Pages

Senin, 26 September 2016

SENDIRIAN



Saya sendirian, di tempat yang kau pikir sangat ramai ini aku sangat sendirian. Kamu meninggalkan saya tanpa menoleh ke belakang lagi. Kamu biarkan saya dengan luka menganga di kaki dan tidak kau perhatikan lagi.
Saya sendirian, dan tetap melangkah di jalanan sendiri. Butir-butir embun yang ada di kelopak mata perlahan mulai turun. Masih di belakangmu, masih luka lebih menganga dan penuh kerikil kecil.
Saya sendirian, tapi kau tak juga mengerti. Karena kamu lupa cara menggenggam tangan saya. Kamu lupa bahwa di tengah tawa pun terkadang ada sepi yang mengakar.
Saya sendirian, tidak mengertikah kamu? Sebuah kata yang tak bisa saya ucapkan dan terlanjur mengakar tidak diperhatikan.
Saya sendirian, ingin rasanya saya menangis dalam dunia saya. Saya ingin meluruhkan kedap yang ada di hati saya, mengakui bahwa saya sendiri dan terlampau terluka.
Saya sendirian, ingin lari ke  sepi yang yang membawa keramaian, ingin direngkuh puluhan tangan yang mengerti bahasa diam bahwa aku sendirian.
Saya sendirian, tapi kamu pikir aku dalam keramaian, kamu pikir aku direngkuh ribuan tangan. Faktanya matamu tak dapat lagi melihat kenyataan, yang kau lihat hanya sebuah siluet senyum yang sengaja aku paksakan.
Saya sendirian, memilih menyingkir entah untuk apa berkorban dan tak sengaja kau tepiskan. Blok-blok mulai membentuk dindingnya, waktu mulai membuat jaraknya, ruang menggali kuasanya.
Saya sendirian, entah di ujung pagi atau di kedalaman senja. Sesuatu hal yang engkau lupakan, engkau abaikan.
Saya sendirian, perlahan mulai luruh di air mata dan butuh sandaran. Tapi siapa? Kau melangkah dan tak juga menengok.
Saya sendirian, dan terlampau ingin pulang cari kedamaian. Kelelahan menahan penat yang tak dapat dibagi dan diratakan.
Saya sendirian.
Malang, 27 September 2016
Aku menipumu dengan siluet senyumku, mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku pikir suatu saat kamu akan mengerti. Tapi hari ini, aku menyadari kamu bukan orang sejeli itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar