Saya
mulai bertanya, akankah daun yang kuncup dan kini hijau akan gugur di musim
hujan tanpa alasan. Ya mungkin bukan berarti tanpa alasan, daun itu mungkin
tidak mampu menampung air hujan yang meluap tiba-tiba di tangkainya. Hanya saja
akankah dia harus gugur meski masih hijau, haruskah dia lepas dari pohon yang
membuatnya hidup selama ini. "kamu jangan gugur daun," nasehatku di
bawah kilat petir. Daun hanya tersenyum dan berkata, "aku sudah lelah
bertahan, dan aku takut meracuni tangkaiku yang subur lewat keraguan yang
kumiliki. Mungkin lepas dan hanyut bersama hujan bulan november akan lebih
menyelamatkan tangkaiku. Dan biarkan saja aku hanyut di hilir tanpa nama.
Doakan saja aku terlahir di tangkai yang punya penawar racunku, oh, iya
sampaikan pada tangkaiku ucapan selamat tinggal, aku tak berani mengatakan
padanya jika aku pergi bersama mendung yang luruh sore ini. Sampaikan juga
terima kasih karena telah mengijinkan
aku yang berbeda untuk menempel padanya" saya bukan tidak ingin memahami
ucapannya barusan, saya hanya ingin daun itu tetap bertahan, "kamu tidak
akan punya tempat untuk pulang daun, dia rumahmu," sudutku berharap dia
berubah pikiran. "pilihanku prinsipku, dan aku percaya tuhan punya banyak
rumah untuk disinggahi." aku menarik napas panjang, ingin menyusun
kalimat. Saat itu petir terakhir menyentak dan detik kemudian aku tak melihat
daun itu ditangkainya. "haruskah seperti ini?" aku terus bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar