Pages

Kamis, 21 Januari 2016

Bulan Bintang



Bulan memetik buah Bintang yang sedang berbuah, seperti maling dia memangkas habis seluruh buah yang dimiliki Bintang. Lalu tiba-tiba Bintang muncul, kaget melihat Bulan memasukkan buah-buah Bintang ke dalam karung.
“Apa yang kau lakukan Bulan?”
Bulan berbalik, antara malu karena tertangkap basah dan marah. “Aku juga menanamnya, tak bolehkah aku memetiknya juga?” katanya dengan nada menantang.
“Tapi bukannya kita sudah punya perjanjian untuk memetiknya setelah semuanya telah siap?”
“Bintang, aku tak peduli lagi dengan janji kita, lagian aku sudah muak tinggal bersamamu, aku mau pergi dengan buah-buah ini. Dan ingat Bintang,” Bulan mengacungkan tangannya ke arah Bulan “aku ikut menanam buah-buah ini jadi kau tidak bisa mengatakan aku pencuri, aku hanya mengambil bagianku saja.”
“Bulan, kalaupun kamu mau mengambil seluruhnya untukmu, aku tidak mengapa, aku bisa menanamnya kembali, aku hanya ingin tahu kenapa kamu memetiknya sekarang?”
“Bintang,Bintang, kamu ini bodoh apa gila? Kamu mau menyerahkan semuanya untukku, hahahaha, aku tidak percaya Bintang,” kata Bulan.
“Aku sungguh-sungguh Bulan,” kata Bintang.
“Terserahlah, aku tak mau mempercayaimu, yang jelas aku lelah bersamamu, kau tahu selama aku bersamamu, aku hanya menjadi bayang-bayangmu. Kamu tahu Bintang, aku marah jika tiap hari orang-orang selalu memujimu, memuji ladangmu yang gembur, memuji tanamanmu yang hijau, memuji panenmu yang melimpah ruah, aku benci dengan semua itu Bintang. Aku ingin mengatakan pada mereka bahwa aku juga ikut andil dalam lestarinya ladangmu. Tapi kamu tak merasa, dan mereka juga tak mau membuka mata. Jadi Bintang, biarkan aku pergi.”
“Bulan, jangan tinggalkan aku,” Bintang menggenggam tangan Bulan erat. Bulan pun dengan lengan kokohnya menepis tangan Bintang.
“Aku mohon tetaplah tinggal Bulan,” pinta Bintang. “Akan aku katakan pada semuanya bahwa kamu juga ikut dalam mengolah ladang kita, akan kukatakan bahwa kamu juga ada di sana.”
“Percuma Bintang, bicaramu saat ini sudah tak ada lagi guna, aku juga bukanlah orang yang akan memohon untuk diakui, aku hanya ingin pergi, darimu,” Bulan memandang Bintang dan berlari pergi.
“Bulan kembalilah, maafkan aku jika kamu merasa seperti itu. Kalau kau tahu aku tak peduli dengan perkataan orang-orang itu, aku pikir kamu juga merasa mendapat pujian itu. Bulan aku mohon kembalilah.”
Bulan hilang dari pandangan Bintang.
“Kamu lihat Bintang, aku akan lebih bersinar dibandingkan kamu mulai sekarang,” kata Bulan sambil memandang keramaian yang ada di depannya.
Sejak saat itu Bulan bekerja keras, sendirian, untuk menjadikan dirinya terang. Sedangkan Bintang meninggalkan ladang dan kampungnya untuk mencari Bulan. Jika Bulan, bekerja keras untuk bisa diakui di tempatnya, Bintang dengan sendirinya dapat bersinar di tempat yang ia singgahi. Namun, potongan tubuhnya selalu tertinggal di tempat yang baru dia singgahi.
Bintang sudah menjelajah banyak tempat untuk menemukan Bulan, dan semakin lama tubuhnya mulai memudar. Suatu saat, ketika dia tak punya potongan tubuh yang banyak dia mendengar kabar tentang keberadaan Bulan. Bulan ada di kota setelah kota yang dia singgahi. Bintang sangat senang, dan dengan semangat dan air mata kerinduan dia berlari menemui Bulan.
Saat itu, Bintang sudah sampai di tempat Bulan, Bulan sedang dikerumuni orang banyak, namun Bintang bisa melihat Bulan yang merasa kesepian. Bintang ingin memanggil dan berlari untuk memeluknya. Namun, kota terakhir yang dilalui sudah mengikis habis potongan tubuhnya, Bintang tak bisa pergi ke kota Bulan. Bintang sangat sedih, padahal dia sudah menunggu lama untuk jujur pada Bulan, bahwa Bintang sangat menyayangi Bulan. Tangisan Bulan terdengar oleh semua potongan tubuhnya yang tersebar di banyak kota. Potongan tubuh itu pun ikut menangis bersama Bintang. Jadinya Bintang dan potongan tubuhnya hanya bisa melihat Bulan dari tempatnya masing-masing. “Setidaknya kamu sudah mendapatkan apa yang kamu inginkan Bulan,” kata Bintang yang sudah ikhlas dengan kehidupanya sekarang. “Kamu harus tahu Bulan, walaupun kamu jauh dari aku, aku akan selalu ada dekat denganmu, selalu dekat denganmu,”
Bulan, di kotanya sedang merenung sendirian, “aku merindukanmu Bintang, terang sendirian awalnya memang menyenangkan tapi aku lebih senang jika setidaknya ada kamu di sini. Kira-kira di sana kamu sedang apa Bintang?

Minggu, 17 Januari 2016

Kangen Kamu



Saya pulang, seharusnya saya mengatakannya sejak hari Rabu minggu lalu. Ya, saya memang tidak merasa kalau sudah satu minggu ini saya menghirup udara Pacitan lagi di akhir tahun 2015. Entahlah, mungkin karena aroma tahun baru yang semerbak sampai sampul Al-quran dijadikan terompet, saya jadi ingat masa SMK saya. To the point saja, saya merindukan teman teman saya.
Saya jadi penasaran apa mereka juga merindukan seperti saya, yang saya tahu mereka pasti sedang sibuk. Soalnya ketika saya sibuk saya juga tak punya kesempatan untuk sekedar bernostalgia tentang masa lalu saya.
Yah, sayang sekali kalau begitu, sistem masuk dan libur di kampusku menjadikan aku sosok perindu yang kesepian. Di tambah ini libur pamjang, saya jadi tak punya kesempatan untuk sekedar menengok kondisi sekolah yang sudah 1 setengah tahun saya tinggalkan.
Apakah bangku-bangku, ruangan-ruangan, papan tulis, boardmarker segala tetek bengek di sana merindukan saya? Saya berharap meski teman-teman tak punya waktu untuk sekedar saling merindukan, benda-benda itu masih bisa merindukan saya. Merindukan saat saya bercanda, usil, sampai menangis di dalamnya.
Yah, sebenarnya lebih dari itu saya ingin teman teman saya yang merindukan saya, lalu tiba tiba, "hey main yuk, tak gonceng wes" saya memang sering berkhayal, tapi untuk saat ini itu yang terlintas di pikiran saya. Saya sangat merindukan tawa mereka, bahkan untuk troublemaker yang sering membuat saya mencak mencak, saya merindukan mereka. Ah, mudah mudahan kalian semua naik baik saja teman, sebaik hari yang cerah esok ini. Aku memang baru bangun beberapa menit lalu. Tapi, kalian pasti sudah mau berangkat untuk menyusun hari. Semangat ya, semoga apa yang kalian usahakan berhasil, dan kita bisa berjumpa lagi dengan tawa suka cita lagi. Note ya: sampai kapanpun walaupun kalian tak sempurna tapi kalianlah teman teman saya yang apa adanya, tak menutup nutupi kekurangan, tak menutupi kelicikan, yah, mungkin aku yang masih menutup mata. Setidaknya aku menjadi apa adanya di  depan kalian bukan? Dan walaupun agak sesak kalian masih saja merangkulku, terima kasih ya sudah membuatku teringat kalian hari ini, semoga kerja dan studi kalian lancar. Ah,  entah ini dari hati atau bawaan euforia kangen saya, saya begitu merindukan dan mencintai kalian semua. See next time yaa
Pacitan, 30 desember 2015

NGOCEH



Lagu koplo memang tidak  bisa aku banggakan jadi musik kaum intelek. Koplo bagiku hanya musik desa, didengarkan warga desa untuk menemani santap pagi, mendulang rezeki atau menikmati senja yang merayap pelan pelan. Tak bisa aku banggakan padamu seperti saat kau membanggakan musik waltz, jazz, maupun klasik. Musik koplo tidak akan membuatmu pandai seperti ketika kamu mendengarkan musik klasik, tidak cocok juga didengarkan ketika kau memakai jas di acara resmi. Musik koplo itu musik petani pegunungan untuk menghangatkan diri saat kedinginan, dan mengoplos alam agar memberikan suntikan gairah semangat untuk tetap berusaha mencokel pundi pundi rupiah.
Jika kau dengar setiap kali ada pentas musik koplo kau temukan kerusuhan, aku tak tahu apakah itu sudah jadi budaya, namun yang harus kau tahu itu cara mereka menikmati hidup yang penuh perjuangan. Ya aku hanya bisa menduga seperti itu karena aku tidak turut ikut berjejalan bersama mereka di bawah panggung yang nempertontonkan goyang maut penyanyinya.
Aku, hanya penyuka musik koplo. Bukan berarti aku harus turun ke bawah panggung itu. Aku penyuka musik koplo, karena ketika aku mendengarnya aku menemukan diriku yang dulu. Bebas dan tanpa beban. Aku tak perlu berpura pura sok intelek dan sok bijak, duduk di barisan kursi-kursi mendengarkan ocehanmu tentang pembaharuan.
Kau tahu, aku lebih bisa memakimu dari dentuman gendang yang dimainkan dalam setiap lagu koplo. Lagu yang katanya bikin orang lupa dunia lupa akhirat. Kau tahu  aku paling waras saat itu, saat musik itu mengalun kewarasanku timbul kembali. Aku merasakan kesederhanaan merambat lagi di sekujur tubuhku membingkai aku dalam kedamaian.
Aku tak perlu duduk di kafe remang remang, berdiskusi dengan pakar ilmu masing masing bidang untuk belajar berfilsafat. Aku hanya cukup mendengar musik ini, sesekali ngumpul di teras-teras rumah, di warung-warung sego hek untuk berfilsafat sederhana. Tanpa buku ataupun gadget, tidak ingin diataskan tapi hanya untuk sekedar berbagi.
Kadang mereka berfilosofi tentang kopi, kadang mereka berfilosofi tentang rokok. Katanya kalo perokok berhenti merokok bagaimana nasib pembuat rokok. Bukannya mereka hidup dari rokok, dan perokok hanya ingin menjaga hidup mereka saja.
Kau pasti akan menyalahkan tapi juga mengiyakan seperti ketika aku mendengarnya. Tapi bukannya itu arti berbagi bagi mereka, berusaha memutar roda ekonomi agar semua orang bisa makan, beli baju, sekolah dan berobat.
Sedangkan kamu hanya sesekali berdebat, menetapkan kebijakan dan makan di restoran bintang enam. Iya kukatakan bintang enam, karena bintang lima sudah tak cukup bagimu bukan.
Koplo, koplo, koplo, mungkin musik ini membuatku gila hingga aku ngoceh sepanjang ini. Atau mungkin ini kondisi paling warasku? Yang jelas aku suka musik ini, musik yang mengisi pekat dingin yang ada di dadaku, karena keramahanmu penuh dengan puing puing es batu yang coba kau tanamkan di hatiku.
Koplo, koplo, koplo. Aku suka musik ini, karena ini gambaran keluargaku walaupun kami tak pernah bergoyang di bawah biduan itu. Kami hanya pendengar dan penikmat. Jika kau tak suka melihat aku yang sekarang silahkan menyingkir. Aku ingin tahu saja apa kau tidak tergoda dengan denting gendang yang rancak menghentak sanubarimu. Di sinilah kesederhanaan berjoget dalam suka maupun dukanya hidup. Baiklah silahkan berpikir atau pergi saja.
Pacitan, 30 desember 2015