Pages

Selasa, 09 Agustus 2016

Namanya Eko

Langit Malang yang tak juga gelap menampakkan awan yang  masih tak lelah berjalan- jalan dari sisi langit yang satu ke sisi yang lainnya. Seakan dengan begitu sejarahnya tidak akan habis di makan angin dan gaya tarik bumi.
Aku sendiri tidak begitu peduli dengan arakan awan yang tak kunjung lelah itu.  Hari ini aku hanya ingin bercerita tentang seseorang. Seseorang yang pertama aku mengenalnya adalah seorang ibu paruh baya mengenakan daster sederhana yang membuka pintu gerbang dengan celotehnya yang panjang dan suaranya yang sangat kencang.
Ibu dipertigaan yang membuka toko itu mengenalkannya padaku sebagai Bu Yoga.  Ya, Bu Yoga, wanita agak gemuk, berkulit putih dengan rambut hitamnya yang ikal. Aku masuk ke gerbang rumahnya berharap ada satu tempat tidur yang bisa menampungku untuk belajar di kota asing ini.
Aku mengekor padanya, memasuki emperannya yang teduh dan masuk ke ruang tamunya yang hangat. Aku merasa nyaman saat menduduki sofa sederhana berwarna abu-abu miliknya. Dalam hati aku membatin bahwa ini tempat paling pas untuk kutinggali.
Hingga mataku yang lugu menatap sebuah lukisan di dinding sebelah kiriku. Lukisan itu menelisik ulu hatiku dan menggoyahkan kenyamananku. Lukisan yang tergantung di atas dinding itu memberikan tatapan asing padaku, bahwa aku dan dia sebenarnya berbeda.
Aku mulai ragu dan takut. Sejak kecil aku hidup di tempat di mana orang-orangnya memiliki keyakkinan yang sama denganku. Waktu aku SD, waktu aku SMP, waktu aku SMA semua sama. Tapi hari ini aku mendapatkan sebuah pengalaman baru, perasaan takut dan ingin tahu menguasai rongga-rongga hatiku.
Lalu dengan polos aku bertanya padanya, “apakah aku bisa sholat di rumahnya? Apakah aku bisa ngaji? Apakah aku bisa puasa?”
Ibu itu memang tidak tersenyum ramah seperti ibu peri dalam dongeng dongeng yang sering kudengar. Tapi aku bisa melihat ketulusan kata-katanya, “saya memang nasrani mbak, tapi anak-anak yang kos di sini semuanya islam. Saya tidak membeda-bedakan seseorang karena keyakinannya, karena keyakinan adalah pilihan masing-masing orang. Dan saya senang, karena mbak mbak yang kos di sini semuanya rajin-rajin ibadahnya. Kita memang beda mbak, tapi bukan berarti harus memisahkan diri satu sama lainkan?” ceritanya panjang lebar.
Dan dengan keyakinan yang aku tambatkan pada kuasa Ilahi aku menyetujui tinggal di sini dan membayar sejumlah uang muka.
Awalnya aku masih sibuk bertanya, “benarkah ibu ini benar-benar serius dengan perkataannya?”. Aku pun mulai mencari jawaban, dan jawaban itu adalah iya. Ibu benar-benar tidak membeda-bedakan kami yang tidak sama keyakinannya dengan dia. Ibu tetap baik seperti orang lainnya, sering membagikan jajanan pasar yang tidak habis dia jual di sekolah. Sesekali ibu juga memberikan kami takjil untuk buka puasa saat berpuasa sunah. Ibu juga tidak melarang kami melantunkan ayat-ayat Allah selesai magrib dan selesai subuh. Ibu tetap pada keyakinannya dan kami tetap pada keyakinan kami.
Ya, dia Bu Yoga walau sebenarnya  nama aslinya bukan Bu Yoga, tapi Bu Eko. Dia selalu menggantikan tempat ibu yang kini jauh dariku, mengomeliku karena perkara sepele karena belum makan dan tidak mau mandi. Bu Yoga seakan menjelma jadi ibu baruku, yang akan menanyakan keberadaanku saat tidak ada di kos dan selalu menyuruhku belajar. Sesekali saat kami duduk berdua, dia akan menceritakan aku banyak kisah tentang silsilah keluarganya, kesuksesan adik-adiknya, dan menasehatiku agar belajar dengan baik agar bisa sukses di kemudian hari.
Sering Bu Yoga bercerita bahwa dia tidak seberuntung adik-adiknya. Namun, bagiku Bu Yoga adalah salah satu keberuntunganku selain diterimanya aku sekolah di tanah ini. Karena dia, aku dapat membanggakan diri bahwa tidak hanya bu kos mereka yang peduli tapi ibu kosku juga. Bahkan di tengah perbedaan kami.
Mungkin hal inilah yang membuatmu akan tetap merasa hangat memasuki rumah ini dan merasa disambut keramahan, karena suara nyaring bu Yoga akan menjadi penghangat alami di kos ini.
Oh iya, namanya Eko, Eko Sriwahyuni. Tapi orang lebih akrab memanggilnya Bu Yoga. Ah, setidaknya kamu tahu tentang diakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar