Lagu koplo memang
tidak bisa aku banggakan jadi musik kaum
intelek. Koplo bagiku hanya
musik desa, didengarkan warga desa untuk menemani santap pagi, mendulang rezeki atau menikmati senja
yang merayap pelan pelan. Tak bisa aku banggakan padamu seperti saat kau
membanggakan musik waltz, jazz,
maupun klasik. Musik koplo tidak akan membuatmu pandai seperti ketika kamu mendengarkan musik klasik, tidak
cocok juga didengarkan ketika kau memakai jas di acara resmi. Musik koplo itu
musik petani pegunungan untuk menghangatkan diri saat kedinginan, dan mengoplos
alam agar memberikan suntikan gairah semangat untuk tetap berusaha mencokel
pundi pundi rupiah.
Jika kau dengar setiap
kali ada pentas musik koplo kau temukan kerusuhan, aku tak tahu apakah itu
sudah jadi budaya, namun yang harus kau tahu itu cara mereka menikmati hidup
yang penuh perjuangan. Ya aku hanya bisa menduga seperti itu karena aku tidak
turut ikut berjejalan bersama mereka di bawah panggung yang nempertontonkan
goyang maut penyanyinya.
Aku, hanya penyuka
musik koplo. Bukan berarti aku harus turun ke bawah panggung itu. Aku penyuka
musik koplo, karena ketika aku mendengarnya
aku menemukan diriku yang dulu. Bebas dan tanpa beban. Aku tak perlu berpura
pura sok intelek dan sok bijak, duduk di barisan kursi-kursi mendengarkan ocehanmu tentang
pembaharuan.
Kau tahu, aku lebih bisa memakimu dari
dentuman gendang
yang dimainkan dalam setiap lagu koplo. Lagu yang katanya bikin orang lupa dunia lupa
akhirat. Kau tahu aku paling waras saat
itu, saat musik itu mengalun kewarasanku timbul kembali. Aku merasakan kesederhanaan
merambat lagi di sekujur
tubuhku membingkai aku dalam kedamaian.
Aku tak perlu duduk di
kafe remang remang,
berdiskusi dengan pakar ilmu masing masing bidang untuk belajar berfilsafat.
Aku hanya cukup mendengar musik ini, sesekali ngumpul di teras-teras rumah, di warung-warung sego hek untuk berfilsafat sederhana.
Tanpa buku ataupun gadget, tidak
ingin diataskan tapi hanya untuk sekedar berbagi.
Kadang mereka
berfilosofi tentang kopi, kadang mereka berfilosofi tentang rokok. Katanya kalo
perokok
berhenti merokok bagaimana nasib
pembuat rokok. Bukannya mereka hidup dari rokok, dan perokok hanya ingin menjaga
hidup mereka saja.
Kau pasti akan
menyalahkan tapi juga mengiyakan seperti ketika aku mendengarnya. Tapi bukannya
itu arti berbagi bagi mereka, berusaha memutar roda ekonomi agar semua orang
bisa makan, beli baju, sekolah dan berobat.
Sedangkan kamu hanya
sesekali berdebat, menetapkan kebijakan dan makan di restoran bintang enam. Iya
kukatakan bintang enam, karena bintang lima sudah tak cukup bagimu bukan.
Koplo, koplo, koplo,
mungkin musik ini membuatku gila hingga aku ngoceh sepanjang ini. Atau mungkin
ini kondisi paling warasku? Yang jelas aku suka musik ini, musik yang mengisi
pekat dingin yang ada di dadaku, karena keramahanmu penuh dengan puing puing es
batu yang coba kau tanamkan di hatiku.
Koplo, koplo, koplo.
Aku suka musik ini, karena ini gambaran keluargaku walaupun kami tak pernah
bergoyang di bawah biduan itu. Kami hanya pendengar dan penikmat. Jika kau tak suka melihat aku yang
sekarang silahkan menyingkir. Aku ingin tahu saja apa kau tidak tergoda dengan
denting gendang yang rancak menghentak sanubarimu. Di sinilah kesederhanaan
berjoget dalam suka maupun dukanya hidup. Baiklah silahkan berpikir atau pergi
saja.
Pacitan, 30 desember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar