Pages

Rabu, 21 Oktober 2015

KoLoM KoSonG



Kursi ini begitu ramah untukku. Hangatnya, nyamannya terasa dipantatku. Kursi ini begitu kokoh menopang tubuhku yang sesekali melemah. Ketika aku merasa resah dan ketakutan aku akan mencengkeramnya kuat-kuat. Seakan dia kan mengatakan padaku, “tenanglah, ada aku yang akau menemanimu.” Atau ketika harapanku membuncah tumpah aku akan mengetuk-ngetuk sisinya seakan kita sedang berkomunikasi dan memberi penguatan dalam diam.
Kursi ini adalah teman terbaikku. Dia punya nyawa saat bersentuhan denganku. Dia nyanyikan aku lagu-lagu seru, saat hatiku gugup menderu. Mungkin dia jatuh cinta padaku, padaku wanita yang lemah dan pasrah.
Suatu saat, dimana kami benar-benar hanya berdua, kami bercengkerama membagi suka, meluluhkan luka. Dia membelai rambutku sesekali, menenangkan riak-riak air yang kini menyibak mataku. Kusandarkan tubuhku saat gemetar hebat merebak. Lelah tubuhku yang menyenja lamat-lamat akan terurai dengan lembut belaiannya.
Sebaris kalimat penuh harapan tercurah darinya, “tenanglah kamu akan baik-baik saja”
Bagiku kata-kata itu tak lebih hanya air mendidih di tong yang sedang berada di tungku yang menyala. Harapan itu akan menguap bersama berlalunya waktu. Meninggalkan kering dan bercak hitam mengenaskan.
Itulah aku, wanita senja menanti keputusan. Menunduk cemas, menyaruk kaki kurus ke lantai yang keras. Sembari celoteh yang menyakitkan terdengar dan lolongan orang-orang tak terima yang tak terdengarkan.
“Tenanglah, keadilan selalu datang bagi orang yang benar,” masih saja dia menyemangatiku.
“Omong kosong,” bentakku. Keadilan untukku hanya kutu di seberang lautan. Tak akan ada keadilan bagi makhluk tanpa uang. Nasibnya hanya akan terbagi jadi dua, lebur bersama angin yang mengalir dan terkubur dalam bersama nasib yang telah menyentuh hidup.
Keadilan sekarang sudah tak bernyawa lagi, atau sekarat di ranjang malas hotel bintang lama. Dia terbaring koma, entah mimpi indah atau mimpi buruk. Keadilan mengkerut bersama kasur busa yang ia tiduri, dan selimut tebal yang menyelimuti.
Keadilan tidur nyenyak, ataukah dia mati. Orang mengiba di pelataran lampu berkedip, mengharap asa dari mobil-mobil yang angkuh warna-warni. Namun, dia hanya pasrah mengamati layar suram penuh bercak.
Bagiku keadilan tak ada lagi, saat anakku menjerit aku hanya bisa menggoyang-goyangkan kakiku goyah seperti anak kecil yang tertangkap basah. Memang apa salahku? Hingga kau perlakukan aku seperti ini.
Beberapa hari yang lalu kau tampakkan wajahmu di ambang pintu rumahku. Ketika aku bersiap tidur menanti indahnya mimpi. Memang apa yang bisa diharapkan orang sepertiku. Hanya mimpikan?
“Mengapa engkau datang hari itu?” ingin kutanya padamu. Mengapa engkau datang hari itu, menembakkan bias-bias lampu yang menyakiti mataku. Aku hanya ingin tidur hari itu.
Kubuka mataku yang lemah hari itu. Ku dengarkan ocehan harap yang keluar dari mulutmu. Katamu, kau akan datang membelaku hari ini, katamu semua akan baik saja jika kau ada di sampingku.
Kutanya padamu hari itu, “benar kau akan datang? Benar kau akan membelaku? Benar kau akan berteriak lantang?”
Kau jawab hari itu dengan penuh keyakinan, “aku pasti datang.” Ku sambut jawabanmu itu dengan isak tangis kebahagiaan, kupeluk kau dengan sisa-sisa tenagaku. Aku pikir kau akan benar-benar memberikan harapan. Nyatanya itu hanya puisi-puisi, kolom-kolom kata yang usang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar