Pages

Rabu, 10 Agustus 2016

SKENARIO

Malamnya sepi, hanya suara lirih laptop di kamar sebelah yang mengalirkan logat korea ke kamarku. Tidak seperti hari-hari yang lalu, televisi 14 inci yang tepat berada di depan kamarku kini terlelap, hanya lampu indikator warna merahnya yang menyala merah, marah karena tidak ada lagi yang mempedulikannya.
Ya, hidup memang selalu berubah sesuka hatinya. Rupa-rupanya dia ngikut saja pada dendangan  waktu yang mengalun pelan-pelan dari detik, menjadi menit, menjadi jam, menjadi hari, menjadi minggu, menjadi bulan, dan akhirnya menjadi tahun. Hidup seumpama anak kecil yang mengejar pelangi di angakasa berharap bisa bertemu ujung dan membelainya.
Hidup membuat pemainnya pada skenario skenario yang ditulis rapi entah sejak kapan. Menamparkan banyak pengalaman rasa sakit dan luka, lalu membiarkannya duduk terasing di tempat tersepi, biar tubuh  bisa merenung dan menata ulang lagi.
Aku berada pada ruang sepi itu, masih merasakan sayatan-sayatan perih yang sedang aku tutul dengan antibiotik harapan. Nyeri memang, tapi aku juga ingin menghibur diriku dengan masa lalu yang indah. Masa lalu saat orang-orang itu berada pada tempat yang aku pijaki saat ini.
Waktu itu aku masih sangat lugu. Aku bagai orang yang tinggal jauh dari kota dan tiba-tiba masuk dalam lingkungan serba luas dan bergerak sangat cepat. Lalu aku bertemu mereka, orang-orang yang banyak bicara dan cerita. Orang-orang yang tak lelah menjawab ketidaktahuanku, orang-orang yang aku kagumi. Mereka adalah orang-orang yang diam-diam aku pandangi dari jarak 20 meter dari tempatku berdiri, orang yang sering mengajakku diskusi, orang-orang yang menguatkan aku agar tetap tidak lelah bermimpi.
Namun, hidup yang kejam sering mengingatkan aku pada titik titik bahwa mereka akan menghilang pada waktunya. Dan mulai sejak saat itu sayatan itu muncul dalam hidupku. Awalnya hanya bekas merah namun lama-lama berdarah dan bernanah.
Semakin hari aku menyaksikan mereka semakin jauh dan hilang. Aku tidak bisa melihatnya sesering dulu atau bertukar pikiran seperti waktu-waktu yang lalu. Mereka sibuk dengan skenario hidupnya yang mulai berbeda denganku dan aku sendiri harus tetap melanjutkan skenarioku.
Lalu aku belajar untuk membiarkan mereka mulai jauh, aku mulai membiasakan mandi sakit hati setiap hari, setiap aku ingat bahwa skenario yang ditulis saat bersamaku akan habis besok atau lusa. Aku menyaksikan mereka dari jarak pandangku mulai menyelesaikan skenarionya, seminar, sidang, lalu yudisium.
Dan pada akhirnya televisi itu istirahat, tidak ada komentar komentar histeris saat melihat pasangan Boy dan Reva bersama, atau melihat serial Uttaran yang terlampau panjang. Pada pijakan ini, seharusnya aku yang menyalakan televisi itu, meneruskan tawa dan komentar histeris yang terulang setiap petang, mengusir penat dan lelah yang seharian menerjang.
Hari ini, aku pada tempat mereka tapi tak bisa berbuat seperti mereka. Dan aku masih tetap saja belum berdamai dengan masa lalu dan tetap berharap mereka tidak pergi. Aku tidak tahu bagaimana menyambut orang-orang baru yang akan mengisi separuh skenario yang tersisa. Apakah aku akan banyak bercerita seperti mereka? Apakah aku akan cukup untuk dihargai dengan tingkah selengekan dan penuh kejailan? Aku merasa belum pantas berdiri di tempat ini, belum pantas dituakan apalagi dijadikan panutan.
Hidup dan nyanyian waktulah yang akan memberikan jawaban. Jadi, untuk sementara biarkan saja aku di ruang sepiku, mengobati luka dengan mimpi dan harapan yang mulai kurajut lagi.

Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh kakak kakak yang pada tahun ini telah menyesaikan skenario S1 nya dan siap melangkah ke panggung wisuda. Aku ikut bangga karena kakak berhasil menyelesaikan skenario kakak, sekaligus merasa kehilangan karena kakak telah memberikan saya pengalaman yang sangat berharga. Terima kasih karena telah peduli dan terima kasih telah mengisi hidup saya meski sekarang harus cerai dan pergi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar