Pages

Sabtu, 13 Mei 2017

catatan akhir semester enam

setiap pertemuan akan melahirkan perpisahan. Setiap akhir akan melahirkan akhir. Setiap ada akan melahirkan ketiadaan. Sebuah cerita mulai dapat ditulis, sebuah kenangan mulai dapat diputar. Aku, kamu, dia, mereka, dan kita adalah tokoh-tokoh pasti dalam cerita ini.
Aku, enam semester ini ada banyak kisah yang membuatku menjadi berbeda. Sebuah waktu yang panjang untuk berulang kali tersenyum saat hati menangis. Sebuah waktu yang panjang yang tidak aku sangka akan menumbuhkan ketidakpercayaan. Jika aku boleh bercerita di sini, maka dengarkanlah. Sejak kecil aku bukanlah orang yang berbakat, aku tidak terampil dalam hal apapun, aku tidak pernah bisa mengerjakan sesuatu dengan sempurna, karena aku bukanlah orang yang sempurna. Aku adalah tubuh kecil yang sangat lemah dan sering sakit. Aku merasa aku adalah beban, maka kupenuhi hatiku dan pikiranku dengan mimpi. Bila aku besar nanti aku akan menjadi seseorang yang penting dan dapat diandalkan oleh semua orang. Tapi, aku lemah, aku selalu tertinggal oleh orang lain, aku merasa kalah dan semakin merasa tidak berguna. Aku, aku masih punya nyala api itu di hatiku. Kesukaanku bermimpi mempertemukan aku dengan orang-orang yang mengasah mimpi itu jadi terang benderang. Aku pasti bisa mewujudkan mimpi itu. Ya waktu itu, bocah-bocah memang masih hidup dalam dunia mimpi. Lalu aku remaja, aku tak kuasa untuk menanggung betapa orangtuaku menderita dengan mimpi-mimpiku meski mereka selalu berkata baik-baik saja. Aku memangkas mimpi-mimpi itu. Aku masuk ke dalam dunia baru, dunia yang aku harap bisa menunjukkan pada orangtuaku jika mereka tidak akan menanggung beban mimpiku. Mimpi itu lenyap dan hidupku separuh kosong. Tapi di sana pun, aku masih bertemu dengan cahaya-cahaya yang menerangi sisa mimpiku. Aku bertemu orang-orang yang selalu membicarakan masa depan, masa depan yang lebih tinggi. Sebuah mimpi yang kadang mustahil untuk diwujudkan orang lulusan administrasi. Nyala cahaya benar-benar membakar mimpiku dan dia berkobar. Aku ingin melangkah lebih jauh lagi. Aku mendapatkan mimpiku, dan sekali lagi mimpi itu menjadi egois. Keegoisan yang akhirnya membuat orangtuaku sekali lagi mengalah dan aku ada di sini. Sebuah kota yang katanya kota pelajar, dimana ratusan perguruan tinggi menawarkan beribu-ribu keahlian. Untuk pertama kali, aku takjub dengan kota ini. Di sini aku yang naif berharap terlalu banyak tentang pengalaman manis untuk mencapai mimpi-mimpi. Aku yang naif, selalu berpikir bahwa semua orang adalah baik, sampai ada kamu. Aku pikir kamu adalah orang yang setia, aku pikir kita bisa jadi sahabat, orang yang saling mengerti kesedihan dan kebahagiaan satu sama lain. Nyatanya kamu malah merusak pandanganku tentang sebuah persahabatan. Nyatanya kamu malah mengajari aku bahwa orang yang terlalu dekat dapat melukaimu bahkan membunuhmu.
Kamu, kamu adalah sesuatu yang aku coba mengerti. Orang yang ingin selalu aku hibur dengan semua leluconku. Orang yang aku maklumi dengan kesibukanmu. Aku pikir kamu akan jadi teman sejati untukku di tanah jauh dan asing ini. Aku selalu memberimu waktu untuk dirimu. Aku pikir, kamu akan datang jika urusanmu sudah selesai. Nyatanya, kamu malah memilih bersama dia.
Dia, dia adalah bagian dari aku dan kamu di masa yang lalu. Aku mempertemukan kalian berdua di suatu awal. Kalian berkenalan. Aku merasa kalian cocok. Kalian punya mimpi untuk meluruskan diri. Kalian selalu berbicara tentang pernikahan-pernikahan dan pernikahan. Pada titik ini, aku hanya mencoba mengerti. Walaupun pada saat itu, pikiranku belumlah tertuju pada hal-hal semacam itu. Aku masih sibuk mengurusi mimpiku dan bagaimana mewujudkannya. Aku membiarkan kamu berbicara dengan dia dengan maksud agar kamu nyaman dan bahagia. Sayangnya itu jadi jarak di suatu waktu. Entah mengapa, dia yang aku percaya untuk tetap jadi teman baik tiba-tiba membenciku. Katanya aku pelit informasi. Katanya aku suka berbohong. Dia tidak mengatakannya. Hanya mendiamkanku saja. Kamu pasti pernah mendapat cerita ini, hanya mungkin aku tidak menceritakannya lengkap. Aku tidak ingin, aku, kamu, dan dia tercerai berai. Kamu bersama dia seakan sudah melupakan keberadaanku. Aku masih berpikir bahwa kamu lebih cocok dengannya ketimbang dengan visioner yang gila dengan mimpi-mimpinya. Aku masih berpikir seperti itu untuk menenangkan hatiku. Tapi lama-lama itu jadi sakit. Dia membawamu jauh, tidak hanya badan, tapi persepsi. Jika hari ini aku melihat ke dalam matamu, aku tidak lagi melihat sorot matamu seperti awal pertama kita bertemu. Hari ini aku melihat tatapanmu hanya sebagai pandangan basa-basi. Apakah kamu juga jadi membenciku seperti dia? Kamu pernah berkata aku tidak memahami dia. Tapi kamu pun tidak pernah memahami aku, bagaimana takutnya aku untuk dekat dengan dia lagi. Apakah kamu pernah melihatku berusaha untuk menyapanya? Apa pernah melihat? Mungkin tidak. Dan jika kamu melihat bagaimana perasaanmu, jika di sebuah perkumpulan kamu diabaikan. Kamu tidak pernah berbenturan dengannya, maka kamu tidak pernah bisa merasakannya. Dia membuatku sering menangis dan merasa tidak nyaman. Dia membuatku selalu ingin berlalu dari tempat-tempat keberadaannya, karena aku tidak tahan melihat sorot kebencian di matanya. Kamu tidak akan mengerti, karena kamu tidak pernah dibencinya. Aku baru sadar kebencian itu telah mempengaruhi sisi mentalku. Ketika dia ada di sekelilingku, aku merasa semua orang yang ada juga membeciku. Dan aku menjadi sangat takut bahwa di setiap tempat akan ada orang seperti dia. Aku berpikir semua tempat akan sama saja.
Mereka, untung aku masih punya mereka yang mau mendengar ceritaku, mendengar bagaimana ketakutanku, menampung air mataku ketika sudah tidak bisa menahannya. Hanya saja aku tidak bisa terus-terusan terlihat lemah. Memiliki mereka yang masih menerimaku dan tak kehilangan sorot tulusnya membuatku sedikit punya harapan, meski kebencian dia telah menenggelamkan mimpi-mimpiku. Sebuah kebahagiaan, ketika mereka masih mau tertawa bersamaku, sebuah anugrah di tanah gersang yang menyakitkan. Meski aku juga takut jika mereka akan sama sepertimu dan meninggalkan aku. Aku berharap Tuhan tidak akan mengambil ketulusan mereka padaku. Aku berharap mereka akan jadi kenangan yang tinggal di hati sebagai kenangan bahagia.
Kita, aku, dia, mereka. Semester ini adalah akhir dimana kita bisa menghabiskan waktu di kampus seharian dan bercanda. Mulai semester depan kita akan sibuk dengan diri masing-masing dan sesekali bertemu. Waktu juga semakin habis, dan aku tidak punya banyak waktu untuk mengembalikan mimpi-mimpi itu. Maka, dijeda waktu yang tipis ini aku ingin menyusunnya kembali. Aku ingin kembali seperti dulu, sebelum bertemu kamu ataupun dia. Sebuah waktu dimana bintang-bintang harapan berpijar. Pun aku juga harus merenkonstruksi pikiranku bahwa tidak di semua tempat ada orang yang membenciku. Dan di akhir semester enamku ini, aku harap tidak ada lagi orang-orang yang membeciku dan bermaksud jahat kepadaku.
Ya, akhirnya aku hanya bisa mengucapkan sampai jumpa buat kamu yang semakin jauh. Biar kita hidup dalam jalan masing-masing yang sudah dipilih. Dan mengucapkan selamat tinggal pada waktu yang terlalu berlalu yang membolak-balikkan perasaanku.
Selamat tinggal semester enam, selamat menempa jiwa-jiwa lain yang akan datang. Buah dia tangguh dan bercahaya sepanas matahari. Terima kasih atas semua pelajaran hidup yang sudah kamu torehkan di kanvas hidupku. Selamat tinggal.