Pages

Kamis, 22 September 2016

TANGGUNG JAWAB KATA MAMAK




Siang itu aku bangun terkejut karena Mamak menelepon. Sebenarnya aku tak perlu terkejut karena begitulah Mamak, seorang paranoid terhadap anaknya yang selalu ingin tahu apapun tentang anaknya bahkan hal paling kecil sekalipun. Mamak  adalah sosok yang akan selalu memantauku berapa banyak aku minum sehari dan berapa kali aku makan sehari. Dia adalah alarm yang akan selalu mengingatkan tentang kesehatan fisikku sekaligus kejiwaanku. Mamak menjadi alarm bagiku agar tidak pulang malam dan makan tepat waktu. Mamak adalah pemantau gizi makanan setiap hari walaupun sering aku tipui.
Ya, Mamak adalah teman curhat intensifku. Setiap hal yang aku lalui, semua yang aku temui tidak pernah luput dari Mamak. Pengalaman saat aku tidak bisa masuk kelas karena terlambat, tugasku yang bagai bom waktu, teman-teman dekatku semuanya aku ceritakan pada Mamak. Hanya saja aku tak begitu terbuka tentang satu hal dengan Mamak. Satu hal itu adalah perasaan “suka”. Entah kenapa itu bukan menjadi topik favoritku ketika bercengkerama dengan Mamak lewat saluran telepon. Aku lebih memilih berbicara tentang kuliah dan cita-cita, bercerita tentang adikku yang beranjak dewasa atau musim yang sedang terjadi di desa. Berkali-kali aku mendesak mulutku untuk berani menceritakan pasal “rasa” yang diam-diam muncul di hatiku sebagai bagian dari perkembangan sikogisku. Tapi mulutku selalu kelu dan aku tak pernah punya argumen lebih jika berbicara pasal “rasa”. Membicarakan “rasa” bersama Mamak aku sering berbenturan pendapat, namun sebagai anak yang tidak mempunyai pengalaman tentang “rasa” seperti dia aku hanya bisa terkekeh ketika mendengarkan argumen dan petuahnya. Aku tak pernah melawan kata-kata Mamak pasal “rasa” itu, karena aku tidak punya cukup teori tentang semua itu. Bagiku “rasa” itu adalah perasaan yang membuncah bagai kembang api yang dilontarkan pada malam tahun baru, meledak dan memancar menghiasi langit malam yang kelam namun penuh harapan.
Namun sore itu, kami berbicara sedikit pasal “rasa”. Tipis-tipis aku menanyakan bagaimana Mamak dan bapak bisa bertemu, pacaran, dan akhirnya menikah. Ternyata Mamak juga tak begitu banyak menceritakan pengalaman “rasa” nya itu padaku, seakan itu bagian dari tabu yang tak pantas untuk diceritakan. Bukankah Mamak berbeda dari ibu-ibu lainnya? Mamak hanya menceritakan bahwa dia hanya bertemu bapak beberapa kali dan untuk akhirnya siap dipinang dan menikah di usia muda. Ah, begitu sederhana bukan kisah cinta Mamak?
Karenanya dalam sore itu Mamak bilang padaku, “pacaran itu nanti-nanti saja kalau sudah sama-sama siap menikah, jadi kamu pacaran terus nikah jadi nggak perlu ada putus dan kamu juga nggak patah hati. Kamu juga nggak akan ada penyesalan sama mantan-mantan kamu” komentarnya panjang lebar sedang aku Cuma menyimak dan sesekali tertawa hambar. Mamak melanjutkan kata-katanya, “cari pasangan itu jangan Cuma dilihat dari gantengnya saja, memangnya kamu bisa makan kalau modal ganteng saja.” Sontak saja perkataan itu menohok ulu hatiku seperti aliran kedut listrik yang menggerayangi tubuhku untuk memberikan reaksi nyengir dengan suara nyinyir. Bagaimana tidak, hari ini, detik ini, bahkan ketika aku menulis tulisan ini, aku dalam posisi menyukai seseorang karena kegantengannya. Aku bertanya apakah Mamak tahu apa yang sedang aku pikirkan sekarang? “cari itu yang ada tanggung jawabnya,” imbuh Mamak. Sepontan karena perasaan aneh yang menggeliat dalam perutku aku berkomentar, “yang banyak uangnya ya mak?” “Tanggung jawab, ya pokoknya tanggung jawab, dia menerima kamu apa adanya. Bahkan sekalipun kalau dia jelek kalau tanggung jawab yang terima saja,” jawabnya.
Kami hanya berbicara sampai kata tanggung jawab karena Mamak masih sibuk menyetrika baju orang, dan akupun akhirnya mengiyakan. Telepon terputus namun pertanyaanku malah baru muncul sebagai akibat kebebalanku. Aku belum paham tentang tanggung jawab yang diusung Mamak. Apa yang Mamak maksud tentang tanggung jawab? Dimana aku bisa menemukan orang  dengan kriteria tanggung jawab yang dilontarkan Mamak? Sampai detik ini tanggung jawab hanya bisa aku artikan sebagai bentuk tindakan mencukupi secara finansial? Tapi kenapa saat aku tanya Mamak apakah orang itu harus banyak uang dia tidak mengiyakan?
Lalu aku berspekulasi pada pikiranku sendiri apa makna tanggung jawab yang dimaksud seorang Mamak. Mamak mungkin ingin aku menemukan seseorang yang bisa menjadi duplikat dirinya. Seseorang yang akan selalu ada saat aku ingin menceritakan hal-hal remeh temeh kehidupanku yang tercecer setiap hari. Mamak mungkin berharap orang itu akan bersedia menampung semua rasa suka dan sedihku dalam porsi yang sempurna dan meleburkannya menjadi kenangan yang akan selalu kuingat. Mamak mungkin berharap orang itu akan selalu sanggup mendengarkan aku bahkan dititik lelahnya sendiri, seperti Mamak yang tak bosan untuk mendengarkan ceritaku yang susunannya berantakan. Mamak mungkin berharap orang itu akan menjadi alarm untukku. Orang yang akan mengingatkan aku untuk minum 8 gelas perhari dan makan tiga kali sehari. Mamak mungkin berharap orang itu tidak akan membiarkanku kelelahan hingga jatuh sakit. Mamak mungkin berharap dia akan selalu merengkuh pundakku bahkan ketika dia tahu aku bukanlah orang yang sesempurna yang dia harapkan. Mamak mungkin berharap orang itu akan tetap menemaniku sampai Tuhan memisahkan kita.
Dan aku melukis doa di atas kata-kata Mamak itu agar aku suatu saat dipertemukan dengan kriteria tanggung jawab sepeti yang Mamak katakan. Orang yang akan mendekapku dalam semua doa dan pengorbanannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar