Pages

Kamis, 27 Oktober 2016

Salim : Kuli Rawis



Rabu pagi itu, matahari pukul setengah sepuluh menyentuh ubun-ubun. Menyengat, menguapkan panas yang tersimpan di dalam tubuh. Pagi itu, aku dengan Salim memarkir sepeda motor di tepi jalan bersama ratusan motor yang lain. Beberapa tukang parker tampak sibuk menata motor yang terus menerus datang dan mengarahkan pada tempat yang masih kosong.
Salim mengajakku menaiki trotoar, melangkah ke atas sebuah undakan agak tinggi menyerupai panggung dan menuruni dua undakan sempit.Kami menyusuri lapak-lapak pedagang yang menjual beraneka ragam sepatu, tas, dan pernak-pernik lainnya.
Tetapi Salim mengajakku tetap berjalan dan hanya melintas mengamati tas-tas yang tergantung manja dari tali-tali yang terjulur. Salim mengajakku menaiki undakan yang jauh lebih tinggi menuju sebuah pintu bangunan besar.
Kami disambut ruangan luas yang kosong, hanya ada meja security yang teronggok sendirian tanpa penjaga. Lainnya ruangan-ruangan yang memadati pinggir bangunan terbuka menampilkan berbagai dagangan mulai dari keset,sepatu, sandal, tas dan sebagainya.
Salim menatap bagian kiri dari tempat kami berdiri dan kecewa karena toko itu tidak buka. Setelah dia tertegun beberapa lama,tangannya lantas menarikku ke salah satu lorong di sebelah kanan.
“Toko di sana lebih murah,” keluhnya masih tetap menggenggam tanganku.
“Emang iya ta?” tanyaku.
“Iya,” jawabnya singkat sebelum akhirnya kami tiba di ujung lorong dan bertemu dengan kios kain yang sangat besar. Udara hangat cakap-cakap langsung menghiasi langit-langit ruangan.  Salim memasuki kios itu mendatangi salah satu pelayan yang langsung menyambutnya ramah. Aku pikir mereka telah lama mengenal.
“Bu,saya mau warna hijau toskanya 2, merah maroonnya 1,” ucap Salim cekatan. Ibu itupun langsung mengambilkan warna permintaan salim. Mengukur dengan meteran kayu, menandai, dan memotongnya dengan gunting besar. Dalam sekejap potongan kain itu sudah tertumpuk dengan lipatan rapi.
Disampingku Salim masih memeriksa catatannya, melihat kembali pesanan warna dari teman-temannya. Ya, Salim adalah pembuat kerudung rawis. Sejak awal semester lalu Salim bergiat membuat kerudung rawis untuk mencukupi kebutuhan hidup dan kuliahnya. Dia promosi di berbagai akun sosial media mendapatkan banyak pesanan, membeli kain, dan merawisnya di kos-kosan. Dan hari ini aku kebagian kesempatan untuk menemaninya membeli pesanan kain.
Salim masih berhitung, memeriksa catatan putih kecil yang ada di tangannya. Sedangkan aku menatap ingin tahu pada kain-kain dengan berbagai macam warna dan tekstur. Aku akui Salim memang punya bakat dalam memadukan warna. Dia penerjemah yang baik ketika membelikan pesanan warna teman-temannya yang Cuma berbentuk kata-kata.
Dia punya naluri penerjemah warna, juga naluri pembisnis. Bagaimana tidak, dia harus memutar-mutar uang dagangannya, untuk membeli bahan, membayar kos, membayar KKL dan tidak jarang Salim membelikan kado untuk adiknya.
Salim pemegang keuangan yang ulung, selain memanajemen keuangannya dia juga ditunjuk sebagai bendahara kelas. Jika kamu pertama kali bertemu Salim kamu pikir dia adalah orang yang sangat lembut, tidak banyak bicara dan cenderung diam. Yah... itu dugaan awalmu bukan, walaupun nadanya manis, rendah,dan pelan Salim akan memikat korban tarikan uang kas kelasnya bagai cicak menangkap nyamuk. Happp, orang-orang itu tidak akan dapat menghindarinya.
Salim, orang yang kekeuh. Kekeuh memanejemen segala hal, kekeuh dalam berkreasi, terutama untuk karya rawisannya. Ya Lim, maaf mencatut namamu di tulisanku ini. Tapi aku harap dengan perjuanganmu ini kamu akan dapat hasil yang terbaik di kemudian hari. Selamat sore Salim :* :*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar