Pages

Senin, 16 Oktober 2017

Suhuue, Ajari Aku Jatuh Cinta! (Ep 3)

Matahari mengenai teras paling ujung bangunan kampus. Permukaan keramiknya lebih terang karena sinar hangat-hangat kuku matahari yang ingin rebahan di ufuk barat. Sinar hangat itu juga memantul di buliran air mata Andin yang tak juga berhenti. "Masih nangis Ndin?" tanya Ue dengan muka prihatin. Andin diam, air mata semakin banyak luruh dari matanya. Neza menyenggol punggungku dari belakang. "Udah tahu masih nangis malah ditanya," omelnya pada  Ue. "Yee, gue pikir air matanya bocor, udah 2 jam lo Ndin, lu nggak capek nangisin cowok brengsek kaya dia?"
***
Dua jam yang lalu
"Teh anget, teh anget, cariin teh anget pliss," seru Ue pada kerumunan yang mengumpul. Lisa tergopoh-gopoh mengulurkan satu cup teh panas padanya. "Gila lu nis, teh nya panas banget," protes Ue.
"Nggak usah protes Ue, cepetan kasih ke Andin tuh."
Ue mendekatkan  teh yang hawanya mendidih pada bibir Andin. "Pelan-pelan Ndin, Lisa mah nggak bisa bedain mana makhluk hidup mana bukan makhluk hidup," kata Ue menenangkan Andin.
"Hemm, pengen gue timpuk aja lu Ue, udah dibantuin masih aja ngomel."
Andin tersenyum dan menyedot pelan-pelan teh durjana dari Lisa. Wajahnya nyengir kepanasan, sejalan dengan itu rona-rona merah terbit di pipinya yang pucat. "Setidaknya teh itu bisa bikin Andin sadar," kata Lisa bangga, "ya udah gue masih ada kelas, gue cabut dulu ya," tambahnya.
Perlahan orang-orang yang berkerumun itu meninggalkan Ue, Neza, dan Andin yang matanya sudah jadi sebesar bola tenis.
"Nah, sekarang lu bisa cerita Ndin, kenapa lu bisa nampar Dafa terus pingsan begitu?"
Neza menyenggol Ue.
"Gue udah putus sama Dafa Ue," kata Andin dengan lemah.
Ue saling pandang dengan Neza.
"Gimana ceritanya Ndin?"
(cerita Andin)
"Yang, aku ke kampus kamu pukul 1 siang," pesan whatsapp itu menggetarkan smartphone Andin sekaligus hatinya. Ada rasa takut sekaligus kelegaan yang menjalar di tubuhnya. Sebenarnya sudah sering kali Andin mengajak Dafa yang belakangan ini berubah untuk bertemu. Namun dengan alasan kesibukan organisasi yang tidak bisa ditinggalkan pertemuan itu hanya sekedar rencana saja.
Andin sebenarnya sudah lelah dengan sikap Dafa yang sangat berubah. Awalnya Andin masih bisa menerima ketika Dafa tidak memberinya kabar ketika ada kegiatan. Dia paham, kesibukan bisa membuat orang lupa beberapa hal. Andin mencoba mengerti.
Belakangan Dafa bikin ulah yang membuat Andin menangis setiap malam. Selain tak berkabar, cowok berwajah Arab itu sering kali bikin instamoment sedang kangen seseorang. Pikiran Andin semakin menjadi-jadi. Beberapa tugas dosen yang dikejar deadline menggunung di meja belajarnya, sayu memanggil Andin yang hanyut dalam ketakutannya.
"Udah lah Ndin, cepet minta ketemu dan minta penjelasan," nasehat Hima sambil menarik helai demi helai kain Ero. Sesekali dia mengusap kepala Andin yang bergetar.
"Gue bingung Him, gue masih sayang banget sama Dafa, tapi dianya kok gini ya?" isak membanjir di bantal bersarung pink miliknya.
Hari ini setelah Andin memberikan penawaran beberapa kali, Dafa mengajaknya untuk bertemu. Andin kenakan baju terbaik di lemarinya dan kerudung ungu menjadi pelengkap manis yang membungkus kepalanya.
Pukul satu tepat, kaki mungil Andin menghampiri meja paling ujung kantin kampusnya. Pandangan Dafa yang jail ditangkapnya dengan rasa haru antara marah, kangen dan takut.
"Hai," sapa Dafa riang. Andin bersikap biasa, dia duduk di depan Dafa.
"Katanya ada maba baru di kos kamu?" tanyanya.
"Iya."
"Mana kok nggak dikenalin?"
"Kuliah, kenapa sih tanya tanya maba?"
"Katanya disuruh kenalan?"
"Nanti juga lewat, sekarang masih kuliah tahu,"
"Kalau nggak lewat gimana?"
"Lewat, lewat, dibilangin masih kuliah. Ayolah cepet ngomong!"
"Ngomong apa sih?"
"Ayo cepet! Aku lo sebenarnya sudah tahu ceritamu semua."
"Cerita yang mana? Kan cerita tentang aku banyak."
"Udahlah kamu cerita dulu, nanti kalau ceritanya benar aku bilang benar."
"Maaf" kata Dafa sambil menggenggam tangan Andin.
"Maaf buat apa? " tanya Andin, air mata mulai memecah tembok kelopak matanya.
"Nah, aku belum ngomong apa apa aja kamu sudah nangis." Dafa mengusap air mata yang luber di pipi Andin
"Sebenarnya aku sudah tahu kalau perasaan kamu sudah nggak sama seperti dulu. Kamu suka sama orang lain kan?" tanya Andin akhirnya. Kecurigaan dalam hatinya dia tumpahkan pada cowok Arab yang sampai detik ini masih memasang wajah jail di hadapannya.
"Maaf!" katanya lagi, kali ini Dafa berlutut di hadapan Andin. Menggenggam tangan kecil dan meremasnya kuat.
"Cuma gitu doang?" tetes air mata seperti rinai hujan yang perlahan turun.
"Kamu kan sudah tahu ceritanya, maaf aku nggak bisa nerusin hubungan ini," kata Dafa, tangannya erat menggenggam tangan Andin yang kini pecah tanggul matanya.
"Aku salah apa?" tanya Andin disela isak.
"Ini bukan salah kamu dan juga bukan salah dia, ini murni salahku. Aku sendiri tidak tahu kenapa perasaanku seperti ini. Tapi namanya perasaan tidak bisa dipaksa."
"Aku nggak mau," berontak Andin.
"Aku sudah tidak bisa, kamu harus bisa mengikhlaskan aku" jelas Dafa.
"Nanti kalo kita putus kamu nggak bakal menghubungi aku lagi, masih pacaran aja kamu jarang ngasih kabar."
"Aku janji akan selalu ngasih kabar ke kamu. Sudahlah, sekarang kita memperbaiki diri masing-masing saja. Kalau jodoh nanti juga akan kembali. Dan walaupun kita sudah putus kamu masih boleh main ke rumah, kamu sudah aku aku anggep adik, mbak juga sudah nganggep kamu adik, bapak dan ibu juga nganggep kamu anaknya. Kamu tahu bapak ibu kan? Lagian rejeki, jodoh, dan maut sudah ada yang ngatur. Sudahlah sekarang jangan nangis. Kamu nggak perlu nangisi orang seperti aku. Kamu ini orang baik, pasti bisa dapat yang lebih baik dari aku. Ikhlaskan aku, jangan nangis."
"Aku nggak bisa," Andin tetap berontak.
"Kamu harus yakin kalau bisa."
"Kamu suka siapa sih?" tanya Andin akhirnya.
"Osa."
"Plakkkk"
"Nggak apa apa, tampar aja, masih sakitan hatinya kamu daripada tamparan ini."
"Plakkk"
***
Senja kian nampak sekarang, jingga di tepi langit di atas atap rumah peninggalan belanda begitu tegas. Setegas semu merah yang tertinggal di wajah Andin yang begitu berantakan. Ue yang tak bisa berkata apa apa lagi hanya bisa merangkul pundak Andin disusul dengan tangan Neza yang ikut mengusap pundaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar