Pages

Kamis, 30 Maret 2017

Janji Usia Terbalik

Senja redup seperti lampu 5 watt yang sebentar lagi padam. Meninggalkan gelap yang menyembunyikan bayangan. Senja sekali lagi membungkus harapan. Membungkusnya seperti kado ulang tahun. Sangat rapi dan yang menanti hanya dapat berkhayal cemas. Adakah kamu akan datang dan jadi kado ulang tahun itu? Usiaku sudah 21 tahun, dulu kau berjanji akan menemuiku tepat di jam kelahiranku. Aku sebegitunya percaya padamu, pada janji bocah berusia 12 tahun yang satu minggu baru di sunat. Aku masih lugu saat itu, masih percaya dengan janji-janji yang kau ucapkan yang entah mengapa ketika umurku terbalik dari umurmu saat itu aku masih saja percaya.
"Aku pergi dulu," katamu persis seperti senja saat ini.
"Kemana?" tanyaku sedih. Bukankah wajar jika sedih jika akan ditinggalkan orang yang disayang.
"Entahlah, ibu tak mau memberitahuku."
"Mengapa seperti itu?"
"Kata ibu dia tak ingin kau nekat mencariku."
Aku memandangmu sesaat, sebal karena kamu begitu percaya dirinya.
"Memang benarkan?" tanyamu kemudian.
"Tidak juga," kataku sedikit ketus.
"Ah, jujur saja, kamu menyanyangiku kan?  kamu tidak bisa hidup tanpa aku bukan?"
"Tidak," jawabku masih tak mau mengalah.
"Aku tahu kamu tak mau mengakuinya sekarang, tapi suatu saat kamu pasti akan mengaku dengan sendirinya," katamu lebih percaya diri.
"Itu tidak akan terjadi,"
"Aku pergi."
Hari itu aku mengartikan pergi sebagai sebuah perpindahan tempat namun masih tetap dalam satu bumi. Meski hari itu kamu tak pernah menyebutkan tempat tujuan pergimu dalam batinku aku sudah menyiapkan niat untuk mencarimu. Akupun juga tak menanyakan apakah kamu akan pulang, karena kamu bilang "di ulang tahunmu yang terbalik dari umurku sekarang aku akan datang menjumpaimu." Nyatanya aku cuma perempuan lemah. Aku tak berani mencarimu, aku tak berani meninggalkan rumah yang begitu hangat dan nekat mencarimu.  Pun bagaimana aku bisa mencarimu, tak ada GPS yang mengatakan lokasimu. Yang tinggal aku hanya menunggu janji kepulanganmu. Apa itu menyakitkan? Tentu saja, setiap detik rasanya jantungku diperas, hatiku diperas, perasaanku diperas saking rindunya padamu. Hatiku jadi kering dan yang tertinggal di sana hanya namamu, yang abadi hanya namamu, tiap nama yang mencoba masuk akan layu dan mengering dengan sendirinya.
Ibumu pulang satu hari sebelum hari ulangtahunku. Tetapi dia sendiri, padahal aku sangat berharap kamu akan tersenyum dan muncul dari belakang punggungnya seperti waktu dulu.  Hari itu aku tak berani bertanya, ibumu berwajah kuyu hari itu, seperti habis tenggelam dalam danau yang sangat dalam, katanya, "aku tak berhasil membawanya pulang,"
Senja benar-benar tumbang, pekat hitam menguasai kisi-kisi cahaya, memikatnya, memeluknya dalam hening. Sebuah kecupan yang hangat mendarat pelan di keningku. Dingin membuat hatiku bergetar lirih. Sebuah pelukan membalutkan dalam pejam, "apakah kau datang?" tanyaku.
"Iya."
"Mengapa terlambat, ini dua jam sangat terlambat?"
"Biar rindumu makin pekat, biar kamu sadar jika kamu benar sayang."
"Aku begitu bodoh tak mengakuinya dulu."
"Memang apa yang perlu diakui, kita cuma bocah berusia 12 tahun. Tahu apa kita soal sayang."
"Tapi sekarang aku tahu dan aku tidak malu mengakuinya."
"Ya, aku tahu itu. Kamu bahkan rela menunggu janjiku meski datang terlambat."
"Aku mencintaimu,"
"Aku sangat-sangat mencintaimu," bisikmu sangat pelan dan syahdu. "Kumohon berjanjilah untuk selalu bahagia selamanya."
"Asal kau mendekapku aku akan selalu bahagia."
"Tanpaku."
"Itu tidak mungkin"
"Harus mungkin." katamu keras.
"Aku tidak bisa,"
"Harus bisa,"
"Tidakkkkkkk!!!!!!!!!!!" aku menjerit dan lelehan air mata terasa panas di pipimu. Aku benci kamu tak mengerti.
"Dia tidak bisa kembali bintang. Dia telah pergi ke surga. Dia lebih disayang oleh Tuhan. Tapi yang mesti kamu tahu, dia sangat mencintai kamu, sejak kecil dulu," kata Ibumu. Dia memberikan aku sebuah album yang berisi sketsa wajahku.
"Lalu bagaimana dengan namamu yang terlanjur tak terhapus dari hatiku? Kumohon kembalilah."

Selasa, 21 Maret 2017

Aku atau kamu (aku)

Di suatu senja berwarna orange kita bercakap pada masing-masing.  Kamu yang mikir terlalu emosional dan aku yang begitu realistis, cuek,  dan sedikit menyebalkan.
"kalo boleh aku ingin punya seseorang yang selalu bikin puisi saat senja,  romantis," katanya tersipu malu.
"romantis? Menurutku itu buang buang waktu saja, "
"kamu kikngitu sih, " emosionalmu mulai nampak.
"memang iya kan,  orang itu mesti menghabiskan menit menit berharganya untuk bisa bikin puisi.  Puisi itu bukan cuma kata kata kosong yang disusun jadi satu,  tapi sebuah paduan perasaan yang ingin dirangkai dengan kata kata singkat.  Puisi bukan hanya soal pilihan kata tapi makna,"
"kamu yang terlalu perfeksionis,  buatku kata kata biasa tak masalah,  jika cinta makna puisi juga akan nampak juga,"
"memang apa yang kau harapkan dari penenun puisi,  pun dia tak akan jadi berlembar lembar kain yang bisa dijahit lalu dijual, "
"kamu sendiri mengapa selalu menilai dari materi,  hidup tanpa seni tanpa puisi materi dimana ada arti? "
"kalau punya materi seni dan puisi pasti bisa dibeli, "
"mengapa kamu keras sekali,  puisi dan seni bisa dibeli.  Tapi rasanya untukmu,  kesepesialannya untukmu memang bisa dibeli?  Dia bikin karya seninkarya puisi untukmu cuma tlus karena hadiah materimu, pokoknya aku tetap akan cari penennun puisi itu yang tulus bikin berlembar lembar puisi untukku, kalo bisa sampai jadi baju yang menutupi tubuhku." katamu ngotot.  Aku menatapmu.  Lantas diam.  Langit orange berubah jadi kelabu.  Suara gemuruh adzan mulai didengar.  Sebentar kita jadi kabur masing masing,  tak tahu yang lebih dominan.  Aku atau kamu (aku)