Rabu pagi itu, matahari pukul setengah
sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di
dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan
bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata
motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah
ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan
sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu,
tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan
hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang
terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah
pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong,
hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya
ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai
dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami
berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa
lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih
tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya
kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara
hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan. Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu
pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah
maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna
permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya
dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan
lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa
catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah
pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung
rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai
akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di
kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli
pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan
putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada
kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya
bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna
teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri
penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus
memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL
dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan
yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara
kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang
sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu
bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban
tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu
tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh.
Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya
rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap
dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari.
Selamat sore Salim :* :*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar