Langit
Malang yang tak juga gelap menampakkan awan yang masih tak lelah berjalan- jalan dari sisi
langit yang satu ke sisi yang lainnya. Seakan dengan begitu sejarahnya tidak
akan habis di makan angin dan gaya tarik bumi.
Aku
sendiri tidak begitu peduli dengan arakan awan yang tak kunjung lelah itu. Hari ini aku hanya ingin bercerita tentang
seseorang. Seseorang yang pertama aku mengenalnya adalah seorang ibu paruh baya
mengenakan daster sederhana yang membuka pintu gerbang dengan celotehnya yang
panjang dan suaranya yang sangat kencang.
Ibu
dipertigaan yang membuka toko itu mengenalkannya padaku sebagai Bu Yoga. Ya, Bu Yoga, wanita agak gemuk, berkulit putih
dengan rambut hitamnya yang ikal. Aku masuk ke gerbang rumahnya berharap ada
satu tempat tidur yang bisa menampungku untuk belajar di kota asing ini.
Aku
mengekor padanya, memasuki emperannya yang teduh dan masuk ke ruang tamunya
yang hangat. Aku merasa nyaman saat menduduki sofa sederhana berwarna abu-abu
miliknya. Dalam hati aku membatin bahwa ini tempat paling pas untuk kutinggali.
Hingga
mataku yang lugu menatap sebuah lukisan di dinding sebelah kiriku. Lukisan itu
menelisik ulu hatiku dan menggoyahkan kenyamananku. Lukisan yang tergantung di
atas dinding itu memberikan tatapan asing padaku, bahwa aku dan dia sebenarnya
berbeda.
Aku
mulai ragu dan takut. Sejak kecil aku hidup di tempat di mana orang-orangnya
memiliki keyakkinan yang sama denganku. Waktu aku SD, waktu aku SMP, waktu aku
SMA semua sama. Tapi hari ini aku mendapatkan sebuah pengalaman baru, perasaan
takut dan ingin tahu menguasai rongga-rongga hatiku.
Lalu
dengan polos aku bertanya padanya, “apakah aku bisa sholat di rumahnya? Apakah aku
bisa ngaji? Apakah aku bisa puasa?”
Ibu
itu memang tidak tersenyum ramah seperti ibu peri dalam dongeng dongeng yang
sering kudengar. Tapi aku bisa melihat ketulusan kata-katanya, “saya memang
nasrani mbak, tapi anak-anak yang kos di sini semuanya islam. Saya tidak
membeda-bedakan seseorang karena keyakinannya, karena keyakinan adalah pilihan
masing-masing orang. Dan saya senang, karena mbak mbak yang kos di sini
semuanya rajin-rajin ibadahnya. Kita memang beda mbak, tapi bukan berarti harus
memisahkan diri satu sama lainkan?” ceritanya panjang lebar.
Dan
dengan keyakinan yang aku tambatkan pada kuasa Ilahi aku menyetujui tinggal di
sini dan membayar sejumlah uang muka.
Awalnya
aku masih sibuk bertanya, “benarkah ibu ini benar-benar serius dengan
perkataannya?”. Aku pun mulai mencari jawaban, dan jawaban itu adalah iya. Ibu benar-benar
tidak membeda-bedakan kami yang tidak sama keyakinannya dengan dia. Ibu tetap
baik seperti orang lainnya, sering membagikan jajanan pasar yang tidak habis
dia jual di sekolah. Sesekali ibu juga memberikan kami takjil untuk buka puasa
saat berpuasa sunah. Ibu juga tidak melarang kami melantunkan ayat-ayat Allah
selesai magrib dan selesai subuh. Ibu tetap pada keyakinannya dan kami tetap
pada keyakinan kami.
Ya,
dia Bu Yoga walau sebenarnya nama
aslinya bukan Bu Yoga, tapi Bu Eko. Dia selalu menggantikan tempat ibu yang
kini jauh dariku, mengomeliku karena perkara sepele karena belum makan dan
tidak mau mandi. Bu Yoga seakan menjelma jadi ibu baruku, yang akan menanyakan
keberadaanku saat tidak ada di kos dan selalu menyuruhku belajar. Sesekali saat
kami duduk berdua, dia akan menceritakan aku banyak kisah tentang silsilah
keluarganya, kesuksesan adik-adiknya, dan menasehatiku agar belajar dengan baik
agar bisa sukses di kemudian hari.
Sering
Bu Yoga bercerita bahwa dia tidak seberuntung adik-adiknya. Namun, bagiku Bu
Yoga adalah salah satu keberuntunganku selain diterimanya aku sekolah di tanah
ini. Karena dia, aku dapat membanggakan diri bahwa tidak hanya bu kos mereka
yang peduli tapi ibu kosku juga. Bahkan di tengah perbedaan kami.
Mungkin
hal inilah yang membuatmu akan tetap merasa hangat memasuki rumah ini dan
merasa disambut keramahan, karena suara nyaring bu Yoga akan menjadi penghangat
alami di kos ini.
Oh
iya, namanya Eko, Eko Sriwahyuni. Tapi orang lebih akrab memanggilnya Bu Yoga. Ah,
setidaknya kamu tahu tentang diakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar