Pages

Minggu, 11 Desember 2016

Jalan merpati no 7 gang 6 deretan rumah nomor 10, berpagar hitam, bergerbang hitam, namun dindingnya berwarna putih kusam. Kamu suka warna hitam dan putih bukan? Warna monokrom katamu.
Ya, aku tentu tahu semua yang kamu sukai, beberapa saja sebenarnya, aku melupakan satu hal yang kamu sukai tidak pernah menyadari dan sudah terlambat untuk mengetahui. Sesuatu itu.............

Minggu, 27 November 2016

Undetected dan usaha move on

Pagi ini secara tiba-tiba aku mengganti nama kontak bbm mu di smartphone ku jadi "undetected", pasalnya aku mulai kelu ketika buka kontak dan namamu langsung muncul di depan layarku. Namamu yang berawalan huruf "A" itu kadang membuatku sebal karena mengganggu proses move on ku. "ya kalau gitu delcon saja to," aku pikir kamu akan berkata seperti itu kalau kamu tahu ini. Mana mungkin aku menghapus kontakmu dari smartphone ku, mendapatkannya aku harus tahan malu di hadapan adik tingkatku. Tidak, aku tidak akan menghapus kontakmu. Aku hanya tidak ingi jadi penguntitmu saja, yang selalu stalking sosmed mu setiap waktu. Aku hanya ingin melupakan perasaanku padamu, bukan menghapus memori tentangmu. Aku hanya sudah sadar diri kalau aku tidak punya kesempatan lagi denganmu. Perihal kontak sosmedmu yang berganti status jadi "undetected", aku ingin perasaan yang ada di hatiku ini jadi undetected, tidak ada lagi.
Ini usaha move on ku darimu, jadi jangan tertawakan tingkah konyolku. Orang bilang, salah satu cara move on adalah berhenti stalking di sosmedmu, dan aku sedang mencoba itu. Jadi please, restui usaha move on ku.

Senin, 21 November 2016

sumber maron: piknik tipis-tipis

Ada saatnya seseorang lari dari kesibukan bukan? Kalau tidak punya waktu, curi saja sedikit, satu jam, dua jam, kalau bisa seharian saja. Matikan saja handphone kesayanganmu yang selalu berbunyi itu, yang menyuruhmu ini itu dan masih dilabeli dengan kata "salah". Bukankah itu membosankan, boleh saja kau bawa si kecil yang gemar berdering itu, tapi tanpa paket data hingga bunyinya yang seperti ketukan pintu itu tak membuatmu harus membukanya.
Ya, mari nikmati akhir pekan ini dengan sangat bahagia, tanpa celoteh orang-orang yang protes atau respon yang terlampau lama. Sudah, untuk sesaat saja lupakan semua tumpukan tugasmu, lupakan lusinan tanggung jawabmu, lupakan pertanyaan yang bakal menghantui mimpi malammu.
Sekarang waktunya menemui alam, menyapa langit yang masih biru dan mentari yang masih terang tanpa halangan. Mari menikmati jalanan aspal yang berkelok naik turun, mari bercengkerama dengan tebu-tebu yang tumbuh hampir di seluruh tepian jalan, melambai manis dalam kehijauan.
Sesekali hiruplah aroma manis gula-gula yang mendidih lewat corong-corong asap yang mengepul putih. Cium aroma gula itu sebelum larut bersama teh dan kopi di pagi hari. Dan cobalah memahami, di sepanjang aspal yang kau lewati ada sejarah masa lalu yang mulai terlupakan, sebuah lajur kereta, rel di tepian jalan yang tertimbun tanah hitam dan tertanam rumput-rumput liar. Ah, betapa indahnya jika dulu aku dapat melihat gerbong-gerbong kereta berjajar dari tempatku melaju, berkejaran. Sayang, siluet masa lalu itupun mulai menghilang, seiring jalan yang berkelok dan perempatan pasar. Patung garuda yang gagah mengawasi pergerakan kerumunan pasar dan menunjukiku arah kiri untuk melaju, memacu gas melewati himpitan toko-toko yang menjual sepatu, kain, dan makanan, menembus perkampungan dan sekolah hingga sampai di sebuah rumah dengan pohon rambutan tumbuh rendah di halamannya.
Panas memakan waktu dengan lahap, dan mendung sudah bersiap untuk menyudahi, gas yang belum dingin dipacu kembali, berlomba dengan mendung yang berkonvoi di ujung langit.
Setengah jam, waktu merekam jejak-jejak pasar kembali, menengok masjid-masjid megah dengan banyak ukiran, berwarna lembut disiram riak-riak mentari. Jalan mulai sepi, pohon-pohon mendominasi jalan yang semakin mengecil, berbelok di sebuah gang kecil, masih sepi, menuruni jalan setapak dan memarkir kuda besi bersama kawan-kawannya yang lain.
Kaki-kaki mulai berjalan menuju tempat karcis, berjalan ke bawah melewati jalan-jalan sempit yang dipadati warung dengan rincik air yang menggema memantul di atas batu-batu di bawahnya. Langkah mengikuti air, menyusuri jalan di sampingnya, melewati jembatan merah kecil, menurun lagi hingga sampai di sebuah warung berwarna kehijauan.
Loker disewa, baju diganti, ban di pesan, lalu dimulailah acara penghilang penat itu. Melemaskan otot-otot yang tegang karena perjalanan, sebuah kolam setinggi dada menanti kami. Setelah takut-takut akhirnya badan kami bisa masuk pada airnya yang jernih dan tenang, sebuah retorika alam yang indah, teduh, dan damai. Sebuah ketenangan dan kesegaran membasuh lelah yang menyita kebahagiaan. Walau pada akhirnya hanya bisa timbul tenggelam dan tidak mampu sempurna mengambang, cukuplah untuk menertawakan diri karena ketakutan pada air. Sebuah persepsi lama pun tertanggalkan, air tak selamanya mengerikan.
Phobia harus ditaklukkan, sekecil apapun kedatangannya jika tidak ingin mengakar dan jadi sesuatu yang tidak dapat dikendalikan. Alhasil ban-ban dihanyutkan, bersama gandengan tangan yang tak terlepaskan, walau akhirnya putus di tengah jalan. Arus membawa ketegangan, mengancam untuk menerkam, dan sebuah ketenangan diharuskan, karena pada akhirnya tenang akan meluluhkan. Alirannya tidak dalam, hanya arusnya cukup untuk membuat jantung berdebar-debar.
Senam jantung telah terlewati, phobia sudah menguap bersama gerimis yang datang sebentar. Relaksasi dibutuhkan untuk meredam kembali getaran, mengayun, kaki mengayun di atas ban, menikmati gerak air pelan yang tidak menghanyutkan. Relaksasi, mengingat alam, terapung-apung, terdorong, sebuah pesta kedamaian meresap di kedalaman hati di orkes deburan air yang turun dari lereng batu rendah, gemerisik.
Dan konser alam itu ditutup dengan pijat alami dari aliran air dari atas lereng, dihantam, dipukul-pukul pelan sampai bosan dan beranjak ke warung hijau yang menunggu dengan nasi goreng bekal, bergelas energen dan kopi, dan berpiring sempol dengan caos tomat pedas bercampur kecap. Tertawa, berbagi.

Malang, 19 November 2016
Adakalanya kebahagiaan hanya bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dikatakan dan sesekali hanya bisa direkam untuk bahan ingatan. 

Senin, 14 November 2016

KAMU DAN HARLEY QUINN

Harley Quinn, aku tahu tokoh ini, cuma sebatas tahu, itupun karena kamu yang membuatku ingin tahu. Harley Quinn, sekarang aku tahu dia adalah salah satu tokoh di film Suicide Squad, yang katanya adalah kisah penjahat yang jadi superhero.
Harley Quinn, katanya dia kekasih Joker, musuh Batman yang sekarang jadi pahlawan di film Suicide Squad. Itupun masih katanya, karena aku belum pernah melihatnya langsung. Masih dari katanya, harley quinn ini adalah reporter atau perawat yang dimasukkan joker ke sebuah cairan sehingga harley quinn menjadi jahat.
Kalau begitu, harley quinn sebenarnya bukan orang jahat kan? Dia cuma korban dari kegilaan joker saja. Lalu kenapa kamu ingin jadi harley quinn jika kamu tahu sebenarnya harley quinn tidak jahat. Harley Quinn hanya korban, sedangkan kamu ingin jadi jahat sejak awal. Aku tidak tahu apakah aku benar, karena aku belum melihat kisah harley quinn ini dengan mata kepalaku sendiri, aku belum benar-benar tahu bagaimana kronologi kehidupan harley quinn.
Tapi satu hal, kamu tidak perlu jadi harley quinn, kamu sudah cukup untuk jadi penjahat dengan namamu sendiri, ya tinggal aku doakan habis ini kamu jadi superhero di duniamu sendiri. Aku melarangmu untuk jadi jahat di kesempatan pertama, tapi kamu sudah terlanjur jadi penjahat. Selamat berjuang jadi superhero

Sabtu, 12 November 2016

Hujan dan Aku

Satu minggu ini Malang hujan. Setiap tengah hari terlewati mendung akan menghitam dan turun jadi ribuan percik hujan. Satu minggu ini Malang hujan, setiap hari, tiap habis tengah hari, rintiknya akan jatuh di dedaunan, jalan, emperan toko, atap-atap rumah dan masih banyak lagi.
Satu minggu ini Malang menipu. Dan sekarang tipuan itu mulai bisa aku tebak. Malang tak benar-benar cerah seharian, walau ketika pagi diselimuti mentari, langit biru tak berdebu, namun, setiap kali matahari berada di puncak dan lengser ke barat ada gumpalan hitam awan yang akan menyusulnya. Menjadi sebuah tirai yang menutup pertunjukan kolosal biru di langit.
Kini hujan kembali menderas, membentur atap rumah, mencari tempat terendah untuk bermuara, dan aku ada di bawahnya, merasa terkutuk oleh alirannya yang tak kunjung mereda. Aku tidak suka hujan, aku benci mendengar suara hujan. Aku merasa terintimidasi oleh hujan, setiap kali mendengar hujan, aku seperti mendengar orang-orang meneriaki untuk berhenti, entah berhenti untuk apa. Dan aku merasa sangat lemah di bawah hujan.
Hujan memang dibutuhkan, karena kehidupan selalu membutuhkannya, untuk minum, makan, mencuci, bertanam dan yang lainnya. Tapi aku tak pernah menyukai hujan, aku sudah berhenti berlari di bawahnya seperti ketika kecil dulu. Kini aku tidak akan memaksakan diriku berlari dengan pelepah daun pisang dan menangis di bawahnya. Kini aku menghindari hujan, aku mengemas diri dalam kamar jika aku bertemu hujan, walau sesekali aku harus menembus lebatnya dengan kepayahan.
Ya, aku terlihat sangat lemah di bawah hujan. Aku seperti perang jika bertemu dengannya dan selalu kalah. Aku tak bisa sepertimu yang bisa bermain bersamanya, dan memeluk rinai-rinainya. Aku tidak pernah suka hujan, walau hujan membuatmu bahagia. Aku tidak pernah suka hujan, untuk sebuah alasan yang terlupakan.

Selasa, 08 November 2016

Teruntuk Orang Manis

Surat ini teruntuk kamu orang manis yang selalu optimis,
pertama-tama aku pengen menduplikat dirimu, semacam kloning wujud aslimu untuk menemani hari-hariku. Ya, tiba-tiba aku kangen sekali lihat senyummu yang selalu dapat menerbangkan semua beban. Serasa senyummu itu penangkal petir ketidakberdayaan.
kedua, apa kita bisa jadi teman di masa mendatang? Biar aku tidak hanya jadi orang yang kecanduan melihat foto-foto postingan, biar kita bisa bicara tatap muka, biar ilusi ini jadi nyata.
ketiga, aku berharap senyum manismu itu tetap pekat, meski masalah selalu berkilat. Karena aku berharap kita benar-benar bisa jadi teman suatu saat.

Jumat, 28 Oktober 2016

Soal perasaan. Bagaimana aku harus merumuskan sebuah perasaan ini sehingga mudah dipahami. Ini menyebalkan

Kamis, 27 Oktober 2016

Salim : Kuli Rawis



Rabu pagi itu, matahari pukul setengah sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu, tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong, hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan.  Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh. Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari. Selamat sore Salim :* :*

Salim : Kuli Rawis



Rabu pagi itu, matahari pukul setengah sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu, tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong, hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan.  Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh. Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari. Selamat sore Salim :* :*

Sabtu, 22 Oktober 2016

Sejarah bukan Hafalan.

Aku, aku lahir di tengah keluarga biasa saja, menjalani hidup dengan biasa dan cara biasa. Aku seperti orang kebanyakan, suka makan nasi, suka gorengan, suka nonton tivi dan suka diajak rumpi. Aku suka mendengar orang-orang tua berkisah tentang masa lalu, sebuah historis yang semakin lama semakin dilupakan, karena hanya sekedar dijadikan pelajaran hafalan di sekolahan.
Aku suka mendengar buyut bercerita tentang masa kecilnya, tentang tentara Jepang yang selalu memburu, tentang padi-padi dan sapi yang dibiarkan berceceran, tentang senapan yang menembak bertubi-tubi menakuti, tentang pesawat terbang, dan tentang rumah yang terbakar. Buyut menceritakan kepadaku berulang-ulang karena aku selalu memintanya ketika liburan sekolah atau ketika waktu lengang dan aku tidak bosan mendengarnya.
Ketika beliau bercerita aku akan rebah di pangkuannya yang renta sambil menutup mata. Aku akan membentuk film tersendiri pada layar mataku, berada pada waktu dan kejadian yang diceritakan buyutku. Aku lebih mudah membayangkan cerita versi buyutku ketimbang membayangkan isi buku sejarah yang aku pelajari dari SD sampai bangku kuliah. Cerita versi buyutku lebih memiliki ruh, ada jiwa keaslian yang dituangkannya padaku ketika mendengarnya. Bukan cerita kaku yang menjelaskan tanggal-tanggal penting tanpa catatan. Rasanya aku belum pernah membaca buku sejarah dengan penuturan yang imajinatif dan mudah dirasakan.
Cerita buyutku memiliki ruh mungkin karena cerita itu begitu dekat denganku. Letupan senapan, mayat-mayat bergelimpangan itu mungkin ada di bawah kakiku ketika aku mendengar cerita itu sehingga roh-roh yang tertinggal di sana menghidupkan kembali kisah itu ketika disyairkan buyutku. Alasan itulah yang juga menjadi dasar salah satu dosen matakuliahku untuk membuat bahan ajar yang sebisa mungkin dekat dengan kehidupan anak, sehingga roh-roh itu bermunculan dan menguatkan isi dari cerita sejarah itu.
Sekarang aku pikir mungkin dosenku benar, dan memang benar. Kita belajar dari hal-hal yang paling dekat dengan kehidupan kita, memaknainya dan menyimpannya dalam otak. Begitupun sejarah. Akan lebih baik mempelajari sejarah yang dekat dengan kehidupan kita, mempelajari sejarah bagaimana keluarga kita bisa ada, lalu berlanjut bagaimana desa kita bisa terbentuk. Mempelajari siapa saja pahlawan-pahlawan yang telah gugur demi desa kita. Bukan berarti rasis dan hanya mengelukan desa kita, tapi memang sejarah bukanlah sebuah hafalan. Bukankah lebih mudah memaknai apa yang ada di hadapan kita, ketimbang memaknai sesuatu yang belum kita kenal sebelumnya. Toh, inti dari sejarah adalah bahan belajar. Belajar dari kesalahan dan belajar dari kebaikan yang ada di dalamnya. Dan aku yakin setiap sejarah dimanapun dia pasti memiliki keduanya. Tidak akan mungkin ada sejarah yang full hanya berisi keburukan, pasti di dalamnya ada nilai-nilai kecil kebaikan yang ingin didapatkan. Dan tidak mungkin sejarah berisi seratus persen kebaikan, karena pasti tetap ada kesalahan-kesalahan untuk jalan menuju kebaikan.
Sejarah bukan suatu hafalan untuk mengukir angka delapan atau sembilan. Pelajaran sejarah diadakan untuk belajar merajut masa depan, bukan dilupakan dan ditelantarkan. Bukannya dilarang move on, dan selalu membicarakan masa lalu, tapi tanpa masa lalu akankah ada masa sekarang dan masa depan. Semua tetap diawali dari masa lalu.

Maaf bahasanya berantakan :D

Jumat, 30 September 2016

Pesta Semalam

Rumah besar yang terlihat sederhana dengan gerbang hitam yang sudah berulang kali di cat. Emperannya terasa selalu sejuk entah pagi, siang, atau malam. Pohon mangga yang berbuah satu dua kali lebih meneduhkan atap yang lumayan tinggi.
Malam bergerak naik, bintang berpesta di atas langit, dan asap mengepul dari emperan yang teduh itu. Gerbang warna hitam itu terbuka menampakkan jalanan paving yang lengang. Hanya suara berisik ibu setengah baya dengan rambut keriting yang sedang menceritakan sesuatu kepada orang yang sedang mencari daun-daunan di luar sana.
Asap pemanggangan melenggang pergi bersusul-sulan diterpa kipas angin yang dinyalakan sedang. Sesekali mbak Dewi juru masak kami membolak-balik tusukan sate yang terbakar di atas pemanggangan. Bau daging sapi dan kambing yang kami tusuk sesorean menyebar dan menguar.
Emperan jadi ramai, musik dari hape diyalakan keras dengan speaker pinjaman, kamera-kamera di aktifkan dan tingkah narsis tidak terelakkan.
Ya, ini pesta kami, malam keakraban jika aku bisa berhiperbola. Malam ini kami berkumpul untuk memasak daging yang didapat mbak kosku (Ita) dari sekolah magangnya. Kami putuskan iuran untuk membeli jagung sebagai pelengkap hidangan, membeli bubuk keju untuk penyedap rasa, arang untuk bahan bakar dan alat panggang yang kini kepanasan menahan bara yang semakin seru semakin malam.
Ratna, juru kamera sekaligus pemilik kamera paling bening untuk sementara, mulai beredar dan berlalu lalang di antara kami. Sebagai maniak foto dan kenarsisan dia meminta semua orang untuk bersai "hello" di kamera oppo mirrornya. Sedang kami yang seperti laron-laron langsung mengerubutinya, seakan dia adalah cahaya. Kami berebut masuk ke dalam lubang kamera, diabadikan pada layar pipih di sana.
Beberapa menit kemudian mbak Rivat bergabung menambah hiruk pikuk. Malam berubah jadi hangat dan tugas-tugas dosen yang mengalir tanpa henti membentuk siklus, diam mengambang di udara untuk sesaat. Sebuah kebahagiaan dan tawa membekukannya. Kami berceloteh ke sana kemari, memuji mbak dewi yang demi bertusuk-tusuk sate rela belum mandi, mbak Rivat yang diangkat jadi ketua suku kos-kosan kami, pacar mbak Ita yang sering main ke kos, dan masih banyak olok-olokkan yang kami pentaskan malam ini. Inggit datang dengan raut muka agak kecewa karena kehilangan bagian cerita kami, dia harus mengajar les privat setiap habis magrib dan baru pulang pukul setengah delapan. Namun kekecewaannya tidak berlangsung lama, setelah menaruh tas di meja sembarangan dan tanpa ganti baju dia langsung mengikuti kami untuk berlomba masuk ke kamera. Tangan kami melambai, dan sebuah lagu dari Aderai yang aku lupa judulnya membuat kami bernyanyi, sebuah paduan suara yang berantakan tapi menyenangkan untuk dilewatkan. Kami menyanyi tidak peduli dengan tetangga yang akan mengomel karena mendengar suara kami yang naik turun.
Pukul setengah sepuluh, tikar di gelar di emperan kami, tusukan sate, jagung bakar, sambal kacang kini terhidang di tengah-tengah kami. Berimpit-impitan kami menikmati tusukan demi tusukan, menenggak es sirup yang dibuat tergesa-gesa.
Malam menyusut dengan cepat, celoteh kami tetap membahana. Walaupun kenyang kini membuat kantuk kami semakin nyata. "bagusnya acara ini bisa ada satu bulan sekali," komentar seseorang yang tidak aku perhatikan. "Tapi kan daging mahal," seruku masih menikmati setusuk daging sapi yang hampir membuat gigiku rontok. "Yo nggak perlu daging to, jagung kaya gini aja kan juga enak," saut yang lainnya. "Iya, yang penting itu kebersamaannya." kata seseorang yang aku juga tidak tahu siapa. Yang jelas malam ini aku merasa punya keluarga, seperti sedang mengumpulkan puzzle bahwa mereka adalah bagian-bagian yang bisa melengkapi satu sama lain. Arum teman sekamarku yang pandai dan endelnya setengah mati. Orang yang selalu belajar dan belajar tanpa henti. Inggit yang terlampau suka kebersihan, dia tidak akan membiarkan bahkan setitik noda melekat pada setiap inci kos-kosan kami. Lalu ima, pejuang kuliah yang menjual beraneka macam barang dan jasa, dari pulsa, kerudung, baju, les privat, dan entah apalagi yang berusaha dia jual, dia pembisnis pemula namun mudah adaptasi dengan pasar. Dan ada saudara kembarku (memaksa) yang penggila segala hal berbau korea, fans para oppa, penikmat lagu K-Pop dan rela begadang demi menonton drama korea di laptopnya yang dipaksa hidup terlunta-lunta karena hobinya. Dan terakhir Ilmi, dia tidak ikut pesta kami hari itu, dia tertidur pulas di kamarnya, tepar, setelah pulang dari Sidoarjo. Dia teman sekelas, sosok yang pandai, kreatif dan paling rajin beribadah. Mereka teman seangkatanku, teman seperjuangan dan berbagi keluh kesah dosen pada matakuliah yang sama, teman main, teman gila-gilaan, dan teman bersedih ria.
Satu jam kemudian tikar resmi kami lipat, alat-alat kotor kami bawa masuk untuk dibersihkan. Inggit kebagian tugas menyapu sisa bakar-bakar dan makanan. Malam berakhir, namun kisah dan cerita belum berakhir, hanya butuh jeda untuk bernafas. Kantuk butuh ditidurkan, dan walaupun banyak yang ingin aku ceritakan.....sesuatu masih bisa dilanjut bukan?

Malang, late post. acara ini di sponsori daging ibu kos dan mbak Ita pada waktu Idul Adha. Terima kasih ya, walaupun tidak sempat pulang karena banyak tugas, kalian telah memberi rumah untuk saya tertawa di hari besar ini.

Senin, 26 September 2016

SENDIRIAN



Saya sendirian, di tempat yang kau pikir sangat ramai ini aku sangat sendirian. Kamu meninggalkan saya tanpa menoleh ke belakang lagi. Kamu biarkan saya dengan luka menganga di kaki dan tidak kau perhatikan lagi.
Saya sendirian, dan tetap melangkah di jalanan sendiri. Butir-butir embun yang ada di kelopak mata perlahan mulai turun. Masih di belakangmu, masih luka lebih menganga dan penuh kerikil kecil.
Saya sendirian, tapi kau tak juga mengerti. Karena kamu lupa cara menggenggam tangan saya. Kamu lupa bahwa di tengah tawa pun terkadang ada sepi yang mengakar.
Saya sendirian, tidak mengertikah kamu? Sebuah kata yang tak bisa saya ucapkan dan terlanjur mengakar tidak diperhatikan.
Saya sendirian, ingin rasanya saya menangis dalam dunia saya. Saya ingin meluruhkan kedap yang ada di hati saya, mengakui bahwa saya sendiri dan terlampau terluka.
Saya sendirian, ingin lari ke  sepi yang yang membawa keramaian, ingin direngkuh puluhan tangan yang mengerti bahasa diam bahwa aku sendirian.
Saya sendirian, tapi kamu pikir aku dalam keramaian, kamu pikir aku direngkuh ribuan tangan. Faktanya matamu tak dapat lagi melihat kenyataan, yang kau lihat hanya sebuah siluet senyum yang sengaja aku paksakan.
Saya sendirian, memilih menyingkir entah untuk apa berkorban dan tak sengaja kau tepiskan. Blok-blok mulai membentuk dindingnya, waktu mulai membuat jaraknya, ruang menggali kuasanya.
Saya sendirian, entah di ujung pagi atau di kedalaman senja. Sesuatu hal yang engkau lupakan, engkau abaikan.
Saya sendirian, perlahan mulai luruh di air mata dan butuh sandaran. Tapi siapa? Kau melangkah dan tak juga menengok.
Saya sendirian, dan terlampau ingin pulang cari kedamaian. Kelelahan menahan penat yang tak dapat dibagi dan diratakan.
Saya sendirian.
Malang, 27 September 2016
Aku menipumu dengan siluet senyumku, mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku pikir suatu saat kamu akan mengerti. Tapi hari ini, aku menyadari kamu bukan orang sejeli itu.

Kamis, 22 September 2016

TANGGUNG JAWAB KATA MAMAK




Siang itu aku bangun terkejut karena Mamak menelepon. Sebenarnya aku tak perlu terkejut karena begitulah Mamak, seorang paranoid terhadap anaknya yang selalu ingin tahu apapun tentang anaknya bahkan hal paling kecil sekalipun. Mamak  adalah sosok yang akan selalu memantauku berapa banyak aku minum sehari dan berapa kali aku makan sehari. Dia adalah alarm yang akan selalu mengingatkan tentang kesehatan fisikku sekaligus kejiwaanku. Mamak menjadi alarm bagiku agar tidak pulang malam dan makan tepat waktu. Mamak adalah pemantau gizi makanan setiap hari walaupun sering aku tipui.
Ya, Mamak adalah teman curhat intensifku. Setiap hal yang aku lalui, semua yang aku temui tidak pernah luput dari Mamak. Pengalaman saat aku tidak bisa masuk kelas karena terlambat, tugasku yang bagai bom waktu, teman-teman dekatku semuanya aku ceritakan pada Mamak. Hanya saja aku tak begitu terbuka tentang satu hal dengan Mamak. Satu hal itu adalah perasaan “suka”. Entah kenapa itu bukan menjadi topik favoritku ketika bercengkerama dengan Mamak lewat saluran telepon. Aku lebih memilih berbicara tentang kuliah dan cita-cita, bercerita tentang adikku yang beranjak dewasa atau musim yang sedang terjadi di desa. Berkali-kali aku mendesak mulutku untuk berani menceritakan pasal “rasa” yang diam-diam muncul di hatiku sebagai bagian dari perkembangan sikogisku. Tapi mulutku selalu kelu dan aku tak pernah punya argumen lebih jika berbicara pasal “rasa”. Membicarakan “rasa” bersama Mamak aku sering berbenturan pendapat, namun sebagai anak yang tidak mempunyai pengalaman tentang “rasa” seperti dia aku hanya bisa terkekeh ketika mendengarkan argumen dan petuahnya. Aku tak pernah melawan kata-kata Mamak pasal “rasa” itu, karena aku tidak punya cukup teori tentang semua itu. Bagiku “rasa” itu adalah perasaan yang membuncah bagai kembang api yang dilontarkan pada malam tahun baru, meledak dan memancar menghiasi langit malam yang kelam namun penuh harapan.
Namun sore itu, kami berbicara sedikit pasal “rasa”. Tipis-tipis aku menanyakan bagaimana Mamak dan bapak bisa bertemu, pacaran, dan akhirnya menikah. Ternyata Mamak juga tak begitu banyak menceritakan pengalaman “rasa” nya itu padaku, seakan itu bagian dari tabu yang tak pantas untuk diceritakan. Bukankah Mamak berbeda dari ibu-ibu lainnya? Mamak hanya menceritakan bahwa dia hanya bertemu bapak beberapa kali dan untuk akhirnya siap dipinang dan menikah di usia muda. Ah, begitu sederhana bukan kisah cinta Mamak?
Karenanya dalam sore itu Mamak bilang padaku, “pacaran itu nanti-nanti saja kalau sudah sama-sama siap menikah, jadi kamu pacaran terus nikah jadi nggak perlu ada putus dan kamu juga nggak patah hati. Kamu juga nggak akan ada penyesalan sama mantan-mantan kamu” komentarnya panjang lebar sedang aku Cuma menyimak dan sesekali tertawa hambar. Mamak melanjutkan kata-katanya, “cari pasangan itu jangan Cuma dilihat dari gantengnya saja, memangnya kamu bisa makan kalau modal ganteng saja.” Sontak saja perkataan itu menohok ulu hatiku seperti aliran kedut listrik yang menggerayangi tubuhku untuk memberikan reaksi nyengir dengan suara nyinyir. Bagaimana tidak, hari ini, detik ini, bahkan ketika aku menulis tulisan ini, aku dalam posisi menyukai seseorang karena kegantengannya. Aku bertanya apakah Mamak tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang? “cari itu yang ada tanggung jawabnya,” imbuh Mamak. Sepontan karena perasaan aneh yang menggeliat dalam perutku aku berkomentar, “yang banyak uangnya ya mak?” “Tanggung jawab, ya pokoknya tanggung jawab, dia menerima kamu apa adanya. Bahkan sekalipun kalau dia jelek kalau tanggung jawab yang terima saja,” jawabnya.
Kami hanya berbicara sampai kata tanggung jawab karena Mamak masih sibuk menyetrika baju orang, dan akupun akhirnya mengiyakan. Telepon terputus namun pertanyaanku malah baru muncul sebagai akibat kebebalanku. Aku belum paham tentang tanggung jawab yang diusung Mamak. Apa yang Mamak maksud tentang tanggung jawab? Dimana aku bisa menemukan orang  dengan kriteria tanggung jawab yang dilontarkan Mamak? Sampai detik ini tanggung jawab hanya bisa aku artikan sebagai bentuk tindakan mencukupi secara finansial? Tapi kenapa saat aku tanya Mamak apakah orang itu harus banyak uang dia tidak mengiyakan?
Lalu aku berspekulasi pada pikiranku sendiri apa makna tanggung jawab yang dimaksud seorang Mamak. Mamak mungkin ingin aku menemukan seseorang yang bisa menjadi duplikat dirinya. Seseorang yang akan selalu ada saat aku ingin menceritakan hal-hal remeh temeh kehidupanku yang tercecer setiap hari. Mamak mungkin berharap orang itu akan bersedia menampung semua rasa suka dan sedihku dalam porsi yang sempurna dan meleburkannya menjadi kenangan yang akan selalu kuingat. Mamak mungkin berharap orang itu akan selalu sanggup mendengarkan aku bahkan dititik lelahnya sendiri, seperti Mamak yang tak bosan untuk mendengarkan ceritaku yang susunannya berantakan. Mamak mungkin berharap orang itu akan menjadi alarm untukku. Orang yang akan mengingatkan aku untuk minum 8 gelas perhari dan makan tiga kali sehari. Mamak mungkin berharap orang itu tidak akan membiarkanku kelelahan hingga jatuh sakit. Mamak mungkin berharap dia akan selalu merengkuh pundakku bahkan ketika dia tahu aku bukanlah orang yang sesempurna yang dia harapkan. Mamak mungkin berharap orang itu akan tetap menemaniku sampai Tuhan memisahkan kita.
Dan aku melukis doa di atas kata-kata Mamak itu agar aku suatu saat dipertemukan dengan kriteria tanggung jawab sepeti yang Mamak katakan. Orang yang akan mendekapku dalam semua doa dan pengorbanannya.