Pages

Sabtu, 12 November 2016

Hujan dan Aku

Satu minggu ini Malang hujan. Setiap tengah hari terlewati mendung akan menghitam dan turun jadi ribuan percik hujan. Satu minggu ini Malang hujan, setiap hari, tiap habis tengah hari, rintiknya akan jatuh di dedaunan, jalan, emperan toko, atap-atap rumah dan masih banyak lagi.
Satu minggu ini Malang menipu. Dan sekarang tipuan itu mulai bisa aku tebak. Malang tak benar-benar cerah seharian, walau ketika pagi diselimuti mentari, langit biru tak berdebu, namun, setiap kali matahari berada di puncak dan lengser ke barat ada gumpalan hitam awan yang akan menyusulnya. Menjadi sebuah tirai yang menutup pertunjukan kolosal biru di langit.
Kini hujan kembali menderas, membentur atap rumah, mencari tempat terendah untuk bermuara, dan aku ada di bawahnya, merasa terkutuk oleh alirannya yang tak kunjung mereda. Aku tidak suka hujan, aku benci mendengar suara hujan. Aku merasa terintimidasi oleh hujan, setiap kali mendengar hujan, aku seperti mendengar orang-orang meneriaki untuk berhenti, entah berhenti untuk apa. Dan aku merasa sangat lemah di bawah hujan.
Hujan memang dibutuhkan, karena kehidupan selalu membutuhkannya, untuk minum, makan, mencuci, bertanam dan yang lainnya. Tapi aku tak pernah menyukai hujan, aku sudah berhenti berlari di bawahnya seperti ketika kecil dulu. Kini aku tidak akan memaksakan diriku berlari dengan pelepah daun pisang dan menangis di bawahnya. Kini aku menghindari hujan, aku mengemas diri dalam kamar jika aku bertemu hujan, walau sesekali aku harus menembus lebatnya dengan kepayahan.
Ya, aku terlihat sangat lemah di bawah hujan. Aku seperti perang jika bertemu dengannya dan selalu kalah. Aku tak bisa sepertimu yang bisa bermain bersamanya, dan memeluk rinai-rinainya. Aku tidak pernah suka hujan, walau hujan membuatmu bahagia. Aku tidak pernah suka hujan, untuk sebuah alasan yang terlupakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar