Saya sendirian, di tempat yang kau pikir sangat
ramai ini aku sangat sendirian. Kamu meninggalkan saya tanpa menoleh ke
belakang lagi. Kamu biarkan saya dengan luka menganga di kaki dan tidak kau
perhatikan lagi.
Saya sendirian, dan tetap melangkah di jalanan
sendiri. Butir-butir embun yang ada di kelopak mata perlahan mulai turun. Masih
di belakangmu, masih luka lebih menganga dan penuh kerikil kecil.
Saya sendirian, tapi kau tak juga mengerti. Karena kamu
lupa cara menggenggam tangan saya. Kamu lupa bahwa di tengah tawa pun terkadang
ada sepi yang mengakar.
Saya sendirian, tidak mengertikah kamu? Sebuah kata
yang tak bisa saya ucapkan dan terlanjur mengakar tidak diperhatikan.
Saya sendirian, ingin rasanya saya menangis dalam
dunia saya. Saya ingin meluruhkan kedap yang ada di hati saya, mengakui bahwa
saya sendiri dan terlampau terluka.
Saya sendirian, ingin lari ke sepi yang yang membawa keramaian, ingin
direngkuh puluhan tangan yang mengerti bahasa diam bahwa aku sendirian.
Saya sendirian, tapi kamu pikir aku dalam keramaian,
kamu pikir aku direngkuh ribuan tangan. Faktanya matamu tak dapat lagi melihat
kenyataan, yang kau lihat hanya sebuah siluet senyum yang sengaja aku paksakan.
Saya sendirian, memilih menyingkir entah untuk apa
berkorban dan tak sengaja kau tepiskan. Blok-blok mulai membentuk dindingnya,
waktu mulai membuat jaraknya, ruang menggali kuasanya.
Saya sendirian, entah di ujung pagi atau di
kedalaman senja. Sesuatu hal yang engkau lupakan, engkau abaikan.
Saya sendirian, perlahan mulai luruh di air mata dan
butuh sandaran. Tapi siapa? Kau melangkah dan tak juga menengok.
Saya sendirian, dan terlampau ingin pulang cari
kedamaian. Kelelahan menahan penat yang tak dapat dibagi dan diratakan.
Saya sendirian.
Malang,
27 September 2016
Aku
menipumu dengan siluet senyumku, mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku pikir
suatu saat kamu akan mengerti. Tapi hari ini, aku menyadari kamu bukan orang
sejeli itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar