Udara
dingin perbukitan menerpa anak rambut yang usil menggelitiki dahi.
Berkibar-kibar senada dengan gerak awan ke arah timur, bercampur dengan
kawan-kawannya, bercengkerama membentuk mendung yang semakin lama semakin
menggelap. Jam 7 pagi waktu indonesia tengah. Suasana cukup terang untuk
memandang gunung Lokon di sebelah barat tempatku berdiri dari tepi jalan Tondano-Tomohon.
Di seberang jalan dari rumah kayu berwarna coklat renyah itu aku menghela nafas
begitu dalam. “Nyatanya cukup jauh aku berlari, cukup jauh aku menghindari
masalah yang menerpa pori-pori hatiku yang ingin aku sembuhkan dan rapatkan
kembali,”
Aku
duduk di trotoar jalan, tak peduli dengan tatapan orang yang penuh tanya,
“sedang apa dia duduk di sana?” mungkin begitu tanyanya. Aku tak peduli pada
mereka yang melihatku sambil berbisik-bisik, aku sudah lelah berdiri dan aku
butuh untuk duduk, tetapi aku tidak ingin kembali ke pemondokan, mengurung diri
dalam kamar berukuran 4x4 meter menghadirkan kenangan itu kembali ke atas memoriku.
Aku sudah terlalu jauh berlari.
Kembali
lagi ke trotoar. Awan masih belum tuntas arak-arakannya dan gunung Lokon juga
masih hijau, diam, dan menjulang tinggi menampilkan siluet seperti sebuah
gunungan lumut yang di tumbuhi jamur-jamur rumah di lereng gunungnya. “Ya,
seperti itulah perasaanku, hijau, subur, besar, dan diam. Dan saking lamanya
perasaan itu dipendam dia jadi berlumut. Perasaan besar yang berlumut, apakah
kamu pernah sesekali menengok perasaan berlumut ini? Nyatanya aku gunung Lokon[1] yang tetap diam menyimpan
kisahnya sendiri sambil mengamatimu yang lalu lalang pergi ke kampus, membeli
bahan makanan, dan sholat jum’at seminggu sekali.”
Angkot
warna biru muda hilir mudik di hadapanku. Kamu tahu? seperti angkot di kota
kita yang diberi nama line, di sini
kamu akan mengenalnya dengan nama otto. Angkotnya
sama berwarna biru, bentuknya juga sama, hanya tempat duduknya yang berbeda.
Jika di kota kita kamu akan duduk di kursi-kursi yang di letakkan memanjang di
tepi jendela, di sini kamu akan menemui angkot dengan susunan tempat duduk sama
seperti susunan tempat duduk pada mobil. Di bagian depan ada kursi sopir dan
kursi penumpang, di belakangnya ada tiga deret tempat duduk dengan kapasitas 8
orang. Sama bukan dengan di kota kita?
Otto akan
mengantarkanmu ke tempat yang kamu mau, jauh dekat ongkosnya sama saja. Namun, otto yang ada di depan pemondokanku
hanya dapat mengantarmu ke kota Tondano dan Tomohon yang sekarang aku tinggali.
Naik saja, tapi jangan sesekali bilang “kiri” pada supirnya ketika kamu ingin
turun dari otto. Dia tak akan
mengerti, di kota ini jika kamu ingin berhenti kamu bisa mengatakan “stop” saja
atau “muka”. Tapi apa pentingnya itu sekarang, kiri, muka, ataupun stop tak
berlaku lagi bagiku. Semuanya terus berjalan, semuanya tak bisa berhenti, dan
kata apapun yang aku sugestikan untuk bisa melupakanmu nyatanya hanya
omong kosong dan tak memiliki arti.
Seperti om supir angkot yang tak paham maksud “kiri”, hatiku sendiri juga tak
paham kode untuk berhenti.
“Hei,”
sapa seseorang mengalihkan lamunanku. Tanpa mempedulikan wajah kusutku dia
duduk di sampingku, memandangi arak-arakan awan di belakang pemondokan Prof. Heydemans.
“Kusut
sekali?” tanyanya singkat padaku, “ada masalahkah?” tanyanya dengan logat
Manado yang cukup kental. Aku tak menjawab hanya menghela nafas saja. Tak ingin
membagi cerita pada orang yang baru aku kenal.
“Saya
akan dengar cerita dari ngana[2],
ya setidaknya jika saya tak bisa kasih solusi untuk ngana, beban ngana jadi
lebih ringan setelah cerita”
Aku
masih diam.
“Coba
saya tebak, ngana putus cintakah?”
“Boro-boro
putus cinta Ga, pernah jadian saja nggak,” kataku akhirnya.
“Tapi
wajah ngana kusut sekali, seperti
orang lagi patah hati saja,” tanya Erga.
“Entahlah,
apa aku berhak untuk patah hati, sedang perasaan ini hanya aku simpan sendiri,
dia tak salah to jika tak tahu?”
“Ya
kenapa ngana tak katakan saja?”
“Aku
nggak mau merusak pertemanan kami Ga, lagian apa gunanya mengatakan itu
sekarang, satu bulan lagi dia akan menikah dengan panaseanya”
“Siapa
itu panasea?”
“Ya,
anggap saja gadis pujannya,”
“Its complicated Ris,” kata Erga. “Emmmm,
saya ada tempat bagus untuk ngana “
katanya setelah cukup lama. Tangannya lalu gesit menarik lengan tanganku.
Langkahnya tiba-tiba menarikku mendatangi bendi[3]
mengatakan tujuan yang tak aku mengerti dan mengajakku untuk naik di atas
keretanya.
“Kita
mau kemana Ga?” tanyaku bingung. “Sudahlah ngana
akan baik saja jika sama saya, saya jamin itu,” kata Erga. Bendi semakin
kencang, bunyinya yang tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk mengingatkanku pada
lagu masa kecil “Pada Hari Minggu”. Masih ingatkah kamu?
“Hei
Ris, janganlah murung terus, ngana tak
maukah lihat indahnya ini kota? Ini Tomohon Ris, Sulawesi, bukan Jawa lagi. Tak
maukah ngana abadikan keindahan-keindahan
ini?” kata Erga membuatku bicara. “Om, lihat dia om, wajahnya muram saja bagai
mendung, jangan-jangan setelah ini Tomohon hujan gara-gara dia,” canda Erga
pada Om Kusir. Erga menatapku, merasa gagal karena tak dapat membuatku tertawa
atau bicara. Sayangnya Erga bukanlah orang yang mudah menyerah, gagal mendapat
perhatianku lewat candanya dia mengeluarkan smartphone
dari dalam sakunya. Membuka aplikasi instamoment
dan memaksaku untuk tersenyum di kamera.
“Ya,
disini Erga dan Riska, torang[4]
sedang jalan-jalan di kota Tomohon. Dan saya mau kasih tunjuk tempat
spesial buat teman saya ini biar mukanya tak masam dan mendung,”
“Sudahlah
Ga,” aku menepis smartphone yang
mengambil gambar dari kamera depannya.
“Sakitkah?”
tanya Erga, wajahnya kali ini berubah serius menilik senti persenti wajahku. Mataku
berembun, pertanyaan itu seakan membludakkan emosi menjadi tetes-tetes air mata
yang turun tiba-tiba dari kelopak mataku.
Kali
ini Erga tak dapat berkata apapun, hanya membiarkanku menarik nafas berulang
kali untuk menenangkan isak yang telah terlanjur hujan. Sebenarnya aku sangat
malu, di usiaku yang sudah lebih dari 20 tahun, masih saja aku menangis, di
depan orang asing pula.
Sampai
di perempatan Jalan Lembong Erga mengajakku turun, tangannya yang kuat
menggenggam lenganku yang gontai. Aku bersyukur karena dia menuntun langkahku
dan aku hanya perlu menunduk, menyembunyikan mata merahku yang lama-kelamaan
terasa semakin berat.
“Aku
hanya ingin membuatmu tersenyum dan ingin mengajakmu untuk melihat sesuatu yang
unik di kota ini yang bisa membuatmu bergidik, tapi tujuan ini mungkin lebih
cocok untuk kondisimu saat ini Ris,” kata Erga. Dia menghampiri satu otto, tawar menawar harga, mengajakku
naik dan otto bergerak tergesa gesa,
melewati perkampungan-perkampungan dengan rumah-rumah kayu yang mirip dengan
rumah Prof. Heydemans. Jalan berkelok-kelok melewati hutan-hutan bambu dan
membawa kami sampai di sebuah gerbang besi yang terbuka. Erga mengajakku turun
dari otto.
“Selamat
datang di waruga,” katanya.
“Tempat
apa ini?” tanyaku.
“Pemakaman,”
jawab Erga santai. Dia menunjuk bangunan peti dari batu di pinggiran gerbang
yang sudah dikelilingi banyak pohon pucuk merah rendah.
“Kenapa?”
tanya Erga. “Ngana kagetkah?”
Aku
menatapnya pias. Erga benar-benar gila. Aku tahu dia tourguide di kota ini. banyak tempat-tempat yang bisa
ditunjukkannya padaku, tetapi mengapa mesti pemakaman. Tak adakah tempat yang
lebih baik untuk orang melepas kesedihan. Aku sedang sedih dan galau lalu pemakaman,
aku rasa bukan tempat yang cocok untuk menghibur.
“Ngana bilang, ngana tak ingin merusak
pertemanan yang sudah ngana bangun. Ngana bilang dia sebentar lagi akan
menikah. Jadi saya pikir ngana ingin melupakan
dia.”
Tujuanku
ke kota ini memang untuk melupakan dia, lalu apa hubungannya dengan waruga.
“Ngana tahukan ini pemakaman, ngana tahu untuk apa tempat ini?”
“Anak
kecil pasti tahu Ga, pemakaman pasti tempat untuk mengubur,”
“Ya,
ngana pandai sekali. Saya ajak ngana kesini supaya ngana bisa kubur
kenangan ngana di sini.”
Aku
menatapnya, sedikit tersenyum menghargai usahanya mengajakku ke waruga hingga harus menyewa otto berharga ratusan ribu. “Ngana sudah tersenyumkah?”
Aku
menjawabnya masih dengan tersenyum, “saya memang tak tahu bagaimana rasanya
perasaan ngana, tapi jika perempuan
sudah menangis berarti ada rasa sakit yang sudah tak dapat di tahannya lagi.
Saya tak mengerti detail masalah ngana, tapi
saya harap di tempat ini ngana bisa
lepas itu masalah semua,” katanya.
Aku
tersenyum, tersanjung dengan kata-katanya sambil menangis karena perasaan itu
tumpah, kenangan itu tumpah.
***
“Bisa
ketemu?” tanyamu siang itu lewat blacberry
messenger.
“Yap,
tentu saja,” jawabku kegirangan.
“Aku
tunggu di alun-alun kota jam 7 malam ya,” katamu saat itu.
“Oke,
aku pasti datang,” jawabku dengan wajah semakin sumringah.
Jam
tujuh tepat aku duduk di undakan alun-alun, menunggumu dengan senyum yang masih
sumringah.
“Kamu
sudah lama?” tanyamu tiba-tiba sambil duduk di sampingku. Aku menoleh dan
mencium bau parfummu. Kemeja kotak warna biru langsung menyambut pemandangan
yang melekat di tubuhmu. Yah, seperti malam-malam yang lalu, kamu sama
menawannya. Kamu indah, bahkan lebih indah dari bulan purnama sekalipun.
“Belum,
baru lima menit mungkin,” jawabku sambil menatap jam tangan, mengalihkan detak
jantung yang melebihi batas kontrolnya. Bau parfummu malam itu begitu menyengat
hidungku membuat jatuhku lebih dalam dari pertemuan-pertemuan kita yang lalu.
“Hmmm,
sudah sering ya kita ketemu malam-malam begini, curi-curi waktu jika aku
pikir-pikir.”
“Ya
mau gimana lagi, aktivitas kita di organisasi dan instansi sering kali tidak
bersahabat,” kataku.
“Tapi
aku senang bisa curi-curi waktu seperti ini,” katamu. Mata sipitmu lantas menatapku
sedikit jail membuatku salah tingkah. “Kamu sendiri gimana?”
Aku
diam, mengalihkan pandangan pada langit yang buram. Tanpa aku mengatakanpun
seharusnya kamu sudah tahu bagaimana perasaanku. Satu tahun aku mengagumimu,
baru 4 bulan yang lalu aku berani mengontakmu dengan susah payah, menghadapi
sikap cuekmu, menanti balasan BBM mu yang membuatku hampir putus asa setiap
menitnya. Jika hari ini aku bisa duduk di undakan alun-alun bersamamu, kamu
pasti tahu bagaimana rasanya aku tanpa harus aku ceritakan padamu.
“Kamu
tahu, aku sangat bahagia hari ini.”
Aku
menatapmu, kebahagiaan itu menari-nari di wajahmu. Aku melihatnya dengan jelas
di matamu yang dipantulkan lampu bulat alun-alun kota Malang.
“Aku
punya kabar baik, dua bulan lagi aku akan menikah dengan panasea-ku.”
Langit
semakin buram, lampu-lampu taman meredup, ada kesadaran yang menghilang dengan
cepat di otakku.
“Ris?”
kamu menggoyang tubuhku.
“Menikah?”
tanyaku.
“Iya,”
“Tapi.....”
“Tapi
apa Ris?”
“Aku
pikir....”
“Kamu
pikir apa? Kamu tahu Ris, dia gadis idamanku, kalem, lembut, sederhana, cerdas,
alim, dan sosialisasinya baik, sopan santunnya duhhhhh, sudah nggak ada
tandingannya lagi,” katamu.
“Oh
ya,” seketika aku menekan perasaanku. Menyembunyikan badai yang kini
memporak-porandakkan bangunan hatiku.
“Ya,
aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya.”
“Jadi
kamu akan menikah dua bulan lagi?”
“Ya,
kami akan menikah, kami ingin hubungan kami segera dihalalkan oleh negara dan
agama.”
“Aku
ikut senang, semoga kalian bisa jadi keluarga yang bahagia.”
***
Erga
menarikku lebih jauh ke dalam waruga .
“Lihat ini Ris,” katanya.
Dia
menunjuk sebuah bangunan mirip collosium di
Roma. Sebuah bangunan dengan lapangan yang dikelilingi undakan-undakan mirip
stadion.
“Di
sini dulu adalah tempat orang-orang melakukan upacara kematian Ris,” kata Erga.
“Terus?”
“Ayo
kita ketengah sana, mari kita adakan upacara kematian untuk kenanganmu. Ayo
kubur kenangan yang membuatmu menangis di waruga.
Makamkan di peti-peti batu di atas sana, simpan di sini Ris, kubur jauh dari
tempatmu akan melanjutkan hidup,” kata Erga.
Sesaat
aku tidak sadar jika Erga sudah memabawaku ke tengah-tengah collosium versi Sulewi Utara ini.
“Lakukan
ritualmu Ris,” teriak Erga.
Awalnya
aku tak paham apa maksud perkataan Erga. Aku malah sibuk berputar-putar melihat
tempat pemujaan di atas collosium lalu
melihat versi gunung Lokon dari waruga. Awan mulai berarak menutup gunung
Lokon, kumpulannya menjadi mendung yang hitam dan luruh jadi hujan. Hujannya
mengalir dari tebing-tebih tinggi, terjun bebas dan semakin deras. Aku duduk,
rasa sakit itu menusuk seperti ratusan panah yang di tembakkan bersamaan.
Kenangan bermunculan, perpustakaan, kedai kopi, alun-alun, semuanya tumpah ruah
seperti film yang dipercepat putarannnya. Kenangan itu berputar semakin cepat,
cepat, dan cepat, “AAAAAAAAAAAAAAAA” aku berteriak kehilangan akal. Lambat laun
putaran film itu melambat dan bayangan-bayangan kabur menghujam memoriku. Lelah
aku duduk di lantai lapangan.
“Mau
minum?” tanya Erga menyodorkan sebotol air mineral. Aku meraihnya menenggaknya
buru-buru. “Kamu tahu Ris, waruga telah
menerima upacaramu. Pembakaran telah berlangsung dan peti mati waruga sudah terbuka untuknya, hari ini
kenanganmu, perasaanmu kepadanya telah dimakamkan di waruga,” kata Erga.
Mataku
terasa berat, badanku lemas, Erga memapahku menaiki tangga lagi. Aku
menatapnya, berterimakasih tanpa kata.