Pages

Senin, 21 November 2016

sumber maron: piknik tipis-tipis

Ada saatnya seseorang lari dari kesibukan bukan? Kalau tidak punya waktu, curi saja sedikit, satu jam, dua jam, kalau bisa seharian saja. Matikan saja handphone kesayanganmu yang selalu berbunyi itu, yang menyuruhmu ini itu dan masih dilabeli dengan kata "salah". Bukankah itu membosankan, boleh saja kau bawa si kecil yang gemar berdering itu, tapi tanpa paket data hingga bunyinya yang seperti ketukan pintu itu tak membuatmu harus membukanya.
Ya, mari nikmati akhir pekan ini dengan sangat bahagia, tanpa celoteh orang-orang yang protes atau respon yang terlampau lama. Sudah, untuk sesaat saja lupakan semua tumpukan tugasmu, lupakan lusinan tanggung jawabmu, lupakan pertanyaan yang bakal menghantui mimpi malammu.
Sekarang waktunya menemui alam, menyapa langit yang masih biru dan mentari yang masih terang tanpa halangan. Mari menikmati jalanan aspal yang berkelok naik turun, mari bercengkerama dengan tebu-tebu yang tumbuh hampir di seluruh tepian jalan, melambai manis dalam kehijauan.
Sesekali hiruplah aroma manis gula-gula yang mendidih lewat corong-corong asap yang mengepul putih. Cium aroma gula itu sebelum larut bersama teh dan kopi di pagi hari. Dan cobalah memahami, di sepanjang aspal yang kau lewati ada sejarah masa lalu yang mulai terlupakan, sebuah lajur kereta, rel di tepian jalan yang tertimbun tanah hitam dan tertanam rumput-rumput liar. Ah, betapa indahnya jika dulu aku dapat melihat gerbong-gerbong kereta berjajar dari tempatku melaju, berkejaran. Sayang, siluet masa lalu itupun mulai menghilang, seiring jalan yang berkelok dan perempatan pasar. Patung garuda yang gagah mengawasi pergerakan kerumunan pasar dan menunjukiku arah kiri untuk melaju, memacu gas melewati himpitan toko-toko yang menjual sepatu, kain, dan makanan, menembus perkampungan dan sekolah hingga sampai di sebuah rumah dengan pohon rambutan tumbuh rendah di halamannya.
Panas memakan waktu dengan lahap, dan mendung sudah bersiap untuk menyudahi, gas yang belum dingin dipacu kembali, berlomba dengan mendung yang berkonvoi di ujung langit.
Setengah jam, waktu merekam jejak-jejak pasar kembali, menengok masjid-masjid megah dengan banyak ukiran, berwarna lembut disiram riak-riak mentari. Jalan mulai sepi, pohon-pohon mendominasi jalan yang semakin mengecil, berbelok di sebuah gang kecil, masih sepi, menuruni jalan setapak dan memarkir kuda besi bersama kawan-kawannya yang lain.
Kaki-kaki mulai berjalan menuju tempat karcis, berjalan ke bawah melewati jalan-jalan sempit yang dipadati warung dengan rincik air yang menggema memantul di atas batu-batu di bawahnya. Langkah mengikuti air, menyusuri jalan di sampingnya, melewati jembatan merah kecil, menurun lagi hingga sampai di sebuah warung berwarna kehijauan.
Loker disewa, baju diganti, ban di pesan, lalu dimulailah acara penghilang penat itu. Melemaskan otot-otot yang tegang karena perjalanan, sebuah kolam setinggi dada menanti kami. Setelah takut-takut akhirnya badan kami bisa masuk pada airnya yang jernih dan tenang, sebuah retorika alam yang indah, teduh, dan damai. Sebuah ketenangan dan kesegaran membasuh lelah yang menyita kebahagiaan. Walau pada akhirnya hanya bisa timbul tenggelam dan tidak mampu sempurna mengambang, cukuplah untuk menertawakan diri karena ketakutan pada air. Sebuah persepsi lama pun tertanggalkan, air tak selamanya mengerikan.
Phobia harus ditaklukkan, sekecil apapun kedatangannya jika tidak ingin mengakar dan jadi sesuatu yang tidak dapat dikendalikan. Alhasil ban-ban dihanyutkan, bersama gandengan tangan yang tak terlepaskan, walau akhirnya putus di tengah jalan. Arus membawa ketegangan, mengancam untuk menerkam, dan sebuah ketenangan diharuskan, karena pada akhirnya tenang akan meluluhkan. Alirannya tidak dalam, hanya arusnya cukup untuk membuat jantung berdebar-debar.
Senam jantung telah terlewati, phobia sudah menguap bersama gerimis yang datang sebentar. Relaksasi dibutuhkan untuk meredam kembali getaran, mengayun, kaki mengayun di atas ban, menikmati gerak air pelan yang tidak menghanyutkan. Relaksasi, mengingat alam, terapung-apung, terdorong, sebuah pesta kedamaian meresap di kedalaman hati di orkes deburan air yang turun dari lereng batu rendah, gemerisik.
Dan konser alam itu ditutup dengan pijat alami dari aliran air dari atas lereng, dihantam, dipukul-pukul pelan sampai bosan dan beranjak ke warung hijau yang menunggu dengan nasi goreng bekal, bergelas energen dan kopi, dan berpiring sempol dengan caos tomat pedas bercampur kecap. Tertawa, berbagi.

Malang, 19 November 2016
Adakalanya kebahagiaan hanya bisa dirasakan, tetapi tidak bisa dikatakan dan sesekali hanya bisa direkam untuk bahan ingatan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar