Pages

Rabu, 02 Desember 2015

Teruntuk keluargaku



Batu, 29 November 2015
Matahari sedangn berterik dari lubang pintu tempat aku duduk. Melelehkan sedan biru ketuaan yang tak diberi tempat berteduh. Bukan berarti denganku, bukan berarti dengan teman-temanku. Minggu siang ini kegiatan terakhir diklat MP3 dilakukan. Pembuatan mading. Aku senang berada dan duudk di lingkaran mereka. Seperti janji wanita 5 musim tempo hari, di mataku mereka jadi warna-warna pelangi yang menyempurnakan. Jujur aku tiak hafal nama-nama mereka. Yang aku tahu orang-orang anyar ini punya karakter dan sifat yang berbeda. Aku melihat beberapa orang bermata elang. Aku harap  mtanya setajam cakarnya untuk menangkap hujan pengetahuan yang akan kami cari dan tuai bersama. Aku melihat beberapa kaum pemikir yang diam. Aku berharap pemikian mereka dapat dituangkan untuk kebermanfaatan. Aku melihat beberapa orang polos dan lugu serta haus akan bimbingan. Aku harap mereka bersabar dengan proses yang akan dijalani. Bahwa perjuangan itu seperti jalanan aspal. Yang terlihat mulus namun tetap digaduhi gelombang dan kerikil. Aku juga melihat beberapa orang dengan pikiran-pikiran kreatif. Aku berharap kreativitas itu dapat ditularkan dan jadi virus pembaharuan.
https://scontent-sin1-1.xx.fbcdn.net/hphotos-xpf1/v/t1.0-9/12316593_390131341195993_1494583935520016194_n.jpg?oh=a9cc8d151b52d3045387957515fb6fb3&oe=56EEE51AAku berharap kami yang dahulu lentera-lentara yang hampir padam tertiup angin kencang untuk menaiki tujuan, kini akan punya lentera-lentara lain yang mengobarkan. Biar kami terbakar dan melesat tanpa batasan.
Teruntuk keluarga baruku, aku tak bisa menjajikan apa -apa padamu, kecuali perjuangan tanpa akhir dengan cinta, komitmen dan kesetiaan. Tetaplah berkarya, tetaplah menulis, karena itu yang akan menyalakan kita dalam sejarah hari ini, esok atau sampai kapanpun. Terima kasih sudah mempercayai kami dan bergabung dengan kami.
DIKLAT MP3 ke-10
Terik matahari mengakhiri kisah dua hari, tapi mengawali kisah hari-hari yang akan datang

Kamis, 12 November 2015

"Haruskah Seperti Ini?"



Saya mulai bertanya, akankah daun yang kuncup dan kini hijau akan gugur di musim hujan tanpa alasan. Ya mungkin bukan berarti tanpa alasan, daun itu mungkin tidak mampu menampung air hujan yang meluap tiba-tiba di tangkainya. Hanya saja akankah dia harus gugur meski masih hijau, haruskah dia lepas dari pohon yang membuatnya hidup selama ini. "kamu jangan gugur daun," nasehatku di bawah kilat petir. Daun hanya tersenyum dan berkata, "aku sudah lelah bertahan, dan aku takut meracuni tangkaiku yang subur lewat keraguan yang kumiliki. Mungkin lepas dan hanyut bersama hujan bulan november akan lebih menyelamatkan tangkaiku. Dan biarkan saja aku hanyut di hilir tanpa nama. Doakan saja aku terlahir di tangkai yang punya penawar racunku, oh, iya sampaikan pada tangkaiku ucapan selamat tinggal, aku tak berani mengatakan padanya jika aku pergi bersama mendung yang luruh sore ini. Sampaikan juga terima kasih  karena telah mengijinkan aku yang berbeda untuk menempel padanya" saya bukan tidak ingin memahami ucapannya barusan, saya hanya ingin daun itu tetap bertahan, "kamu tidak akan punya tempat untuk pulang daun, dia rumahmu," sudutku berharap dia berubah pikiran. "pilihanku prinsipku, dan aku percaya tuhan punya banyak rumah untuk disinggahi." aku menarik napas panjang, ingin menyusun kalimat. Saat itu petir terakhir menyentak dan detik kemudian aku tak melihat daun itu ditangkainya. "haruskah seperti ini?" aku terus bertanya.

Rabu, 11 November 2015

CURCOL (Makna Puisi Chairil Anwar Buatku)



Ini salah satu puisi yang di musikalisasikan teman-teman kuliah semester lalu. Puisi karya Chairil Anwar berjudul Cintaku Jauh di Pulau ini entah kenapa selalu terputar menemani hari-hari penuh tugasku. Dan bagiku ini makna puisi itu.
 
CINTA KU JAUH DI PULAU
Kakak itu jauh dariku, satu almamater yang dipisahkan jalanan aspal yang panjang dan waktu tempuh menitan
GADIS MANIS SEKARANG ISENG SENDIRI
Kakak itu, aku melihatnya asyik dengan dunianya sendiri, tidak tahu aku orang yang selalu memperhatikannya dari jauh
PERAHU MELANCAR BULAN MEMANCAR
Kakak itu tidak tahu, tidak seperti hari kemarin atau satu jam yang lalu, langit sore ini terang menghapus hujan november yang datang
DILEHER KUKALUNGKAN OLEH-OLEH BUAT SI PACAR
Kakak itu tidak tahu, ada harapan yang aku bawa di setiap gas yang kukejar untuknya
ANGIN MEMBANTU LAUT TERANG
Kakak itu tidak tahu, bahkan cuaca membantuku untuk menghalau mendung yang usil mengintip
TAPI TERASA AKU TIDAKKAN SAMPAI PADANYA
Namun, di perjalananku ini aku merasa begitu tertekan. Ada bagian dari diriku yang mengatakan bahwa kakak itu terlalu jauh untukku. Kakak yang dengan paras rupawan, pemikiran rupawan, dan perilaku rupawan, apakah bisa sedikit menengok aku, kurcaci kecil yang nakal
DI AIR YANG TENANG
Ah, aku memikirkannya bersama laju gas membelah jalanan yang tiba-tiba lengang
DI ANGIN MENDAYU
Ah, aku memikirkannya bersama lampu merah yang selalu berubah hijau memberiku jalan
DI PERASAAN PENGHABISAN SEGALA MELAJU
Apakah ini akhirnya kakak?
AJAL BERTAHTA SAMBIL BERKATA
Aku merasa kehabisan waktu untuk mengejarmu, dan kakak semakin naik ke puncak, sedang aku masih di sini
TUJUKAN PERAHU KE PANGKUAN SAJA
Semester inipun akan berakhir dan aku..... sama sekali belum menjabat tanganmu. Aku seperti dipaksa untuk menyingkir Kak
AMBOI AMBOI
Apakah cukup sampai di sini?
JALAN SUDAH BERTAHUN KU TEMPUH
Ya kakak, memang sudah satu semester aku melihatmu dari jauh. Menatapmu diam-diam yang duduk ngobrol, menatapmu yang lagi tertawa, atau menatapmu memainkan dentingan gitar.
PERAHU YANG BERSAMA KAN MERAPUH
Dan aku merasa kehabisan tenaga untuk mengunjungimu di tempat yang berbeda itu
MENGAPA AJAL MEMANGGIL DULU
Dan aku tahu, sepertinya waktu habis dengan masa kuliah yang tinggal 3 minggu lagi
SEBELUM SEMPAT BERPELUK SEMPAT BERPELUK DENGAN CINTAKU
Padahal aku belum bisa membuat kakak mengenali dan mengingatku
MANISKU JAUH DI PULAU
Ya, kakak aku berharap setidaknya engkau akan membatin tentang kehadiran yang tak kau kenal ini.
KALAU KU MATI
Semisal pun aku tak kembali mengunjungimu sesering dulu
DIA MATI ISENG SENDIRI
Engkau akan merasa ada yang hilang dan bertanya-tanya. Itu saja sudah membuatku bahagia saat ini

Malang, 10 November 2015

Sabtu, 24 Oktober 2015



Perang dan pertaruhan. Ini adalah perang ketiga dimana aku harus mulai terbiasa dengan rasa sakit dan kegagalan. Aku hanya berharap ada sayap sayap Tuhan yang akan membingkai tubuhku. Aku ingin diberi kepercayaan, kekuatan, bahwa aku bisa menaklukkan kursi kaku yang berdiri di hadapanku. Menghempaskannya hingga ke dasar yang paling tajam. Membuang huruf sialan yang mengancamku 2 kali lalu. Sebuah huruf yang menusukku dan menertawakan usahaku yang panas dan bernanah. Ya, aku ingin meminjam sayapmu malaikat, tolong engkau bilang pada tuhan, aku butuh sayap itu untuk terbang dan menghancurkan masa laluku yang berisi kemalanagan

Jumat, 23 Oktober 2015

Peluru Angelina Jolie


 
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Aku suka melihat film-film action apalagi jika melihat peran Angelina Jolie. Bagiku dia benar-benar luar biasa, bisa loncat sana, meluncur dari gedung tinggi, dan menyamar ke sarang musuh. Aku kadang membayangkan Angelina Jolie itu ada di dunia nyata. Gadis seksi, pintar, dan pemberani.
Ya, kau tahu kan, gadis seperti apa yang ada di sekeliling kita. Gadis dengan rambut hitam panjang tergerai dengan bau parfum beraneka rasa, dengan gaya anak-anak manja yang selalu menggelayut di tangan pasangannya. Gadis dengan bedak berlapis, pemulas pipi yang merona lengkap dengan eye shadow, eye liner, dan eye eye lainnya. Dan gadis dengan baju warna-warni yang menggoda mata setiap lelaki untuk menyentuhnya.
Ya, kebanyakan gadis di sekitar kita memang seperti itu kan? Aku pun juga begitu, pacar yang sudah bersamaku selama 4 bulan juga begitu. Gadis dengan suara selembut kapas berterbangan. Gadis anggun bak seorang putri kesultanan.
Ya, tentu saja aku tetap bahagia. Walaupun dia tak seperti Angelina Jolie dalam film itu, dia tetap wanita idaman lelaki masa kini. Gadis yang kelak akan menjadi ibu dan istri yang baik untuk keluarganya.
***
“Beruntung banget kamu Lim, bisa punya cewek secantik Lisa,” kata Gustaf teman baikku. Mata macannya memandangi Lisa yang kini berjalan membelakangi kami.
“Biasa aja kali lihatnya,” kataku sebal, karena Gustaf masih memandangi Lisa yang sudah menjauh dari kami.
“Halah Lim, sebelum jadi dosa juga. Katanya kan kalo lihat cewek sebelum berkedip masih dihitung rejeki Lim,” katanya.
“Nggak gitu juga kali Gus, lagian aku nggak percaya kamu tadi nggak ngedip.”
“Hehehehehe, sorry deh. Aku sadar kok kalau dia itu cewek kamu Lim.”
“Oh iya, gimana kelanjutan proyek kamu itu?”
“Proyek? Oh yang itu, beres kok, sedikit lagi selesai.”
“Aku salut sama kamu Lim, disela-sela tugas yang menumpuk, kamu masih sempet aja nyelesain proyek itu,” kata Gustaf sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Nggak usah lebay Gus, mending kita ke kelas aja sebelum telat,” ajakku pada Gustaf.
“Kamu duluan aja Lim, aku masih ada urusan.”

***
Ya, sesempurna itulah hidupku. Pacar cantik dan teman terbaik. Ya, jika aku tidak boleh menyebutkan tentang proyekku. Aku tidak ingin menyombong soal itu. Bagiku itu hanyalah proyek kecil yang jika berhasil akan mengubah sedikit demi sedikit hidupku dan tentunya orang-orang di sekelilingku.
Namun di dunia ini kekuatan positif dan negatif selalu  berdampingan. Tentu saja aku mengetahuinya. Hanya karena adanya positif dan negatif itu keseimbangan tetap terjaga. Di dalam hidupku pun juga begitu. Sesempurna apapun hidupku di mata setiap orang yang melihatku, tetap saja ada sosok yang mengintai dan menunggu kejatuhanku. Ah, sudahlah tak perlu kau tanya siapa dia? Cowok berkacamata yang selalu duduk diam tak punya teman itu memang selalu sinis padaku.
Siapa bilang aku tak menyukainya? Tentu saja aku menyukainya, dengan begitu aku tahu orang itu sedang iri denganku. Dan kau tahu, aku suka dia iri denganku, berarti aku masih jauh lebih baik darinya.
***
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Mengapa semua begitu nyata saat ini? Aku mendengar derak peluru yang dimasukkan ke dalam batang pistol, aroma darah dari mulutku dan dengan mataku yang tak bisa fokus aku melihat seleret bayangan hitam berambut panjang.
Aku menggigit bagian dalam mulut ku, menekannya sampai aku merasakan tetes darah berasa anyir memenuhi mulutku. Bekas rasa sakitnya memberi alarm padaku bahwa aku memang tidak sedang bermimpi.
Aku tertawa, tertawa tertahan, karena akhirnya aku bisa syuting film action ku sendiri dan peran pertamaku adalah menjadi seorang sandra. Benar-benar, belum apa-apa aku sudah memasuki tahap pengambilan gambar di bagian puncak. Bunyi krek di depanku memberitahuku peluru itu kini sudah terpasang rapi di pistol dan siap ditembakkan.
***
Hujan gerimis menyisir daerah stasiun kota baru. Membasahi patung-patung singa yang beberapa minggu lalu diresmikan. Di bawah guyuran hujan itu aku bisa melihat jelas Lisa yang berpayung biru sedang bicara dengan seorang laki-laki yang mengenakan mantel berwarna coklat susu.
Dari jauh, aku melihat lengkung bibir Lisa dia berikan padanya. Dan dada kiriku seakan memberontak untuk menarik Lisa ke sini, bersamaku di halte angkot yang basah ini.
“Maaf lama Mas,” katanya setelah dia kembali padaku.
“Siapa dia?” tanyaku dingin.
“Mas cemburu?”
“Nggak.”
“Lalu?”
“Ah, sudahlah, yang jelas aku tidak suka kamu senyum-senyum sama dia,” kataku terus terang. Lisa melangkah dekat denganku, napasnya yang bau mint terhembus di wajahku. Dengan mata yang sengaja kubuang darinya aku melirik, dia tersenyum padaku dan kurasakan tangan hangatnya menyentuh dan meremas jemariku.
“Hanya Mas yang ada di hatiku, percaya saja mas,” bisiknya lirih seperti gerimis yang kembali menyejukkan hari yang terpanggang terik.
***
Malam masih basah oleh hujan. Dingin yang ditinggalkan butir-butir air di udara kini mencuri jalan ke pori-pori kulitku. Mendung yang bergelayutpun tak menampakkan tandanya untuk mengurai kabut dan menampakkan bintang-bintang. Dan semakin malam, cuaca semakin muram.
Aku masih melangkahkan kaki menjejak keping-keping paving jalanan sampai sorot lampu mobil menusuk retina mataku dan memaksa tanganku menutupinya. Aku memaksa berjalan dan memekik kesal karena sepatu yang kemarin baru aku cuci masuk kubangan yang cukup dalam. Basah lumpur yang lengket dan dingin mulai meresap dan menengangkan saraf-saraf kakiku.
Aku mengumpat dalam hati pada mobil yang entah kenapa berhenti tepat di sampingku. Ingin rasanya aku menggedor kaca mobilnya dan memakinya. Ah, tapi aku bukanlah orang pendendam seperti itu, maka kuangkat kakiku pelan-pelan dengan risih tanpa mempedulikan mobil yang berhenti dengan mesin dan lampu yang menyala. Setelah itu, yang aku lihat langit hitam menelanku.
***
Aku meludahkan darah di lantai. Rasa anyir kematian bergeliat memenuhi kerongkongan mulutku. Dan aku harus memberitahu, bahwa ini bukan mimpi dan bukan pula syuting film action.
Ini nyata, dan jika engkau bisa merasakan, malaikat kematian tengah tersenyum dan melemaskan tangannya untuk mencabut nyawaku. Nyawaku? Aku menertawakan diriku, sebuah tawa yang garing dan haus.
“Halim Wicaksana,” panggilnya halus seperti hari-hari yang lalu. Hanya saja halus itu kini terdengar seperti desisan ular.
“Lisa, ke- ke- napa be be gini?”
Menghampiriku dia tersenyum, di belakang tangannya aku merasakan benda berwarna hitam siap menelan korban. Wajahnya yang ayu penuh kepalsuan itu mendekat padaku. Di sela-sela marah, benci, takut dan putus asa aku merasa bertemu Angelina Jolieku.
“Lis, kenapa lama? Apa kamu suka padanya?” tanya seseroang. Seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Tentu saja aku kenal, orang itu ada di sampingku selama 5 tahun perjalanan hidupku.
Laki-laki itu menghampiri Lisa dan mendaratkan ciuman tepat ketika Lisa menoleh padanya.
“Bagaimana Lim?” tanyanya sambil membenahi kerah baju.
“Hidup ini indahkan?”
“Gustaf,” aku memanggilnya tidak percaya.
“Ya, ya, aku ingat kamu dulu Lim, orang sombong, sok pinter dan punya pacar cantik. Dan sekarang,” Gustaf menghampiriku, “kamu bukan apa-apa Lim, dan sebentar lagi kamu akan mati,” bisiknya tepat di telingaku.
Ingin rasanya aku memukulnya dengan sisa-sisa tenagaku. Namun, untuk bergerak sajapun aku tak mampu karena tanganku telah ditalikan pada sebuah kursi yang kini tepat kududuki.
“Kenapa kamu lakukan ini Gus? Kamu sahabatku, kamu adalah tangan kananku.”
“Apa kamu bilang? Sahabat? Tangan kanan? Mungkin sebelum kamu mati dan penasaran aku harus memberitahumu satu hal, aku benci denganmu Lim, aku benci karena kamu selalu mendapat tempat pertama dan memberikan hanya tempat kedua untukku.”
“Aku, aku tidak pernah bermaksud memberimu tempat kedua Gus, itu semua usaha kita masing-masing.”
“Tentu saja kamu bisa bilang begitu karena kamu selalu berada di puncak. Tapi hanya sampai hari ini saja, dan semua hal yang kau miliki akan aku miliki sekarang.”
“Apa maksudmu Gus?”
“Proyekmu Lim, proyekmu untuk memanfaatkan lumpur lapindo menjadi tenaga alternatif akan aku jual pada orang berkulit putih, dan namaku akan tertulis sebagai penemunya.”
“Gus, kamu mau menjualnya? Gus, aku membuatnya bukan untuk dijual, aku ingin membantu negara ini.”
“Sudahlah Lim, tak usah kau berpikir tentang negerimu, yang kau ingin hanya penghargaan saja kan?”
Aku terdiam, bersitatap dengan matanya yang memandangku penuh kemenangan, sebelum menepi dan menampakkan pistol hitam dengan pelatuk siap tembak. Entahlah, mungkin benar juga yang dikatakan Gustaf, aku orang rakus, suka meremehkan, dan bangga dengan penghargaan. Tapi aku juga tahu, menjual proyekku juga bukan hukuman yang bijak untuk kesalahanku, karena aku tahu bukan aku saja yang menderita pada akhirnya.
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna malam, dan aroma darah. Peluru itu kini benar melesat ke arahku dengan kecepatan yang tak bisa kuhitung lagi menyasar tepat ke dada kiriku. Gelap. Sudah. Berakhir.