Pages

Sabtu, 24 Oktober 2015



Perang dan pertaruhan. Ini adalah perang ketiga dimana aku harus mulai terbiasa dengan rasa sakit dan kegagalan. Aku hanya berharap ada sayap sayap Tuhan yang akan membingkai tubuhku. Aku ingin diberi kepercayaan, kekuatan, bahwa aku bisa menaklukkan kursi kaku yang berdiri di hadapanku. Menghempaskannya hingga ke dasar yang paling tajam. Membuang huruf sialan yang mengancamku 2 kali lalu. Sebuah huruf yang menusukku dan menertawakan usahaku yang panas dan bernanah. Ya, aku ingin meminjam sayapmu malaikat, tolong engkau bilang pada tuhan, aku butuh sayap itu untuk terbang dan menghancurkan masa laluku yang berisi kemalanagan

Jumat, 23 Oktober 2015

Peluru Angelina Jolie


 
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Aku suka melihat film-film action apalagi jika melihat peran Angelina Jolie. Bagiku dia benar-benar luar biasa, bisa loncat sana, meluncur dari gedung tinggi, dan menyamar ke sarang musuh. Aku kadang membayangkan Angelina Jolie itu ada di dunia nyata. Gadis seksi, pintar, dan pemberani.
Ya, kau tahu kan, gadis seperti apa yang ada di sekeliling kita. Gadis dengan rambut hitam panjang tergerai dengan bau parfum beraneka rasa, dengan gaya anak-anak manja yang selalu menggelayut di tangan pasangannya. Gadis dengan bedak berlapis, pemulas pipi yang merona lengkap dengan eye shadow, eye liner, dan eye eye lainnya. Dan gadis dengan baju warna-warni yang menggoda mata setiap lelaki untuk menyentuhnya.
Ya, kebanyakan gadis di sekitar kita memang seperti itu kan? Aku pun juga begitu, pacar yang sudah bersamaku selama 4 bulan juga begitu. Gadis dengan suara selembut kapas berterbangan. Gadis anggun bak seorang putri kesultanan.
Ya, tentu saja aku tetap bahagia. Walaupun dia tak seperti Angelina Jolie dalam film itu, dia tetap wanita idaman lelaki masa kini. Gadis yang kelak akan menjadi ibu dan istri yang baik untuk keluarganya.
***
“Beruntung banget kamu Lim, bisa punya cewek secantik Lisa,” kata Gustaf teman baikku. Mata macannya memandangi Lisa yang kini berjalan membelakangi kami.
“Biasa aja kali lihatnya,” kataku sebal, karena Gustaf masih memandangi Lisa yang sudah menjauh dari kami.
“Halah Lim, sebelum jadi dosa juga. Katanya kan kalo lihat cewek sebelum berkedip masih dihitung rejeki Lim,” katanya.
“Nggak gitu juga kali Gus, lagian aku nggak percaya kamu tadi nggak ngedip.”
“Hehehehehe, sorry deh. Aku sadar kok kalau dia itu cewek kamu Lim.”
“Oh iya, gimana kelanjutan proyek kamu itu?”
“Proyek? Oh yang itu, beres kok, sedikit lagi selesai.”
“Aku salut sama kamu Lim, disela-sela tugas yang menumpuk, kamu masih sempet aja nyelesain proyek itu,” kata Gustaf sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Nggak usah lebay Gus, mending kita ke kelas aja sebelum telat,” ajakku pada Gustaf.
“Kamu duluan aja Lim, aku masih ada urusan.”

***
Ya, sesempurna itulah hidupku. Pacar cantik dan teman terbaik. Ya, jika aku tidak boleh menyebutkan tentang proyekku. Aku tidak ingin menyombong soal itu. Bagiku itu hanyalah proyek kecil yang jika berhasil akan mengubah sedikit demi sedikit hidupku dan tentunya orang-orang di sekelilingku.
Namun di dunia ini kekuatan positif dan negatif selalu  berdampingan. Tentu saja aku mengetahuinya. Hanya karena adanya positif dan negatif itu keseimbangan tetap terjaga. Di dalam hidupku pun juga begitu. Sesempurna apapun hidupku di mata setiap orang yang melihatku, tetap saja ada sosok yang mengintai dan menunggu kejatuhanku. Ah, sudahlah tak perlu kau tanya siapa dia? Cowok berkacamata yang selalu duduk diam tak punya teman itu memang selalu sinis padaku.
Siapa bilang aku tak menyukainya? Tentu saja aku menyukainya, dengan begitu aku tahu orang itu sedang iri denganku. Dan kau tahu, aku suka dia iri denganku, berarti aku masih jauh lebih baik darinya.
***
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Mengapa semua begitu nyata saat ini? Aku mendengar derak peluru yang dimasukkan ke dalam batang pistol, aroma darah dari mulutku dan dengan mataku yang tak bisa fokus aku melihat seleret bayangan hitam berambut panjang.
Aku menggigit bagian dalam mulut ku, menekannya sampai aku merasakan tetes darah berasa anyir memenuhi mulutku. Bekas rasa sakitnya memberi alarm padaku bahwa aku memang tidak sedang bermimpi.
Aku tertawa, tertawa tertahan, karena akhirnya aku bisa syuting film action ku sendiri dan peran pertamaku adalah menjadi seorang sandra. Benar-benar, belum apa-apa aku sudah memasuki tahap pengambilan gambar di bagian puncak. Bunyi krek di depanku memberitahuku peluru itu kini sudah terpasang rapi di pistol dan siap ditembakkan.
***
Hujan gerimis menyisir daerah stasiun kota baru. Membasahi patung-patung singa yang beberapa minggu lalu diresmikan. Di bawah guyuran hujan itu aku bisa melihat jelas Lisa yang berpayung biru sedang bicara dengan seorang laki-laki yang mengenakan mantel berwarna coklat susu.
Dari jauh, aku melihat lengkung bibir Lisa dia berikan padanya. Dan dada kiriku seakan memberontak untuk menarik Lisa ke sini, bersamaku di halte angkot yang basah ini.
“Maaf lama Mas,” katanya setelah dia kembali padaku.
“Siapa dia?” tanyaku dingin.
“Mas cemburu?”
“Nggak.”
“Lalu?”
“Ah, sudahlah, yang jelas aku tidak suka kamu senyum-senyum sama dia,” kataku terus terang. Lisa melangkah dekat denganku, napasnya yang bau mint terhembus di wajahku. Dengan mata yang sengaja kubuang darinya aku melirik, dia tersenyum padaku dan kurasakan tangan hangatnya menyentuh dan meremas jemariku.
“Hanya Mas yang ada di hatiku, percaya saja mas,” bisiknya lirih seperti gerimis yang kembali menyejukkan hari yang terpanggang terik.
***
Malam masih basah oleh hujan. Dingin yang ditinggalkan butir-butir air di udara kini mencuri jalan ke pori-pori kulitku. Mendung yang bergelayutpun tak menampakkan tandanya untuk mengurai kabut dan menampakkan bintang-bintang. Dan semakin malam, cuaca semakin muram.
Aku masih melangkahkan kaki menjejak keping-keping paving jalanan sampai sorot lampu mobil menusuk retina mataku dan memaksa tanganku menutupinya. Aku memaksa berjalan dan memekik kesal karena sepatu yang kemarin baru aku cuci masuk kubangan yang cukup dalam. Basah lumpur yang lengket dan dingin mulai meresap dan menengangkan saraf-saraf kakiku.
Aku mengumpat dalam hati pada mobil yang entah kenapa berhenti tepat di sampingku. Ingin rasanya aku menggedor kaca mobilnya dan memakinya. Ah, tapi aku bukanlah orang pendendam seperti itu, maka kuangkat kakiku pelan-pelan dengan risih tanpa mempedulikan mobil yang berhenti dengan mesin dan lampu yang menyala. Setelah itu, yang aku lihat langit hitam menelanku.
***
Aku meludahkan darah di lantai. Rasa anyir kematian bergeliat memenuhi kerongkongan mulutku. Dan aku harus memberitahu, bahwa ini bukan mimpi dan bukan pula syuting film action.
Ini nyata, dan jika engkau bisa merasakan, malaikat kematian tengah tersenyum dan melemaskan tangannya untuk mencabut nyawaku. Nyawaku? Aku menertawakan diriku, sebuah tawa yang garing dan haus.
“Halim Wicaksana,” panggilnya halus seperti hari-hari yang lalu. Hanya saja halus itu kini terdengar seperti desisan ular.
“Lisa, ke- ke- napa be be gini?”
Menghampiriku dia tersenyum, di belakang tangannya aku merasakan benda berwarna hitam siap menelan korban. Wajahnya yang ayu penuh kepalsuan itu mendekat padaku. Di sela-sela marah, benci, takut dan putus asa aku merasa bertemu Angelina Jolieku.
“Lis, kenapa lama? Apa kamu suka padanya?” tanya seseroang. Seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Tentu saja aku kenal, orang itu ada di sampingku selama 5 tahun perjalanan hidupku.
Laki-laki itu menghampiri Lisa dan mendaratkan ciuman tepat ketika Lisa menoleh padanya.
“Bagaimana Lim?” tanyanya sambil membenahi kerah baju.
“Hidup ini indahkan?”
“Gustaf,” aku memanggilnya tidak percaya.
“Ya, ya, aku ingat kamu dulu Lim, orang sombong, sok pinter dan punya pacar cantik. Dan sekarang,” Gustaf menghampiriku, “kamu bukan apa-apa Lim, dan sebentar lagi kamu akan mati,” bisiknya tepat di telingaku.
Ingin rasanya aku memukulnya dengan sisa-sisa tenagaku. Namun, untuk bergerak sajapun aku tak mampu karena tanganku telah ditalikan pada sebuah kursi yang kini tepat kududuki.
“Kenapa kamu lakukan ini Gus? Kamu sahabatku, kamu adalah tangan kananku.”
“Apa kamu bilang? Sahabat? Tangan kanan? Mungkin sebelum kamu mati dan penasaran aku harus memberitahumu satu hal, aku benci denganmu Lim, aku benci karena kamu selalu mendapat tempat pertama dan memberikan hanya tempat kedua untukku.”
“Aku, aku tidak pernah bermaksud memberimu tempat kedua Gus, itu semua usaha kita masing-masing.”
“Tentu saja kamu bisa bilang begitu karena kamu selalu berada di puncak. Tapi hanya sampai hari ini saja, dan semua hal yang kau miliki akan aku miliki sekarang.”
“Apa maksudmu Gus?”
“Proyekmu Lim, proyekmu untuk memanfaatkan lumpur lapindo menjadi tenaga alternatif akan aku jual pada orang berkulit putih, dan namaku akan tertulis sebagai penemunya.”
“Gus, kamu mau menjualnya? Gus, aku membuatnya bukan untuk dijual, aku ingin membantu negara ini.”
“Sudahlah Lim, tak usah kau berpikir tentang negerimu, yang kau ingin hanya penghargaan saja kan?”
Aku terdiam, bersitatap dengan matanya yang memandangku penuh kemenangan, sebelum menepi dan menampakkan pistol hitam dengan pelatuk siap tembak. Entahlah, mungkin benar juga yang dikatakan Gustaf, aku orang rakus, suka meremehkan, dan bangga dengan penghargaan. Tapi aku juga tahu, menjual proyekku juga bukan hukuman yang bijak untuk kesalahanku, karena aku tahu bukan aku saja yang menderita pada akhirnya.
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Peluru itu kini benar melesat ke arahku dengan kecepatan yang tak bisa kuhitung lagi menyasar tepat ke dada kiriku. Gelap. Sudah. Berakhir.

Rabu, 21 Oktober 2015

KoLoM KoSonG



Kursi ini begitu ramah untukku. Hangatnya, nyamannya terasa dipantatku. Kursi ini begitu kokoh menopang tubuhku yang sesekali melemah. Ketika aku merasa resah dan ketakutan aku akan mencengkeramnya kuat-kuat. Seakan dia kan mengatakan padaku, “tenanglah, ada aku yang akau menemanimu.” Atau ketika harapanku membuncah tumpah aku akan mengetuk-ngetuk sisinya seakan kita sedang berkomunikasi dan memberi penguatan dalam diam.
Kursi ini adalah teman terbaikku. Dia punya nyawa saat bersentuhan denganku. Dia nyanyikan aku lagu-lagu seru, saat hatiku gugup menderu. Mungkin dia jatuh cinta padaku, padaku wanita yang lemah dan pasrah.
Suatu saat, dimana kami benar-benar hanya berdua, kami bercengkerama membagi suka, meluluhkan luka. Dia membelai rambutku sesekali, menenangkan riak-riak air yang kini menyibak mataku. Kusandarkan tubuhku saat gemetar hebat merebak. Lelah tubuhku yang menyenja lamat-lamat akan terurai dengan lembut belaiannya.
Sebaris kalimat penuh harapan tercurah darinya, “tenanglah kamu akan baik-baik saja”
Bagiku kata-kata itu tak lebih hanya air mendidih di tong yang sedang berada di tungku yang menyala. Harapan itu akan menguap bersama berlalunya waktu. Meninggalkan kering dan bercak hitam mengenaskan.
Itulah aku, wanita senja menanti keputusan. Menunduk cemas, menyaruk kaki kurus ke lantai yang keras. Sembari celoteh yang menyakitkan terdengar dan lolongan orang-orang tak terima yang tak terdengarkan.
“Tenanglah, keadilan selalu datang bagi orang yang benar,” masih saja dia menyemangatiku.
“Omong kosong,” bentakku. Keadilan untukku hanya kutu di seberang lautan. Tak akan ada keadilan bagi makhluk tanpa uang. Nasibnya hanya akan terbagi jadi dua, lebur bersama angin yang mengalir dan terkubur dalam bersama nasib yang telah menyentuh hidup.
Keadilan sekarang sudah tak bernyawa lagi, atau sekarat di ranjang malas hotel bintang lama. Dia terbaring koma, entah mimpi indah atau mimpi buruk. Keadilan mengkerut bersama kasur busa yang ia tiduri, dan selimut tebal yang menyelimuti.
Keadilan tidur nyenyak, ataukah dia mati. Orang mengiba di pelataran lampu berkedip, mengharap asa dari mobil-mobil yang angkuh warna-warni. Namun, dia hanya pasrah mengamati layar suram penuh bercak.
Bagiku keadilan tak ada lagi, saat anakku menjerit aku hanya bisa menggoyang-goyangkan kakiku goyah seperti anak kecil yang tertangkap basah. Memang apa salahku? Hingga kau perlakukan aku seperti ini.
Beberapa hari yang lalu kau tampakkan wajahmu di ambang pintu rumahku. Ketika aku bersiap tidur menanti indahnya mimpi. Memang apa yang bisa diharapkan orang sepertiku. Hanya mimpikan?
“Mengapa engkau datang hari itu?” ingin kutanya padamu. Mengapa engkau datang hari itu, menembakkan bias-bias lampu yang menyakiti mataku. Aku hanya ingin tidur hari itu.
Kubuka mataku yang lemah hari itu. Ku dengarkan ocehan harap yang keluar dari mulutmu. Katamu, kau akan datang membelaku hari ini, katamu semua akan baik saja jika kau ada di sampingku.
Kutanya padamu hari itu, “benar kau akan datang? Benar kau akan membelaku? Benar kau akan berteriak lantang?”
Kau jawab hari itu dengan penuh keyakinan, “aku pasti datang.” Ku sambut jawabanmu itu dengan isak tangis kebahagiaan, kupeluk kau dengan sisa-sisa tenagaku. Aku pikir kau akan benar-benar memberikan harapan. Nyatanya itu hanya puisi-puisi, kolom-kolom kata yang usang.