Pages

Minggu, 17 Januari 2016

NGOCEH



Lagu koplo memang tidak  bisa aku banggakan jadi musik kaum intelek. Koplo bagiku hanya musik desa, didengarkan warga desa untuk menemani santap pagi, mendulang rezeki atau menikmati senja yang merayap pelan pelan. Tak bisa aku banggakan padamu seperti saat kau membanggakan musik waltz, jazz, maupun klasik. Musik koplo tidak akan membuatmu pandai seperti ketika kamu mendengarkan musik klasik, tidak cocok juga didengarkan ketika kau memakai jas di acara resmi. Musik koplo itu musik petani pegunungan untuk menghangatkan diri saat kedinginan, dan mengoplos alam agar memberikan suntikan gairah semangat untuk tetap berusaha mencokel pundi pundi rupiah.
Jika kau dengar setiap kali ada pentas musik koplo kau temukan kerusuhan, aku tak tahu apakah itu sudah jadi budaya, namun yang harus kau tahu itu cara mereka menikmati hidup yang penuh perjuangan. Ya aku hanya bisa menduga seperti itu karena aku tidak turut ikut berjejalan bersama mereka di bawah panggung yang nempertontonkan goyang maut penyanyinya.
Aku, hanya penyuka musik koplo. Bukan berarti aku harus turun ke bawah panggung itu. Aku penyuka musik koplo, karena ketika aku mendengarnya aku menemukan diriku yang dulu. Bebas dan tanpa beban. Aku tak perlu berpura pura sok intelek dan sok bijak, duduk di barisan kursi-kursi mendengarkan ocehanmu tentang pembaharuan.
Kau tahu, aku lebih bisa memakimu dari dentuman gendang yang dimainkan dalam setiap lagu koplo. Lagu yang katanya bikin orang lupa dunia lupa akhirat. Kau tahu  aku paling waras saat itu, saat musik itu mengalun kewarasanku timbul kembali. Aku merasakan kesederhanaan merambat lagi di sekujur tubuhku membingkai aku dalam kedamaian.
Aku tak perlu duduk di kafe remang remang, berdiskusi dengan pakar ilmu masing masing bidang untuk belajar berfilsafat. Aku hanya cukup mendengar musik ini, sesekali ngumpul di teras-teras rumah, di warung-warung sego hek untuk berfilsafat sederhana. Tanpa buku ataupun gadget, tidak ingin diataskan tapi hanya untuk sekedar berbagi.
Kadang mereka berfilosofi tentang kopi, kadang mereka berfilosofi tentang rokok. Katanya kalo perokok berhenti merokok bagaimana nasib pembuat rokok. Bukannya mereka hidup dari rokok, dan perokok hanya ingin menjaga hidup mereka saja.
Kau pasti akan menyalahkan tapi juga mengiyakan seperti ketika aku mendengarnya. Tapi bukannya itu arti berbagi bagi mereka, berusaha memutar roda ekonomi agar semua orang bisa makan, beli baju, sekolah dan berobat.
Sedangkan kamu hanya sesekali berdebat, menetapkan kebijakan dan makan di restoran bintang enam. Iya kukatakan bintang enam, karena bintang lima sudah tak cukup bagimu bukan.
Koplo, koplo, koplo, mungkin musik ini membuatku gila hingga aku ngoceh sepanjang ini. Atau mungkin ini kondisi paling warasku? Yang jelas aku suka musik ini, musik yang mengisi pekat dingin yang ada di dadaku, karena keramahanmu penuh dengan puing puing es batu yang coba kau tanamkan di hatiku.
Koplo, koplo, koplo. Aku suka musik ini, karena ini gambaran keluargaku walaupun kami tak pernah bergoyang di bawah biduan itu. Kami hanya pendengar dan penikmat. Jika kau tak suka melihat aku yang sekarang silahkan menyingkir. Aku ingin tahu saja apa kau tidak tergoda dengan denting gendang yang rancak menghentak sanubarimu. Di sinilah kesederhanaan berjoget dalam suka maupun dukanya hidup. Baiklah silahkan berpikir atau pergi saja.
Pacitan, 30 desember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar