Malamnya sepi, hanya
suara lirih laptop di kamar sebelah yang mengalirkan logat korea ke kamarku. Tidak
seperti hari-hari yang lalu, televisi 14 inci yang tepat berada di depan
kamarku kini terlelap, hanya lampu indikator warna merahnya yang menyala merah,
marah karena tidak ada lagi yang mempedulikannya.
Ya, hidup memang
selalu berubah sesuka hatinya. Rupa-rupanya dia ngikut saja pada dendangan waktu yang mengalun pelan-pelan dari detik,
menjadi menit, menjadi jam, menjadi hari, menjadi minggu, menjadi bulan, dan
akhirnya menjadi tahun. Hidup seumpama anak kecil yang mengejar pelangi di
angakasa berharap bisa bertemu ujung dan membelainya.
Hidup membuat pemainnya
pada skenario skenario yang ditulis rapi entah sejak kapan. Menamparkan banyak
pengalaman rasa sakit dan luka, lalu membiarkannya duduk terasing di tempat
tersepi, biar tubuh bisa merenung dan
menata ulang lagi.
Aku berada pada
ruang sepi itu, masih merasakan sayatan-sayatan perih yang sedang aku tutul
dengan antibiotik harapan. Nyeri memang, tapi aku juga ingin menghibur diriku
dengan masa lalu yang indah. Masa lalu saat orang-orang itu berada pada tempat
yang aku pijaki saat ini.
Waktu itu aku masih
sangat lugu. Aku bagai orang yang tinggal jauh dari kota dan tiba-tiba masuk
dalam lingkungan serba luas dan bergerak sangat cepat. Lalu aku bertemu mereka,
orang-orang yang banyak bicara dan cerita. Orang-orang yang tak lelah menjawab
ketidaktahuanku, orang-orang yang aku kagumi. Mereka adalah orang-orang yang
diam-diam aku pandangi dari jarak 20 meter dari tempatku berdiri, orang yang
sering mengajakku diskusi, orang-orang yang menguatkan aku agar tetap tidak
lelah bermimpi.
Namun, hidup yang
kejam sering mengingatkan aku pada titik titik bahwa mereka akan menghilang
pada waktunya. Dan mulai sejak saat itu sayatan itu muncul dalam hidupku. Awalnya
hanya bekas merah namun lama-lama berdarah dan bernanah.
Semakin hari aku
menyaksikan mereka semakin jauh dan hilang. Aku tidak bisa melihatnya sesering
dulu atau bertukar pikiran seperti waktu-waktu yang lalu. Mereka sibuk dengan
skenario hidupnya yang mulai berbeda denganku dan aku sendiri harus tetap
melanjutkan skenarioku.
Lalu aku belajar
untuk membiarkan mereka mulai jauh, aku mulai membiasakan mandi sakit hati
setiap hari, setiap aku ingat bahwa skenario yang ditulis saat bersamaku akan
habis besok atau lusa. Aku menyaksikan mereka dari jarak pandangku mulai
menyelesaikan skenarionya, seminar, sidang, lalu yudisium.
Dan pada akhirnya
televisi itu istirahat, tidak ada komentar komentar histeris saat melihat
pasangan Boy dan Reva bersama, atau melihat serial Uttaran yang terlampau
panjang. Pada pijakan ini, seharusnya aku yang menyalakan televisi itu,
meneruskan tawa dan komentar histeris yang terulang setiap petang, mengusir
penat dan lelah yang seharian menerjang.
Hari ini, aku pada
tempat mereka tapi tak bisa berbuat seperti mereka. Dan aku masih tetap saja
belum berdamai dengan masa lalu dan tetap berharap mereka tidak pergi. Aku tidak
tahu bagaimana menyambut orang-orang baru yang akan mengisi separuh skenario
yang tersisa. Apakah aku akan banyak bercerita seperti mereka? Apakah aku akan
cukup untuk dihargai dengan tingkah selengekan dan penuh kejailan? Aku merasa
belum pantas berdiri di tempat ini, belum pantas dituakan apalagi dijadikan panutan.
Hidup dan nyanyian
waktulah yang akan memberikan jawaban. Jadi, untuk sementara biarkan saja aku
di ruang sepiku, mengobati luka dengan mimpi dan harapan yang mulai kurajut
lagi.
Tulisan ini saya persembahkan
untuk seluruh kakak kakak yang pada tahun ini telah menyesaikan skenario S1 nya
dan siap melangkah ke panggung wisuda. Aku ikut bangga karena kakak berhasil
menyelesaikan skenario kakak, sekaligus merasa kehilangan karena kakak telah
memberikan saya pengalaman yang sangat berharga. Terima kasih karena telah
peduli dan terima kasih telah mengisi hidup saya meski sekarang harus cerai dan
pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar