Pages

Rabu, 29 November 2017

Kuburan Cinta di Tomohon



Udara dingin perbukitan menerpa anak rambut yang usil menggelitiki dahi. Berkibar-kibar senada dengan gerak awan ke arah timur, bercampur dengan kawan-kawannya, bercengkerama membentuk mendung yang semakin lama semakin menggelap. Jam 7 pagi waktu indonesia tengah. Suasana cukup terang untuk memandang gunung Lokon di sebelah barat tempatku berdiri dari tepi jalan Tondano-Tomohon. Di seberang jalan dari rumah kayu berwarna coklat renyah itu aku menghela nafas begitu dalam. “Nyatanya cukup jauh aku berlari, cukup jauh aku menghindari masalah yang menerpa pori-pori hatiku yang ingin aku sembuhkan dan rapatkan kembali,”
Aku duduk di trotoar jalan, tak peduli dengan tatapan orang yang penuh tanya, “sedang apa dia duduk di sana?” mungkin begitu tanyanya. Aku tak peduli pada mereka yang melihatku sambil berbisik-bisik, aku sudah lelah berdiri dan aku butuh untuk duduk, tetapi aku tidak ingin kembali ke pemondokan, mengurung diri dalam kamar berukuran 4x4 meter menghadirkan kenangan itu kembali ke atas memoriku. Aku sudah terlalu jauh berlari.
Kembali lagi ke trotoar. Awan masih belum tuntas arak-arakannya dan gunung Lokon juga masih hijau, diam, dan menjulang tinggi menampilkan siluet seperti sebuah gunungan lumut yang di tumbuhi jamur-jamur rumah di lereng gunungnya. “Ya, seperti itulah perasaanku, hijau, subur, besar, dan diam. Dan saking lamanya perasaan itu dipendam dia jadi berlumut. Perasaan besar yang berlumut, apakah kamu pernah sesekali menengok perasaan berlumut ini? Nyatanya aku gunung Lokon[1] yang tetap diam menyimpan kisahnya sendiri sambil mengamatimu yang lalu lalang pergi ke kampus, membeli bahan makanan, dan sholat jum’at seminggu sekali.”
Angkot warna biru muda hilir mudik di hadapanku. Kamu tahu? seperti angkot di kota kita yang diberi nama line, di sini kamu akan mengenalnya dengan nama otto. Angkotnya sama berwarna biru, bentuknya juga sama, hanya tempat duduknya yang berbeda. Jika di kota kita kamu akan duduk di kursi-kursi yang di letakkan memanjang di tepi jendela, di sini kamu akan menemui angkot dengan susunan tempat duduk sama seperti susunan tempat duduk pada mobil. Di bagian depan ada kursi sopir dan kursi penumpang, di belakangnya ada tiga deret tempat duduk dengan kapasitas 8 orang. Sama bukan dengan di kota kita?
Otto akan mengantarkanmu ke tempat yang kamu mau, jauh dekat ongkosnya sama saja. Namun, otto yang ada di depan pemondokanku hanya dapat mengantarmu ke kota Tondano dan Tomohon yang sekarang aku tinggali. Naik saja, tapi jangan sesekali bilang “kiri” pada supirnya ketika kamu ingin turun dari otto. Dia tak akan mengerti, di kota ini jika kamu ingin berhenti kamu bisa mengatakan “stop” saja atau “muka”. Tapi apa pentingnya itu sekarang, kiri, muka, ataupun stop tak berlaku lagi bagiku. Semuanya terus berjalan, semuanya tak bisa berhenti, dan kata apapun yang aku sugestikan untuk bisa melupakanmu nyatanya hanya omong  kosong dan tak memiliki arti. Seperti om supir angkot yang tak paham maksud “kiri”, hatiku sendiri juga tak paham kode untuk berhenti.
“Hei,” sapa seseorang mengalihkan lamunanku. Tanpa mempedulikan wajah kusutku dia duduk di sampingku, memandangi arak-arakan awan di belakang pemondokan Prof. Heydemans.
“Kusut sekali?” tanyanya singkat padaku, “ada masalahkah?” tanyanya dengan logat Manado yang cukup kental. Aku tak menjawab hanya menghela nafas saja. Tak ingin membagi cerita pada orang yang baru aku kenal.
“Saya akan dengar cerita dari ngana[2], ya setidaknya jika saya tak bisa kasih solusi untuk ngana, beban ngana jadi lebih ringan setelah cerita”
Aku masih diam.
“Coba saya tebak, ngana putus cintakah?”
“Boro-boro putus cinta Ga, pernah jadian saja nggak,” kataku akhirnya.
“Tapi wajah ngana kusut sekali, seperti orang lagi patah hati saja,” tanya Erga.
“Entahlah, apa aku berhak untuk patah hati, sedang perasaan ini hanya aku simpan sendiri, dia tak salah to jika tak tahu?”
“Ya kenapa ngana tak katakan saja?”
“Aku nggak mau merusak pertemanan kami Ga, lagian apa gunanya mengatakan itu sekarang, satu bulan lagi dia akan menikah dengan panaseanya”
“Siapa itu panasea?”
“Ya, anggap saja gadis pujannya,”
Its complicated Ris,” kata Erga. “Emmmm, saya ada tempat bagus untuk ngana “ katanya setelah cukup lama. Tangannya lalu gesit menarik lengan tanganku. Langkahnya tiba-tiba menarikku mendatangi bendi[3] mengatakan tujuan yang tak aku mengerti dan mengajakku untuk naik di atas keretanya.
“Kita mau kemana Ga?” tanyaku bingung. “Sudahlah ngana akan baik saja jika sama saya, saya jamin itu,” kata Erga. Bendi semakin kencang, bunyinya yang tak, tik, tuk, tik, tak, tik, tuk mengingatkanku pada lagu masa kecil “Pada Hari Minggu”. Masih ingatkah kamu?
“Hei Ris, janganlah murung terus, ngana tak maukah lihat indahnya ini kota? Ini Tomohon Ris, Sulawesi, bukan Jawa lagi. Tak maukah ngana abadikan keindahan-keindahan ini?” kata Erga membuatku bicara. “Om, lihat dia om, wajahnya muram saja bagai mendung, jangan-jangan setelah ini Tomohon hujan gara-gara dia,” canda Erga pada Om Kusir. Erga menatapku, merasa gagal karena tak dapat membuatku tertawa atau bicara. Sayangnya Erga bukanlah orang yang mudah menyerah, gagal mendapat perhatianku lewat candanya dia mengeluarkan smartphone dari dalam sakunya. Membuka aplikasi instamoment dan memaksaku untuk tersenyum di kamera.
“Ya, disini Erga dan Riska, torang[4] sedang jalan-jalan di kota Tomohon. Dan saya mau kasih tunjuk tempat spesial buat teman saya ini biar mukanya tak masam dan mendung,”
“Sudahlah Ga,” aku menepis smartphone yang mengambil gambar dari kamera depannya.
“Sakitkah?” tanya Erga, wajahnya kali ini berubah serius menilik senti persenti wajahku. Mataku berembun, pertanyaan itu seakan membludakkan emosi menjadi tetes-tetes air mata yang turun tiba-tiba dari kelopak mataku.
Kali ini Erga tak dapat berkata apapun, hanya membiarkanku menarik nafas berulang kali untuk menenangkan isak yang telah terlanjur hujan. Sebenarnya aku sangat malu, di usiaku yang sudah lebih dari 20 tahun, masih saja aku menangis, di depan orang asing pula.
Sampai di perempatan Jalan Lembong Erga mengajakku turun, tangannya yang kuat menggenggam lenganku yang gontai. Aku bersyukur karena dia menuntun langkahku dan aku hanya perlu menunduk, menyembunyikan mata merahku yang lama-kelamaan terasa semakin berat.
“Aku hanya ingin membuatmu tersenyum dan ingin mengajakmu untuk melihat sesuatu yang unik di kota ini yang bisa membuatmu bergidik, tapi tujuan ini mungkin lebih cocok untuk kondisimu saat ini Ris,” kata Erga. Dia menghampiri satu otto, tawar menawar harga, mengajakku naik dan otto bergerak tergesa gesa, melewati perkampungan-perkampungan dengan rumah-rumah kayu yang mirip dengan rumah Prof. Heydemans. Jalan berkelok-kelok melewati hutan-hutan bambu dan membawa kami sampai di sebuah gerbang besi yang terbuka. Erga mengajakku turun dari otto.
“Selamat datang di waruga,” katanya.
“Tempat apa ini?” tanyaku.
“Pemakaman,” jawab Erga santai. Dia menunjuk bangunan peti dari batu di pinggiran gerbang yang sudah dikelilingi banyak pohon pucuk merah rendah.
“Kenapa?” tanya Erga. “Ngana kagetkah?”
Aku menatapnya pias. Erga benar-benar gila. Aku tahu dia tourguide di kota ini. banyak tempat-tempat yang bisa ditunjukkannya padaku, tetapi mengapa mesti pemakaman. Tak adakah tempat yang lebih baik untuk orang melepas kesedihan. Aku sedang sedih dan galau lalu pemakaman, aku rasa bukan tempat yang cocok untuk menghibur.
Ngana bilang, ngana  tak ingin merusak pertemanan yang sudah ngana bangun. Ngana bilang dia sebentar lagi akan menikah. Jadi saya pikir ngana ingin melupakan dia.”
Tujuanku ke kota ini memang untuk melupakan dia, lalu apa hubungannya dengan waruga.
Ngana tahukan ini pemakaman, ngana tahu untuk apa tempat ini?”
“Anak kecil pasti tahu Ga, pemakaman pasti tempat untuk mengubur,”
“Ya, ngana pandai sekali. Saya ajak ngana kesini supaya ngana bisa kubur kenangan ngana di sini.”
Aku menatapnya, sedikit tersenyum menghargai usahanya mengajakku ke waruga hingga harus menyewa otto berharga ratusan ribu. “Ngana sudah tersenyumkah?”
Aku menjawabnya masih dengan tersenyum, “saya memang tak tahu bagaimana rasanya perasaan ngana, tapi jika perempuan sudah menangis berarti ada rasa sakit yang sudah tak dapat di tahannya lagi. Saya tak mengerti detail masalah ngana, tapi saya harap di tempat ini ngana bisa lepas itu masalah semua,” katanya.
Aku tersenyum, tersanjung dengan kata-katanya sambil menangis karena perasaan itu tumpah, kenangan itu tumpah.
***
“Bisa ketemu?” tanyamu siang itu lewat blacberry messenger.
“Yap, tentu saja,” jawabku kegirangan.
“Aku tunggu di alun-alun kota jam 7 malam ya,” katamu saat itu.
“Oke, aku pasti datang,” jawabku dengan wajah semakin sumringah.
Jam tujuh tepat aku duduk di undakan alun-alun, menunggumu dengan senyum yang masih sumringah.
“Kamu sudah lama?” tanyamu tiba-tiba sambil duduk di sampingku. Aku menoleh dan mencium bau parfummu. Kemeja kotak warna biru langsung menyambut pemandangan yang melekat di tubuhmu. Yah, seperti malam-malam yang lalu, kamu sama menawannya. Kamu indah, bahkan lebih indah dari bulan purnama sekalipun.
“Belum, baru lima menit mungkin,” jawabku sambil menatap jam tangan, mengalihkan detak jantung yang melebihi batas kontrolnya. Bau parfummu malam itu begitu menyengat hidungku membuat jatuhku lebih dalam dari pertemuan-pertemuan kita yang lalu.
“Hmmm, sudah sering ya kita ketemu malam-malam begini, curi-curi waktu jika aku pikir-pikir.”
“Ya mau gimana lagi, aktivitas kita di organisasi dan instansi sering kali tidak bersahabat,” kataku.
“Tapi aku senang bisa curi-curi waktu seperti ini,” katamu. Mata sipitmu lantas menatapku sedikit jail membuatku salah tingkah. “Kamu sendiri gimana?”
Aku diam, mengalihkan pandangan pada langit yang buram. Tanpa aku mengatakanpun seharusnya kamu sudah tahu bagaimana perasaanku. Satu tahun aku mengagumimu, baru 4 bulan yang lalu aku berani mengontakmu dengan susah payah, menghadapi sikap cuekmu, menanti balasan BBM mu yang membuatku hampir putus asa setiap menitnya. Jika hari ini aku bisa duduk di undakan alun-alun bersamamu, kamu pasti tahu bagaimana rasanya aku tanpa harus aku ceritakan padamu.
“Kamu tahu, aku sangat bahagia hari ini.”
Aku menatapmu, kebahagiaan itu menari-nari di wajahmu. Aku melihatnya dengan jelas di matamu yang dipantulkan lampu bulat alun-alun kota Malang.
“Aku punya kabar baik, dua bulan lagi aku akan menikah dengan panasea-ku.”
Langit semakin buram, lampu-lampu taman meredup, ada kesadaran yang menghilang dengan cepat di otakku.
“Ris?” kamu menggoyang tubuhku.
“Menikah?” tanyaku.
“Iya,”
“Tapi.....”
“Tapi apa Ris?”
“Aku pikir....”
“Kamu pikir apa? Kamu tahu Ris, dia gadis idamanku, kalem, lembut, sederhana, cerdas, alim, dan sosialisasinya baik, sopan santunnya duhhhhh, sudah nggak ada tandingannya lagi,” katamu.
“Oh ya,” seketika aku menekan perasaanku. Menyembunyikan badai yang kini memporak-porandakkan bangunan hatiku.
“Ya, aku merasa sangat beruntung bisa bertemu dengannya.”
“Jadi kamu akan menikah dua bulan lagi?”
“Ya, kami akan menikah, kami ingin hubungan kami segera dihalalkan oleh negara dan agama.”
“Aku ikut senang, semoga kalian bisa jadi keluarga yang bahagia.”
***
Erga menarikku lebih jauh ke dalam waruga . “Lihat ini Ris,” katanya.
Dia menunjuk sebuah bangunan mirip collosium di Roma. Sebuah bangunan dengan lapangan yang dikelilingi undakan-undakan mirip stadion.
“Di sini dulu adalah tempat orang-orang melakukan upacara kematian Ris,” kata Erga.
“Terus?”
“Ayo kita ketengah sana, mari kita adakan upacara kematian untuk kenanganmu. Ayo kubur kenangan yang membuatmu menangis di waruga. Makamkan di peti-peti batu di atas sana, simpan di sini Ris, kubur jauh dari tempatmu akan melanjutkan hidup,” kata Erga.
Sesaat aku tidak sadar jika Erga sudah memabawaku ke tengah-tengah collosium versi Sulewi Utara ini.
“Lakukan ritualmu Ris,” teriak Erga.
Awalnya aku tak paham apa maksud perkataan Erga. Aku malah sibuk berputar-putar melihat tempat pemujaan di atas collosium lalu melihat versi gunung Lokon dari waruga. Awan mulai berarak menutup gunung Lokon, kumpulannya menjadi mendung yang hitam dan luruh jadi hujan. Hujannya mengalir dari tebing-tebih tinggi, terjun bebas dan semakin deras. Aku duduk, rasa sakit itu menusuk seperti ratusan panah yang di tembakkan bersamaan. Kenangan bermunculan, perpustakaan, kedai kopi, alun-alun, semuanya tumpah ruah seperti film yang dipercepat putarannnya. Kenangan itu berputar semakin cepat, cepat, dan cepat, “AAAAAAAAAAAAAAAA” aku berteriak kehilangan akal. Lambat laun putaran film itu melambat dan bayangan-bayangan kabur menghujam memoriku. Lelah aku duduk di lantai lapangan.
“Mau minum?” tanya Erga menyodorkan sebotol air mineral. Aku meraihnya menenggaknya buru-buru. “Kamu tahu Ris, waruga telah menerima upacaramu. Pembakaran telah berlangsung dan peti mati waruga sudah terbuka untuknya, hari ini kenanganmu, perasaanmu kepadanya telah dimakamkan di waruga,” kata Erga.
Mataku terasa berat, badanku lemas, Erga memapahku menaiki tangga lagi. Aku menatapnya, berterimakasih tanpa kata.


[1] Gunung tetinggi kedua di provinsi Sulawesi Utara
[2] Kata ganti orang kedua tunggal (kamu)
[3] Delman dalam bahasa Indonesia
[4] Dari kito orang yang artinya kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar