Pages

Senin, 24 Agustus 2020

Pertanyaan Besar (lagi)

 Jadi guru, sekaligus jadi pegawai itu punya tanggung jawab jabatan untuk menunjukkan profesionalisme dalam bekerja. Sudah sampai mana profesionalisme saya? Tiba - tiba saya merefleksikan diri saya sambil tiduran di kasur sepulang bekerja. Tiba - tiba ketika saya selesai melucuti pakaian kerja HP pintarku berdering, sebuah wasap dari teman saya mengabari soal video lomba pembelajaran yang baru saja diupload di YouTube. Sontak saya penasaran, saya cari kanal YouTube penyelenggara lomba tersebut karena beberapa hari yang lalu saya juga upload karya di kanal tersebut. Saya cari video saya di kanal itu tapi tidak ketemu. Beberapa saat kemudian teman saya bertanya apakah saya tidak mendapat pesan dari penyelenggara, saya jawab tidak. Di barisan pesan tersebut teman saya mengatakan dia mendapat pesan berupa link tayangan videonya dan minta bantuan untuk memberi like agar bisa jadi video favorit. 

Aihhh, agak kesal juga, video saya tidak lolos seleksi babak penyisihan. Walau sejak awal saya sudah tau bahwa kemungkinan saya lolos itu hanya kecil. Tapi dari situ renungan saya dimulai. Apa saya sudah melaksanakan kesungguhan saya dalam melakukan pengabdian? Atau saya hanya suka dengan bayaran rutin dan asal kerja saya? Lalu saya mengingat kembali masa masa saya mengajar, melihat anak - anak membaca, menulis, berpikir. Kadang saya berpikir saya mengajar hanya sekedar memberi latihan soal yang terlihat tidak ada gunanya di kemudian hari. Kapan lagi saya melihat mereka semangat mengikuti pembelajaran dari saya, kapan lagi mereka terlihat malas malasan. Saat itu saya ingin menyudahi pelajaran. Saya ingin ajak anak - anak itu bermain saja tapi kemudian saya terlindas tuntutan kurikulum. 

Saya memendam sendiri semua kegalauan saya tentang mendidik dan mengajar. Apa jadinya anak - anak yang datang pada saya untuk menimba ilmu, sedang sumur keilmuan saya begitu dangkal dan kering. 

Saya terlalu banyak menyalahkan lingkungan, menyalahkan keadaan atas semua kekeringan dan kedangkalan berpikir saya. Dan pertanyaan besar itu datang pada saya lagi, pantaskah saya mendapat sebutan guru?

Sabtu, 22 Agustus 2020

Guru Juga Bisa Salah

 Jadi guru itu nggak gampang. Dari arti namanya saja yang harus digugu dan ditiru yang ada pada diri guru haruslah selalu kebenaran. Kebenaran tingkah laku, sikap, perkataan, dan perbuatannya. Karena apapun yang dilakukan guru apapun yang diberikan guru pada akhirnya akan ditiru oleh siswanya.

Guru itu harus banyak baca, banyak diskusi tentang keprofesiannya, membaca literatur kekinian, apapagi kalau guru SD yang merupakan guru kelas. Wawasannya itu harus lintas disiplin ilmu. Harus paham bahasa, paham matematika, paham ilmu alam pun ilmu ilmu yang lainnya.

Nah, di sini poin masalah nya. Nggak tau kenapa hidup membawaku jadi seorang guru. Yaa, memang jabatan prestisius tapi kalo kurang baca, kurang literasi jadinya malah kaya badut di ulang tahun cuma bisa diketawain.

Jadi kemarin itu aku sempet ada materi tentang daur hidup ikan. Ehh muridku ada yang nulis kalau daur hidup ikan itu dimulai dari telur, larva, ikan. Udah aku awalnya baca sampai situ dong. Aku komen karena ini via sosmed kalau ikan tidak mengalami tahap larva. OMG ingatku larva itu cuma ular ularan dan hanya ada pada hewan yang mengalami metamorfosis. Jadi deh, itu anak kirim buku paket yang jadi panduannya. Alhasil aku cari di internet emang bener, ikan mengalami tahap hidup menjadi larva. Karena aku masih nggak ngeh sama larva yang dimaksud aku tanyalah ke temenku yang lulusan biologi dan sekarang sedang menempuh pendidikan S3. Katanya emang bener, ikan mengalami tahap hidup larva. Karena kata dia waktu itu ikan belum memiliki bentuk sempurna seperti induknya. Ikan masih memiliki kantung kuning telur yang jadi cadangan makanannya. Nah itu yang membuat tahapan hidupnya disebut larva, sebelum dia tumbuh jadi ikan kecil.

Akhirnya, harus deh aku minta maaf karena kesalahan penjelasan ku itu. Rasanya malu didebat sama murid, padahal biasanya kan guru pantang salah. Semalaman jadi mikir, duh jafi guru itu nggak boleh asal ngomong, harus banyak baca sumber. 

Tapi kadang kadang juga pingin nanya, kenapa bisa orang seperti aku harus jadi guru? Padahal menurut refleksi ku, aku nggak sehebat teman teman angkatanku yang mengajar. Masih banyak hal yang nggak aku tau dan bingung untuk menjelaskan. 

Pengetahuan di dunia ini luas, aku hanya nggak ingin anak - anak itu tersesat di tangan saya. 

Senin, 03 Agustus 2020

Memaki alam,  apa aku juga memaki manusia yang menghuninya? 
Memaki manusia,  apa aku juga memaki penciptanya? 
Terlalu muak aku dengan semua yang ada. 
Pada penyakit yang tak ada obatnya
Tentang benar dan salah ini semua
Terlalu mengganggu dan menyebalkan

Apakah aku sedang memaki Tuhan? 
Pada takdirnya yang telah digariskan
Karena pada saat ini aku terlampau lelah mencerna keadaan. 

Apa aku sedang memaki Tuhan? 
Aku mengeluh soal ketidaknormalan yang melelahkan

Apa aku sedang memaki Tuhan? 
Ketika kubuang kata kata penghiburan di selokan

Aku tidak ingin memaki Tuhan,  aku ingin mengutuk waktu di mana ini bermula.
Biar dia membeku seperti Malin Kundang,  menangis tak henti bagai batu menangis,  pun mematung seperti Ratu Cantik Roro Jonggrang. 
Karena meski dongeng keserakahan memang akan menghancurkan segalanya,  berkeping keping.