Kursi ini begitu ramah
untukku. Hangatnya, nyamannya terasa dipantatku. Kursi ini begitu kokoh
menopang tubuhku yang sesekali melemah. Ketika aku merasa resah dan ketakutan
aku akan mencengkeramnya kuat-kuat. Seakan dia kan mengatakan padaku,
“tenanglah, ada aku yang akau menemanimu.” Atau ketika harapanku membuncah
tumpah aku akan mengetuk-ngetuk sisinya seakan kita sedang berkomunikasi dan
memberi penguatan dalam diam.
Kursi ini adalah teman
terbaikku. Dia punya nyawa saat bersentuhan denganku. Dia nyanyikan aku
lagu-lagu seru, saat hatiku gugup menderu. Mungkin dia jatuh cinta padaku,
padaku wanita yang lemah dan pasrah.
Suatu saat, dimana kami
benar-benar hanya berdua, kami bercengkerama membagi suka, meluluhkan luka. Dia
membelai rambutku sesekali, menenangkan riak-riak air yang kini menyibak
mataku. Kusandarkan tubuhku saat gemetar hebat merebak. Lelah tubuhku yang
menyenja lamat-lamat akan terurai dengan lembut belaiannya.
Sebaris kalimat penuh
harapan tercurah darinya, “tenanglah kamu akan baik-baik saja”
Bagiku kata-kata itu
tak lebih hanya air mendidih di tong yang sedang berada di tungku yang menyala.
Harapan itu akan menguap bersama berlalunya waktu. Meninggalkan kering dan
bercak hitam mengenaskan.
Itulah aku, wanita
senja menanti keputusan. Menunduk cemas, menyaruk kaki kurus ke lantai yang
keras. Sembari celoteh yang menyakitkan terdengar dan lolongan orang-orang tak
terima yang tak terdengarkan.
“Tenanglah, keadilan
selalu datang bagi orang yang benar,” masih saja dia menyemangatiku.
“Omong kosong,”
bentakku. Keadilan untukku hanya kutu di seberang lautan. Tak akan ada keadilan
bagi makhluk tanpa uang. Nasibnya hanya akan terbagi jadi dua, lebur bersama
angin yang mengalir dan terkubur dalam bersama nasib yang telah menyentuh
hidup.
Keadilan sekarang sudah
tak bernyawa lagi, atau sekarat di ranjang malas hotel bintang lama. Dia
terbaring koma, entah mimpi indah atau mimpi buruk. Keadilan mengkerut bersama
kasur busa yang ia tiduri, dan selimut tebal yang menyelimuti.
Keadilan tidur nyenyak,
ataukah dia mati. Orang mengiba di pelataran lampu berkedip, mengharap asa dari
mobil-mobil yang angkuh warna-warni. Namun, dia hanya pasrah mengamati layar
suram penuh bercak.
Bagiku keadilan tak ada
lagi, saat anakku menjerit aku hanya bisa menggoyang-goyangkan kakiku goyah
seperti anak kecil yang tertangkap basah. Memang apa salahku? Hingga kau
perlakukan aku seperti ini.
Beberapa hari yang lalu
kau tampakkan wajahmu di ambang pintu rumahku. Ketika aku bersiap tidur menanti
indahnya mimpi. Memang apa yang bisa diharapkan orang sepertiku. Hanya
mimpikan?
“Mengapa engkau datang hari
itu?” ingin kutanya padamu. Mengapa engkau datang hari itu, menembakkan
bias-bias lampu yang menyakiti mataku. Aku hanya ingin tidur hari itu.
Kubuka mataku yang
lemah hari itu. Ku dengarkan ocehan harap yang keluar dari mulutmu. Katamu, kau
akan datang membelaku hari ini, katamu semua akan baik saja jika kau ada di
sampingku.
Kutanya padamu hari
itu, “benar kau akan datang? Benar kau akan membelaku? Benar kau akan berteriak
lantang?”
Kau jawab hari itu
dengan penuh keyakinan, “aku pasti datang.” Ku sambut jawabanmu itu dengan isak
tangis kebahagiaan, kupeluk kau dengan sisa-sisa tenagaku. Aku pikir kau akan benar-benar
memberikan harapan. Nyatanya itu hanya puisi-puisi, kolom-kolom kata yang
usang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar