“Tuhan
walaupun sekarang orang yang aku suka mnyukai temanku sendiri, aku
harap suatu hari nanti Engkau akan mengirimkan satu pangeran untuk
menemaniku dan menyayangiku sampai akhir,” doaku sebelum tidur
malam ini. Ada setitik air yang mengalir dari mataku saat aku
mengucapkannya.
***
Tiba-tiba
saja aku sudah berdiri di sebuah taman yang diterangi empat buah
lampu yang besar. Aku belum pernah ke tempat ini sebelumnya. Di bawah
kakiku terhampar jalanan dari semen diukir membentuk butiran kerikil.
Lalu aku memandangi langit di atasku yang penuh bintang. Indah, tapi
sekarang aku di mana?
Aku
berjalan sambil melihat sekeliling. Taman ini sama dengan taman
kebanyakan, ada bunga, pohon, tempat bermain, dan kursi-kursi taman
di beberapa tempat. Walaupun tak pernah tahu tempat ini sebelumnya
aku merasa nyaman berada di sini.
Tertarik
dengan kilauan yang dibiaskannya aku mendekati kolam air mancur yang
sangat luas. Dari jauh aku memandangi airnya yang berubah-ubah warna
sampai aku menyadari ada seseorang duduk di kursi taman dekat air
mancur itu.
Senang
akan mendapat jawaban sedang di mana aku sekarang aku mendekati dia.
Takut-takut aku bertanya padanya, “maaf, ini di mana ya? Saya mau
pulang.” Dia diam, tidak menjawab dan tidak menoleh.
“Maaf,
ini tempat apa?” ulangku dan dia masih diam. Aku garuk-garuk kepala
bingung.
“Mas,
maaf ini di mana?” tanyaku lagi denga kata “Mas”, karena
menurut pengamatanku dia laki-laki yang mengenakan jas seperti di
kartun disney.
Tidak
mendapat jawaban aku berbalik ingin meninggalkannya.
“Tempat
ini tak punya nama,” kata seseorang dan aku langsung berbalik
menghadapinya, akhirnya dia mau bicara juga.
“Kalau
tempat ini tidak punya nama bagaimana aku bisa pulang?”
“Kamu
bisa pulang kalau sudah waktunya,” jawabnya.
“Tapi
kapan? Ini sudah malam dan besok aku harus sekolah, aku harus tidur
malam ini,” kataku.
“Duduklah,
tidak akan terjadi apa-apa,” katanya tenang.
“ Tidak
akan terjadi apa-apa gimana?” kataku mulai panik. Besok jam pertama
ada ulangan Bahasa Inggris dan kalau aku nggak bisa pulang bagaimana
aku bisa ikut ulangan. Terus kalau aku nggak ada di kamar dan
dicariin gimana?
“Eh,
kamu, ayo kasih tahu, dimana jalan pulangnya?” tanyaku lagi.
“Aku
nggak tahu.”
“Nggak
tahu gimana? Dari tadi kamukan ada di sini, kamu pasti tahu dong
jalan ke sini dan jalan pulang?”
“Kamu
sendiri tahu gimana bisa sampai di sini?” tanyanya balik. Aku diam
karena aku juga tidak tahu.
“Kalau
begitu sama, sudahlah duduk saja. Kamu bisa capek kalau berdiri
terus,” katanya lagi. Merasa tak punya pilihan aku menuruti
sarannya. Aku duduk di kursi taman di sebelahnya memandangi air
mancur kembali.
“Siapa
nama kamu?” tanyanya lagi. Aku menatapnya, terpana, dibalik
penampilannya yang seperti orang zaman pertengahan dia tampan sekali.
Kira-kira dia sebaya denganku, kulitnya putih, dengan dua mata hitam
yang juga lekat memandangku.
“Hello....!!!!”
dia melambaikan tangan ke depanku.
“Ya.”
“Siapa
nama kamu?” ulangnya.
Salah
tingkah aku menjawab, “Ariska, panggil saja Ariska, kamu sendiri?”
Dia
tersenyum dan mengulurkan tangan, “Riki, panggil saja Riki,”
katanya kemudian. Aku menjabat tangannya dan kurasakan getaran yang
menyenangkan dalam hati.
“Ris,
ingat kamu habis patah hati. Jangan main-main dengan perasaan lagi.”
Aku mendengar suara itu berbisik di telingaku. Cepat, aku langsung
melepas tanganku darinya dan kembali memandangi air mancur saling
diam.
“Bagaimana
kamu bisa ada di sini?” tanyaku akhirnya.
“Sama
seperti kamu aku juga tidak tahu, tapi seseorang mengatakan padaku
aku harus menemui seseorang di sini.”
“Kamu
sudah bertemu dengannya?”
“Belum,
kamu sendiri bagaiman bisa sampai di sini?”
“Nggak
tahu sih, tiba-tiba aja udah ada si sini, padahal besok aku ada
ulangan, kalau sampai aku nggak bisa pulang....”
“Tenang
aja kali, kan udah aku bilang semua bakal baik-baik aja.”
“Kamu
sih enak, anak cowok mau main sampai pagi nggak ada yang nyari, kalau
aku? Entar kalau dicariin gimana?”
“Kamu
itu, sekali-kali bandel nggak apa-apalah, ayo aku ajak jalan!” dia
menggenggam lengan tanganku dan menariknya. Aku menurut untuk
mengikutinya.
“Tempat
ini indah, nggak asyik kalau Cuma duduk-duduk di dekat air mancur,”
katanya.
“Menurut
aku biasa aja.”
“Eh,
jangan salah, kamu belum lihat ini,” dia menarikku lagi dan
membawaku berlari.
“Mau
kemana nih?” teriakku.
Setelah
berlari-lari kecil kami sampai di sebuah tanah lapang yang dipenuhi
ribuan cahaya seperti bintang tapi ada di depan mata langsung.
“Itu
kunang-kunang tahu,” kata Riki memberi tahu.
“Aku
juga tahu kali.....”
“Main
yuk!!!” dia menarikku lagi. Hobi banget nih cowok narik-narik aku.
“Main
apa? Kaya anak kecil saja,” kataku.
“Nangkep
kunang-kunang.”
“Nangkep
kunang-kunang? Nggak mau ah geli, dilihat aja kan udah bagus.”
“Halah,
kamu nggak asyik,” katanya sambil menepukkan kedua tangan di atas
kepalanya dan kemudian menunjukkan tangannya yang bercahaya.
“Mudahkan?”
katanya kemudian sambil melepaskan kunang-kunang itu ke udara.
“Tapi
geli,” kataku.
“Sini
aku ajari,” dia berjalan ke belakangku dan memegang kedua tanganku.
Sumpah rasanya jantungku loncat-loncat. Dia menepukkan tanganku ke
udara dan sebuah cahaya terperangkap di tanganku.
“Gimana?”
tanyanya sambil melepaskan genggamannya. Aku yang lemas karena
gemetaran Cuma bisa bilang, “seperti nangkep bintang.”
***
Gagal
nggak bisa-bisa nangkep kunang-kunang aku duduk di atas rumput sambil
memandangi bintang terbang itu. “Kok berhenti?” tanya Riki.
“Capek
tahu,” kataku.
“Gitu
aja capek,” Riki berbaring di atas rumput di sampingku. Aku tak
menjawab.
“Kring.....kring.......kring.......!”
aku mendengar bunyi bising entah dari mana.
“Rik,
Riki, itu suara apa?” tanyaku sambil menutup telinga. Riki malah
tersenyum “katanya kamu pengen pulang, ini jalan pulangnya.”
“Jalan
pulang?” tanyaku nggak ngerti.
“Iya,
kamu tinggal tutup mata dan pulang.”
“Tapi
aku masih mau di sini,” teriakku di tengah suara yang rasanya
merusak gendang telingaku.
“Sudah
pulang saja.”
“Terus
kamu gimana?”
“Aku
baik-baik aja.”
“Riki,
apa kita bisa ketemu lagi?” tanyaku. Riki Cuma tersenyum dan suara
bising itu membuatku menutup mata. Saat aku membuka mata lagi aku
sudah berada di kamarku dengan jam weker meraung-raung di sampingku.
Aku mematikan suaranya. “Jadi itu Cuma mimpi?” tanyaku pada diri
sendiri.
***
“Dev,
aku tadi malem mimpi aneh banget,” ceritaku seusai ulangan Bahasa
Inggris. Bukannya penasaran Devi malah memandangku prihatin. “Kamu
nggak kenapa kenapakan karena cinta bertepuk sebelah tangan itu?”
tanyannya.
“Maksudnya?”
tanyaku tak mengerti.
“Maksud
aku, kamu, pikiran kamu masih baik-baik ajakan?” tanyanya serius.
“Ya
baik-baik ajalah. Emang kamu kira aku kenapa?” tanyaku tak terima.
“Pokoknya
kamu yang sabar aja, mungkin dia emang bukan yang terbaik buat kamu,”
kata Devi sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Oh,
tentang Huda itu?”
Devi
mengangguk. “Tenang aja kali, kalau itu mah aku baik-baik aja,
sekarang kamu dengar mimpiku semalam ya,” kataku dan mulai
bercerita.
“Itu
beneran mimpi?” tanya Devi setelah aku menceritakan semuanya.
“Ya,
iyalah, asyikkan?”
“Tapi
itu kan Cuma mimpi,” kata Devi.
“Iya
juga sih,” kataku lesu. Aku baru sadar itu mimpi. “Padahal aku
masih pengen ketemu dia.”
“Itu
mungkin karena kamu masih patah hati aja mimpi begituan. Udah supaya
kamu bisa move
on
entar siang pulang sekolah aku ajak makan es krim goreng di Ploso
itu,” kata Devi.
“Beneran?”
tanyaku girang.
“Iya.”
“A......makasih
Devi,” aku memeluknya.
“Tapi
jangan sering-sering patah hati ya, uangku bisa habis tahu.”
“Kamu
ini ada-ada saja, kalau boleh aku juga nggak mau patah hati kali.”
***
Pukul
sembilan malam setelah memasukkan buku terakhir ke dalam tas aku
langsung menarik selimut dan tertidur. Aku tahu-tahu sudah berada di
tempat semalam. Aku berlari ke arah air mancur dan kecewa mendapati
Riki tak ada di sana. Apa dia sudah pergi? Apa dia sudah menemui
seseorang itu? Aku duduk di kursinya, sedih.
“Nyariiin
aku ya?”
“Riki,”
seruku senang sedang dia hanya tersenyum.
“Kangen
ya?” tanyanya jail.
“Apa?
Enggak.”
“Aku
ada sesuatu buat kamu,” kata Riki.
“Apa?”
Dia
mengeluarkan setangkai mawar merah dari belakang badannya dan
mengulurkannya padaku.
“Mawar?”
tanyaku.
“Iya.”
Aku
memandangnya sebentar lalu menerimanya. “Terima kasih,” ucapku.
“Jalan
yuk!” ajaknya dan aku mengikutinya.
“Gimana
ulangan kamu?” tanyanya.
“Kamu
masih ingat aja, lancar kok.”
“Bagus
kalau gitu.”
“Kamu
sendiri? Udah nemuin orang itu?”
“Belum.”
“Berarti
seharian kamu ada di sini dong?”
“Seharian?
Bisa dibilang gitulah.”
“Kalau
ada orang yang lihat kamu gimana?”
“Maksudnya?”
“Maaf
ya, tapi baju kamu itu aneh.”
“Di
sini Cuma ada kita.”
“Ha??”
aku tak mengerti.
“Udah
nggak usah dipikirin. Main ayunan yuk!!”
“Kayanya
asyik tuh.”
Riki
mendorong ayunan saat aku duduk di atasnya semakin lama semakin
cepat.
“Riki,
jangan tinggi-tinggi,” teriakku.
“Biar
asyik tahu.”
“Kalau
aku jatuh gimana?”
“Kan
ada aku, entar aku tangkep.”
“Riki.....udah,
udah,” teriakku lagi baru dia menghentikan ayunannya. Aku turun
dari ayunan an mencubitnya keras.
“Aduh,
sakit Ris.”
“Habis
kamu keterlaluan, aku takut tahu.”
“Teriak
itu bisa ngilangin beban kamu tahu, kamu bisa melepaskan semua beban
dalam hati kamu.”
“Emang
iya?”
“Coba
aja. Kamu cari tanah yang lapang atau pantai yang sepi dan teriak di
sana sepuasnya. Walaupun nggak hilang seluruhnya pasti kamu bisa
ngerasa lega.”
“Aku
coba deh, aku mau ngeluarin beban dalam hati aku,” kataku.
“Kring.....kring.....kring......”
“Kayanya
aku harus pulang nih?”
Riki
tersenyum. “Aku pengen ketemu kamu lagi,” kataku dan langsung
menutup mata.
***
Aku
mengeluarkan motor dari rumah dan menstaternya. Aku memakai sepatu
sambil duduk di salah satu kursi teras. Saat mau berdiri aku
menemukan setangkai mawar tergeletak di teras rumah. Aku memungutnya
dan mengamatinya. Ini seperti bunga dari Riki semalam.
“Ris,
kok belum berangkat?” tanya ibu.
“Ini
mau berangkat, Bu.”
Aku
mencium tangannya dan langsung berangkat, sebelumnya aku memasukkan
bunga itu ke dalam tas.
“Dev,
aku semalam mimpi dia lagi di tempat yang sama dan tadi pagi aku
menemukan mawar di teras,” kataku. Aku mengeluarkan bunga mawar itu
dari dalam tas dan menunjukkkannya pada Devi, “ini persis seperti
mawar yang dia kasih ke aku tadi malem,” kataku lagi.
“Terus?”
tanya Devi.
“Apa
itu mimpi yang wajar? Ini seperti kenyataan Cuma seperti di tempat
yang berlainan aja.”
“Ris,
kamu yakin baik-baik aja? Tempat lain? Kamu septerti bukan Riska.”
“Maksud
kamu apa sih Dev?”
“Aku
tahu kamu masih sakit hati sama Huda, dan kamu belum bisa ngelupain
itu. Tapi percayalah waktu bakal menghapus semua itu. Kamu harus
berpikiran jernih jangan kaya gini.”
“Maksud
kamu aku gila gara-gara Huda, kok kamu tega sih Dev?”
“Aku
bukan bilang kamu gila, tapi pikiran kamu itu, cowok, tempat lain,
taman, air mancur, bunga mawar, kunang-kunang, kamu Cuma berkhayal
Ris.”
“Itu
nyata Dev.”
“Itu
mimpi.”
“Mimpi
yang nyata.”
“Sudahlah
aku capek ngomong sama kamu. Kamu seharusnya sadar di dunia ini cowok
itu nggak hanya satu.”
“Kamu
nggak ngerti apa-apa soal cowok tentang aku. Aku selalu kalah cantik,
kalah menarik dan selalu patah hati. Kamu nggak tahu Dev, karena kamu
nggak pernah ngerasain sakit yang aku rasa,” kataku dan langsung
meninggalkannya.
Pulang
sekolah aku tidak pulang. Aku pergi ke sebuah pantai yang masih
lumayan sepi di Pancer Door. Walaupun Devi bilang Riki Cuma khayalan
aku ingin mengikuti satu sarannya untuk melepaskan semua beban dengan
teriak.
“A.......AKU
BENCI KAMU HUD”
“KENAPA
SAAT AKU SUKA SAMA KAMU, KAMU MALAH SUKA SAMA ORANG LAIN?”
“DIA
TEMENKU HUD!!!!”
“KENAPA
CINTA NGGAK ADIL?”
“KENAPA
CINTA CUMA BISA BUAT AKU PATAH HATI? KENAPA? KENAPA? KENAPA?”
dengan tenggorokan yang sudah kering dan air mata yang membanjir aku
terduduk di atas pasir masih terus menangis. Di balik pandan yang
rimbun Devi ikut menangis.
“Kamu
kenapa? Malam ini kamu murung banget?” tanya Riki.
“Aku
lagi marahan sama temenku.”
“Kenapa?”
“Dia
ngatain aku gila.”
“Kok
bisa?”
“Sebenernya
aku lagi patah hati gara-gara orang yang aku suka, suka sama teman
aku sendiri. Ditambah aku cerita tentang ketemu kamu, dia ngatain
pikiranku udah nggak beres.”
“Kalian
berantem gara-gara itu?”
“Lebih
tepatnya aku ninggalin dia tadi.”
“Kalau
menurutku mendingan kamu baikan deh, nggak baik marahan sama temen
yang peduli sama kamu.”
“Darimana
kamu tahu dia peduli sama aku, bahkan dia nggak tahu gimana rasanya
jadi cewek seperti aku?”
“Kamu
harus buka mata kamu buat lihat orang-orang yang beneran ngertiin
kmau, jangan sampai nyesel di kemudian hari,” katanya. Aku diam,
kami berdua diam.
“Rik?”
“Iya.”
“Menurut
kamu cinta itu apa?”
“Cinta?
Cinta itu anugrah yang indah buat aku.”
“Kalau
cinta itu anugrah kenapa cinta selalu nyakitin aku?”
“Cinta
nggak nyakitin kamu Ris, dia Cuma nunjukin mana yang baik dan yang
nggak baik buat kamu. Seharusnya kamu bersyukur dengan begitu kamu
bisa mendapatkan yang jauh lebih baik.”
“Tapi
kapan aku bisa menemukan yang terbaik?”
“Suatu
hari pasti kamu akan menemukannya.”
Aku
memandangnya. Andai kamu nyata Ri, kau ingin kamu yang jadi orang
terbaik itu.
***
“Dev,
aku minta maaf soal yang kemarin,” kataku di depan Devi. Di
belakang punggung taanganku saling meremas, cemas.
“Aku
yang seharusnya minta maaf sama kamu. Aku nggak bisa ngertiin
perasaan kamu, aku....” kata Devi.
“Udah
Dev, udah, aku udah baik-baik aja kok.”
“Jadi
kita baikan nih?”
“Jelas
dong, kamukan temanku yang paling baik. Apalagi kalau kamu mau
nraktir aku di es krim goreng lagi.”
“Ih,
ogah, kamu makannya rakus.”
“Hahaha,
bercanda, aku yang beliin.”
“Kalau
itu aku baru mau.”
Ini
malam ke enam aku bertemu Riki di tempat yang sama. Hari ini juga
untuk pertama kali aku dapat menangkap kunang-kunang dengan tanganku.
“Hore....akhirnya
kau berhasil juga,” seruku kegirangan. Sedang Riki hanya tersenyum
mengejek, “baru sekali aja udah heboh.”
“Yang
pentingkan udah bisa nangkep,” kataku membela diri. Aku duduk di
atas rumput diikuti Riki.
“Rik,
kamu tahu nggak?” tanyaku.
“Tahu
apa?”
“Walaupun
aku Cuma bertemu kamu setiap malam, aku ngerasa nyaman, aku ngerasa
kamu selalu ada di dekat aku.”
“Masak
sih? So sweet banget.”
“Ih,
Riki. Aku serius nih, padahal aku belum lama kenal sama kamu, bahkan
aku nggak tahu dari mana asal kamu, tapi aku ngerasa........”
“Ngerasa
apa?”
“Aku......”
“Kring......kring........kring..........”
suara itu keburu berbunyi sebelum aku selesai bicara. “Kayanya kamu
mesti pulang, sampai besok ya,” kata Riki.
“Riki,
tapi aku mau bilang kalau aku......” Aku mematikan jam weker dan
menaruhnya di meja lagi. “Aku suka sama kamu Rik,” kataku
meneruskan kalimatku yang belum usai, “walau kamu Cuma ada dalam
mimpi.”
***
“Dev,
kamu bener aku sudah gila,” kataku pagi ini.
“Kok
kamu tiba-tiba ngomong begitu? Ada apa?”
“Aku
suka sama cowok yang ada di mimpi aku.”
“Ha???”
“Iya,
aku ngerasa dia ada, dia berwujud, aku beneran udah gila Dev.”
“Kamu
jangan ngomong begitu, semuanya pasti bisa diselesein. Kamu bisa
deskripsiin orangnya nggak?”
“Bisalah,
kan tiap malam aku lihat dia, tapi mau buat apa?”
“Mungkin
aja dia itu emang ada di sini. Tapi kita nggak nyadar, dengan
menggambar sketsanya aku bisa bantu kamu cari orangnya.”
“Wah,
kamu pinter juga Dev.”
Aku
mendeskripsikan Riki pada Devi, “dia orangnya kurus, tingginya
sekitar 170 cm, kulitnya putih, rambutnya hitam dan wajahnya lonjong,
rambutnya menyentuh kerah dan dibuat poni, tapi lebih sering disisir
ke belakang, dia manis......”
“Cukup,”
potong Devi.
“:Kenapa
Dev?”
“Manis?
Emang manis bisa digambar apa?”
“Ya,
mungkin aja kamu bisa melukiskan orang manis itu gimana.”
“Aku
gambarin gula aja sekalian.”
“Kamu
bisa aja.”
Setelah
cukup lama.
“Jadi.....”
seru Devi. Aku memandangi gambar buataannya. “Kamu berbakat juga,
emang gini mukanya, ya...lebih gantengan yang asli sih.”
“Terus
mau apa lagi nih?” tanyaku.
“Kamu
itu nggak bakal mimpiin dia kalau kamu belum lihat dia sebelumnya.
Menurut perkiraanku dia ada di sekitar kamu tapi kamu nggak nyadar
aja.”
“Gitu
ya?” tanyaku sambil garuk-garuk kepala.
“Mungkin,
ayo mumpung kita masih punya waktu.”
“Iya
deh.”
Kita
berdua mulai mengitari sekolah.
“Nggak
mungkinlah dia ada di sekolah ini, aku kenal semua cowok di sini,
orang anaknya Cuma dikit gitu,” kataku lalu menenggak satu gelas es
teh, kecapekan.
“Habis
di mana lagi kamu ketemu sama dia?”
“Mungkin
aja di jalan pas pulang sekoalh atau di mana gitu?”
“Kamu
inget orang yang kaya gini nggak?”
“Ya
mana aku bisa ingat orang banyak gitu?”
“Heh....gagal
dong.”
“Mau
gimana lagi?”
***
Aku
dan Riki sedang memandangi langit sambil berbaring di atas rumput.
“Iya,”
jawab Riki pendek.
“Rik,
kamu kenapa? Malam ini kamu nggak kaya biasanya?”
“Aku?
Aku baik-baik aja kok.”
“Ayo
cerita, kamu ada apa?”
“Nggak
ada apa-apa suwer,” katanya meyakinkan.
“Ya
udah deh,” aku menyerah.
“Ris?”
katanya kemudian.
“Iya,
ada apa?”
“Aku
mau ngomong sesuatu sama kamu,” kata Riki.
“Ngomong
apa?” tanyaku penasaran. Jangan jangan Riki mau nembak aku?
“Kamu
masih ingatkan alasan aku ada di sini?” katanya lagi.
“Alasan?
Oh, yang kamu harus nemuin seseorang di sini kan?”
Riki
mengangguk. “Terus? Kamu udah ketemu sama dia?” tanyaku.
“Sudah.”
“Terus
sekarang dia di mana?” aku celingukan mencarinya.,
“Dia
ada disampingku, tepat disampingku,” kata Riki sambil memandangku.
Aku balas memandangnya dan menunjuk diriku sendiri, bingung.
“Iya,
orang itu kamu,” kata Riki.
“Aku?”
“Iya
aku juga punya satu rahasia yang aku sembunyiin dari kamu.”
“Apa?”
“Seharusnya
kita nggak ketemu lagi sejak kita pertama kali ketemu.”
“Tapi
kenapa kita masih bisa ketemu?”
“ Aku
memintanya, aku ingin selalu berada disampingmu sejak saat itu, kamu
buat hidup aku lebih berwarna semenjak saat itu. Tapi aku hanya
diijinkan untuk bersama kamu sampai malam ini.”
“Jadi
maksud kamu mulai malam ini kita nggak bisa ketemu lagi?”
“Iya.”
“Tapi
kenapa? Kenapa kamu baru bilang sekarang Riki? Kamu nggak tahu apa
yang aku rasain sekarang. Kamu jahat Riki,” aku bangkit dan berlari
menjauh darinya.
“Aku
minta maaf, aku minta maaf Ris,” katanya.
“Aku
Cuma pengen bareng-bareng sama kamu,” tambahnya.
“Kamu
sama aja kaya cowok lain, Cuma bisa kasih aku harapan palsu, kamu
jahat Riki, kamu jahat.”
“Ris,
aku nggak bermaksud gitu,” dia mencoba meraih tanganku yang
langsung aku tepis.
“Nggak
Rik, enggak, kita harus tetep bisa ketemu. Kamu nggak bisa ninggalin
aku.”
“Ris.”
“Pliss
Rik!”
“Aku.......”
“Kring......kring......kring.......”
Aku
terbangun sambil menangis.
***
“Kenapa
muka kamu sedih gitu?” tanya Devi.
“Enggak
kenapa kenapa.”
“Jangan
bohong, aku tahu kamu kali.”
“Dia
bilang dia nggak akan bisa ketemu aku lagi,” kataku.
“Maksud
kamu Riki yang ada dalam mimpi kamu itu?”
“Iya,
dia bilang waktunya udah abis,” kataku dan menceritakan kejadian
tadi malam.
“Sudahlah,
bagus kamu nggak harus berharap pada sesuatu yang nggak pasti seperti
itu.”
“Gitu
ya? Padahal dia cowok yang paling ngertiin aku.”
“Ris,
kalau menurutku dia itu bagian dari diri kamu sendiri. Alam bawah
sadar kamu menginginkan sosok seperti dia dia hadir dalam hidup kamu
dan dia muncul dalam mimpi kamu.”
“Kamu
bener juga soal itu. Tumben kamu bisa jadi psilolog?”
“Ngeremehin,
demi kamu aku rela mandangin komputerdan baca buku-buku tebal dari
perpus tentang psikologi tau.”
“Haha,
sampai segitunya, makasih deh kamu emang best friendku.”
***
Sejak
malam itu aku tak pernah bisa pergi ke taman itu lagi. Bunga mawar
itu juga sudah mengering di pagi ke empat tanpa mimpi tentang Riki
lagi. Aku menarif nafas panjang sebelum bangun untuk mandi.
***
Pagi
ini kelasku bising sekali. Aku sedang berdebat dengan Devi tentang
tempat nongkrong yang asyik malam ini. “Alun-alun aja kan deket,
kamu bisa naik becak cinta sama pacar kamu,” usulku.
“Pantai
aja, kan lebih romantis.”
“Dingin.”
“Kan
aku punya pacar.”
“Aku?”
“IDL”
“Apaan
tuh?”
“Itu
derita loe.”
“Sialan.”
“Assalamualaiku,”
sapa wali kelasku Bu Etik. Di belakangnya ada seorang cowok memakai
seragam berbeda dari kami berjalan mengikutinya.
“Anak-anak,
Ibu punya kabar gembiara buat kalian, kita akan dapat teman baru
mulai semester ini.” Bu Etik melihat ke arah cowok itu. Aku dan
Devi bengong menatapnya tidak percaya.
“Ini
mustahil,” kata Devi lirih. Cowok itu memandang ke arahku dan
tersenyum. Di sebelahku Devi sibuk mengeluarkan sketsa wajah dari
tasnya dan mencoba mencocokkna wajahnya.
“Ini
nggak mungkin.”
“Silahkan
kamu perkenalkan diri kamu,” kata Bu Etik.
“Selamat
pagi! Nama saya Riki asal SMK xxxxx. Saya pindahan dari Surabaya dan
sekarang tinggal di Sirnoboyo.”
“Riki?
Ris, namanya Riki?” tanya Devi lirih. Aku mengangguk masih
menatapnya takjub. Jadi itu.....
Pulang
sekolah aku langsung ke parkiran. Hari ini aku bete banget, belum
apa-apa Riki udah dikerumunin banyak cewek. Nggak nyangka juga dia
jadi tambah cakep kalau pakai seragam sekolah. Sayangnya dia bukan
Riki yang ada di mimpi aku.
“Hi,”
sapa seseorang. Aku menoleh kearahnya, tidak menjawab hanya
menatapnya begitu juga Riki.
“Nggak
kangen nih?” tanyanya.
“Kangen?
Kangen apa?” tanyaku cuek sambil mencoba mengeluarkan motorku yang
kejepit.
“Masak
kamu nggak ngenalin aku?”
“Emang
kamu siapa?”
“Beneran
kamu nggak inget?”
“Enggak,
aku nggak inget,” kataku ketus.
“Ya
udah deh, kalau gitu aku pergi aja.”
Dia
berjalan menjauh.
“Riki
tunggu,” seruku.
“Iya.”
“Kamu
bener Riki dalam mimpi aku?”
Dia
tersenyum.
“Tapi
kata Devi kamu nggak nyata. Kamu hanya khayalan dari alam bawah
sadarku aja.”
“Temen
kamu bisa salahkan?”
“Tapi
kata kamu kita nggak akan ketemu lagi?”
Riki
berjalan mendekati aku lagi.
“Emang
kita nggak bisa ketemu lagi.”
“Tapi
kamu ada di sini?”
“Kita
nggak akan bertemu dalam mimpi lagi, karena mulai hari ini kita bisa
bertemu di dunia nyata, “ katanya. “Lagian aku masih hutang
sesuatu sama kamu,” lanjutnya.
“Apa?”
“Hutang
bilang sesuatu sama kamu,” katanya. Perlahan dia mendekatkan
wajahnya ke arahku dan membisikkkan sesuatu di telingaku, “aku
sayang sama kamu, aku pengen menemani kamu selamanya.” Aku membeku,
“kamu mau nggak jadi pacar aku?” dia mengeluarkan mawar merah.
“Ris,
kok nggak dijawab?”
Aku
masih tetap diam.
“Ris,
kamu tahukan di sana tadi banyak banget cewek yang ngefans sama aku?”
“Dih,
PD banget,” sahutku.
“Terus?
Terima dong.”
Malu-malu
aku mengambil bunga di tangannya.
“Iya,”
kataku.
“Iya
apa nih?”
“Ya,
iya yang tadi.”
“Kurang
jelas dong.”
“Ya,
yang tadi.”
“Aku
mau denger lengkap.”
“Jangan
rese deh.”
“Ayo
dong, please,” pintanya.
“Iya,
aku mau jadi pacar kamu,” kataku akhirnya.
“Gitu
dong,” katanya senang.
“Cie...akhirnya
temenku punya pacar juga,” kata Devi yang tiba-tiba nongol.
“Kok
kamu di sini?”
“Rik,
kalalu mau nembak cewek tuh mbok ditempat yang lebih romantis dikit,
nembak cewek di parkiran.”
“Ya,
yang pentingkan diterima.”
“Hmmmm,
berarti entar malem kita bisa double date dong?”
Riki
memandangku sebelum bilang, “ok.”
“Sudah
aku bilangkan kamu bakal dapat yang terbaik. Sekarang kamu bakal
bikin cewek-cewek satu sekolahan nangis darah, “ kata Devi.
“Kenapa?”
“Pacar
kamu cucok cyinnnnn”
“Bisa
aja”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar