi chat grup beberapa organisasi yang diikutinya yang biasanya hanya dibuka atau sesekali di baca oleh Ue.
Pesan itu ternyata dari nomor yang tak dikenal. Bukan tidak dikenal sebenarnya, Ue saja yang jarang mau memberi nama pada kontak-kontak whatshappnya. Pesan itu berbunyi "Ue mau pergi ke Malang Tempoe Doeloe nggak?"
Penasaran Ue klik pesan itu dan munculah kolom percakapan lengkap dengan foto kecil di ujung kiri atas. Laki-laki. Sepertinya Ue kenal. Dia buka foto profil orang itu.
"Hah, nggak mungkin!" pekiknya.
"Apanya yang nggak mungkin Ue?" tanya Kevin yang tiba-tiba muncul.
Ue menoleh, menyembunyikan smartphone di balik tangannya.
"Bukan apa apa Kak."
"Kamu kelihatan kaget banget??"
"Masa iya? Perasaan kakak aja paling."
"Biasanya sih gue nggak pernah salah."
"Eh Kak, Bude ada di rumah nggak?" tanya Ue mengalihkan topik.
"Nggak ada, mama pergi ke rumah Tante Tuti di Arjosari."
"Emmm, kalo gitu Ue minta ijin sama kakak aja ya."
"Minta ijin apa?"
"Ue mau ke MTD kak."
"MTD?" Kevin tampak menimbang-nimbang.
"Gimana Kak?"
"Boleh sih, Alrey katanya juga mau ke sana."
"Fix, berarti boleh ya?"
"Iya, sekalian temenin Alrey ya? Apa dia gue suruh jemput lu ya?"
"Nggak, nggak usah Kak, Ue berangkat sendiri saja," kata Ue. Badannya sudah berdiri dan berlari menuju kamar. Dia harus mandi sebelum bau bau asam yang bisa membuat besi berkarat dari tubuhnya tida bisa hilang.