Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna
malam, dan aroma darah. Aku suka melihat film-film action apalagi jika melihat peran Angelina Jolie. Bagiku dia benar-benar
luar biasa, bisa loncat sana, meluncur dari gedung tinggi, dan menyamar ke
sarang musuh. Aku kadang membayangkan Angelina Jolie itu ada di dunia nyata.
Gadis seksi, pintar, dan pemberani.
Ya, kau tahu kan, gadis seperti apa yang ada di
sekeliling kita. Gadis dengan rambut hitam panjang tergerai dengan bau parfum
beraneka rasa, dengan gaya anak-anak manja yang selalu menggelayut di tangan
pasangannya. Gadis dengan bedak berlapis, pemulas pipi yang merona lengkap
dengan eye shadow, eye liner, dan eye
eye lainnya. Dan gadis dengan baju warna-warni yang menggoda mata setiap lelaki
untuk menyentuhnya.
Ya, kebanyakan gadis di sekitar kita memang seperti
itu kan? Aku pun juga begitu, pacar yang sudah bersamaku selama 4 bulan juga
begitu. Gadis dengan suara selembut kapas berterbangan. Gadis anggun bak
seorang putri kesultanan.
Ya, tentu saja aku tetap bahagia. Walaupun dia tak
seperti Angelina Jolie dalam film itu, dia tetap wanita idaman lelaki masa
kini. Gadis yang kelak akan menjadi ibu dan istri yang baik untuk keluarganya.
***
“Beruntung banget kamu Lim, bisa punya cewek
secantik Lisa,” kata Gustaf teman baikku. Mata macannya memandangi Lisa yang
kini berjalan membelakangi kami.
“Biasa aja kali lihatnya,” kataku sebal, karena
Gustaf masih memandangi Lisa yang sudah menjauh dari kami.
“Halah Lim, sebelum jadi dosa juga. Katanya kan kalo
lihat cewek sebelum berkedip masih dihitung rejeki Lim,” katanya.
“Nggak gitu juga kali Gus, lagian aku nggak percaya
kamu tadi nggak ngedip.”
“Hehehehehe, sorry deh. Aku sadar kok kalau dia itu
cewek kamu Lim.”
“Oh iya, gimana kelanjutan proyek kamu itu?”
“Proyek? Oh yang itu, beres kok, sedikit lagi
selesai.”
“Aku salut sama kamu Lim, disela-sela tugas yang menumpuk,
kamu masih sempet aja nyelesain proyek itu,” kata Gustaf sambil menepuk-nepuk
bahuku.
“Nggak usah lebay Gus, mending kita ke kelas aja
sebelum telat,” ajakku pada Gustaf.
“Kamu duluan aja Lim, aku masih ada urusan.”
***
Ya, sesempurna itulah hidupku. Pacar cantik dan
teman terbaik. Ya, jika aku tidak boleh menyebutkan tentang proyekku. Aku tidak
ingin menyombong soal itu. Bagiku itu hanyalah proyek kecil yang jika berhasil
akan mengubah sedikit demi sedikit hidupku dan tentunya orang-orang di
sekelilingku.
Namun di dunia ini kekuatan positif dan negatif
selalu berdampingan. Tentu saja aku
mengetahuinya. Hanya karena adanya positif dan negatif itu keseimbangan tetap
terjaga. Di dalam hidupku pun juga begitu. Sesempurna apapun hidupku di mata
setiap orang yang melihatku, tetap saja ada sosok yang mengintai dan menunggu
kejatuhanku. Ah, sudahlah tak perlu kau tanya siapa dia? Cowok berkacamata yang
selalu duduk diam tak punya teman itu memang selalu sinis padaku.
Siapa bilang aku tak menyukainya? Tentu saja aku
menyukainya, dengan begitu aku tahu orang itu sedang iri denganku. Dan kau
tahu, aku suka dia iri denganku, berarti aku masih jauh lebih baik darinya.
***
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna
malam, dan aroma darah. Mengapa semua begitu nyata saat ini? Aku mendengar
derak peluru yang dimasukkan ke dalam batang pistol, aroma darah dari mulutku
dan dengan mataku yang tak bisa fokus aku melihat seleret bayangan hitam
berambut panjang.
Aku menggigit bagian dalam mulut ku, menekannya
sampai aku merasakan tetes darah berasa anyir memenuhi mulutku. Bekas rasa
sakitnya memberi alarm padaku bahwa aku memang tidak sedang bermimpi.
Aku tertawa, tertawa tertahan, karena akhirnya aku
bisa syuting film action ku sendiri dan peran pertamaku adalah menjadi seorang
sandra. Benar-benar, belum apa-apa aku sudah memasuki tahap pengambilan gambar
di bagian puncak. Bunyi krek di depanku memberitahuku peluru itu kini sudah
terpasang rapi di pistol dan siap ditembakkan.
***
Hujan gerimis menyisir daerah stasiun kota baru.
Membasahi patung-patung singa yang beberapa minggu lalu diresmikan. Di bawah
guyuran hujan itu aku bisa melihat jelas Lisa yang berpayung biru sedang bicara
dengan seorang laki-laki yang mengenakan mantel berwarna coklat susu.
Dari jauh, aku melihat lengkung bibir Lisa dia berikan
padanya. Dan dada kiriku seakan memberontak untuk menarik Lisa ke sini,
bersamaku di halte angkot yang basah ini.
“Maaf lama Mas,” katanya setelah dia kembali padaku.
“Siapa dia?” tanyaku dingin.
“Mas cemburu?”
“Nggak.”
“Lalu?”
“Ah, sudahlah, yang jelas aku tidak suka kamu
senyum-senyum sama dia,” kataku terus terang. Lisa melangkah dekat denganku,
napasnya yang bau mint terhembus di wajahku. Dengan mata yang sengaja kubuang
darinya aku melirik, dia tersenyum padaku dan kurasakan tangan hangatnya menyentuh
dan meremas jemariku.
“Hanya Mas yang ada di hatiku, percaya saja mas,”
bisiknya lirih seperti gerimis yang kembali menyejukkan hari yang terpanggang
terik.
***
Malam masih basah oleh hujan. Dingin yang
ditinggalkan butir-butir air di udara kini mencuri jalan ke pori-pori kulitku.
Mendung yang bergelayutpun tak menampakkan tandanya untuk mengurai kabut dan
menampakkan bintang-bintang. Dan semakin malam, cuaca semakin muram.
Aku masih melangkahkan kaki menjejak keping-keping
paving jalanan sampai sorot lampu mobil menusuk retina mataku dan memaksa
tanganku menutupinya. Aku memaksa berjalan dan memekik kesal karena sepatu yang
kemarin baru aku cuci masuk kubangan yang cukup dalam. Basah lumpur yang
lengket dan dingin mulai meresap dan menengangkan saraf-saraf kakiku.
Aku mengumpat dalam hati pada mobil yang entah
kenapa berhenti tepat di sampingku. Ingin rasanya aku menggedor kaca mobilnya
dan memakinya. Ah, tapi aku bukanlah orang pendendam seperti itu, maka kuangkat
kakiku pelan-pelan dengan risih tanpa mempedulikan mobil yang berhenti dengan
mesin dan lampu yang menyala. Setelah itu, yang aku lihat langit hitam
menelanku.
***
Aku meludahkan darah di lantai. Rasa anyir kematian
bergeliat memenuhi kerongkongan mulutku. Dan aku harus memberitahu, bahwa ini
bukan mimpi dan bukan pula syuting film action.
Ini nyata, dan jika engkau bisa merasakan, malaikat
kematian tengah tersenyum dan melemaskan tangannya untuk mencabut nyawaku.
Nyawaku? Aku menertawakan diriku, sebuah tawa yang garing dan haus.
“Halim Wicaksana,” panggilnya halus seperti
hari-hari yang lalu. Hanya saja halus itu kini terdengar seperti desisan ular.
“Lisa, ke- ke- napa be be gini?”
Menghampiriku dia tersenyum, di belakang tangannya
aku merasakan benda berwarna hitam siap menelan korban. Wajahnya yang ayu penuh
kepalsuan itu mendekat padaku. Di sela-sela marah, benci, takut dan putus asa
aku merasa bertemu Angelina Jolieku.
“Lis, kenapa lama? Apa kamu suka padanya?” tanya
seseroang. Seseorang yang suaranya sangat aku kenal. Tentu saja aku kenal,
orang itu ada di sampingku selama 5 tahun perjalanan hidupku.
Laki-laki itu menghampiri Lisa dan mendaratkan
ciuman tepat ketika Lisa menoleh padanya.
“Bagaimana Lim?” tanyanya sambil membenahi kerah
baju.
“Hidup ini indahkan?”
“Gustaf,” aku memanggilnya tidak percaya.
“Ya, ya, aku ingat kamu dulu Lim, orang sombong, sok
pinter dan punya pacar cantik. Dan sekarang,” Gustaf menghampiriku, “kamu bukan
apa-apa Lim, dan sebentar lagi kamu akan mati,” bisiknya tepat di telingaku.
Ingin rasanya aku memukulnya dengan sisa-sisa
tenagaku. Namun, untuk bergerak sajapun aku tak mampu karena tanganku telah ditalikan
pada sebuah kursi yang kini tepat kududuki.
“Kenapa kamu lakukan ini Gus? Kamu sahabatku, kamu
adalah tangan kananku.”
“Apa kamu bilang? Sahabat? Tangan kanan? Mungkin
sebelum kamu mati dan penasaran aku harus memberitahumu satu hal, aku benci
denganmu Lim, aku benci karena kamu selalu mendapat tempat pertama dan
memberikan hanya tempat kedua untukku.”
“Aku, aku tidak pernah bermaksud memberimu tempat
kedua Gus, itu semua usaha kita masing-masing.”
“Tentu saja kamu bisa bilang begitu karena kamu
selalu berada di puncak. Tapi hanya sampai hari ini saja, dan semua hal yang
kau miliki akan aku miliki sekarang.”
“Apa maksudmu Gus?”
“Proyekmu Lim, proyekmu untuk memanfaatkan lumpur
lapindo menjadi tenaga alternatif akan aku jual pada orang berkulit putih, dan
namaku akan tertulis sebagai penemunya.”
“Gus, kamu mau menjualnya? Gus, aku membuatnya bukan
untuk dijual, aku ingin membantu negara ini.”
“Sudahlah Lim, tak usah kau berpikir tentang
negerimu, yang kau ingin hanya penghargaan saja kan?”
Aku terdiam, bersitatap dengan matanya yang
memandangku penuh kemenangan, sebelum menepi dan menampakkan pistol hitam
dengan pelatuk siap tembak. Entahlah, mungkin benar juga yang dikatakan Gustaf,
aku orang rakus, suka meremehkan, dan bangga dengan penghargaan. Tapi aku juga
tahu, menjual proyekku juga bukan hukuman yang bijak untuk kesalahanku, karena
aku tahu bukan aku saja yang menderita pada akhirnya.
Peluru, pistol, wanita berbaju kulit ketat sewarna
malam, dan aroma darah. Peluru itu kini benar melesat ke arahku dengan
kecepatan yang tak bisa kuhitung lagi menyasar tepat ke dada kiriku. Gelap.
Sudah. Berakhir.