Pages

Rabu, 18 Mei 2016

PULANG, RUMAH, KENANGAN



Pagi menjemput matahari terlalu dini. Sinarnya yang menguar dari ufuk timur memberikan tetes cahaya pada pucuk-pucuk pohon yang gelap. Suasana merambat menjadi terang, udara dingin yang digantung malam pada panjang jalan itu menguap perlahan, digantikan dengan terang yang mulai merambat membangunkan setiap kehidupan. Ayam, burung, padi yang separo menguning dan pintu-pintu yang semalaman tertutup rapat sampai ke pagarnya mulai membuka mata.
Aku merapatkan tubuhku yang terbungkus jaket merah tebal. Lima belas menit yang lalu aku keluar dari mobil travel yang membawaku dari malang. Sisa-sisa udara AC di mobil itu masih terasa menggigiti pori-pori tubuhku membuatku gemeletukan. Sebuah ransel besar merek westpack terlihat menggunung di sisi kiriku. Tas ransel warna abu-abu menempel di pundakku dan aku terpaksa menaruh kresek salah satu pusat perbelanjaan di Malang di sebelah kananku. Aku lelah menentengnya lima belas menit terakhir, menunggu sesuatu yang akan benar-benar membawaku pulang, tidak hanya ke kotaku tetapi benar-benar ke rumahku.
Seorang ibu dan bapak yang semalaman berjualan gorengan dan kopi panas menawariku untuk duduk di bangku panjangnya. Namun aku menolak, aku lebih suka di tepi jalan ini, malas harus memindahkan ransel besar yang berat itu. Lagipula pagi datang, aku tahu kedua orang itu ingin membereskan dagangannya dan bergegas pulang untuk mengerjakan hal lainnya.
“Duduk sini Nduk,” katanya hangat sehangat kopi yang masih tersisa di tremosnya. Aku hanya tersenyum mengangguk dan tetap mematung memandang ke arah kanan, berharap bus besar dengan nama “Aneka Jaya” itu segera datang menghampiriku.
Lima menit, sepuluh menit, aku menggosok kedua telapak tanganku mengharapkan hangat yang dijanjikan oleh gesekan kedua telapak tangan itu. Namun tanganku yang kebas itu tak juga menghasilkan hangat, kesal aku meniupnya dengan nafasku hal itu lebih membantu karena uap mulutku terasa hangat di udara pagi yang mengembun.
Setengah enam pas bus warna putih merah itu berhenti setelah aku melambaikan tangan menghentikannya. Aku tersenyum untuk terakhir kalinya pada sepasang suami istri yang sekarang sedang mengangkat kursi panjang agar menyatu dengan gerobak bertuliskan “sego hek” itu.
Pagi itu dimulai dengan cicit burung-burung yang menyasak padi ketika pijakan terakhirku berhasil naik ke bus dan mencari tempat terdekat. Aku menaruh ransel besar di dekat kakiku menaruh kresek berisi magic com di dekatnya dan menaruh tas abu-abu di sebelahku. Pagi itu bus “Aneka Jaya” dipenuhi separuh penumpang yang masih kuyu menyambut hari. jaket-jaket tebal membungkus tubuh mereka yang merapatkan badan, masih merasa dingin.
Aku menempelkan wajah pada kaca bening yang buram melihat potongan-potongan bangunan yang berjalan cepat senada dengan laju bis memecah jalanan yang masih lengang. Dengus lelah dari hidungku membentuk embun yang menghalangi mata yang langsung kuusap, menampakkan pemandangan di luar yang  bernuansa hijau tua. Aku melihat STM Bina Karya tempat teman-temanku yang berjiwa bebas bersekolah. Aku mendapati kuburan nasrani dengan nisan-nisan pongahnya, lalu nisan-nisan muslim yang berjejalan, disusul sebuh MI yang berdiri teduh di akhir jalan itu, menyisakan sebuah petak tanah sebagai jalan ke stadion kebanggaaan kotaku, merayap melalui jembatan yang entah kapan telah terbangun, patung sapi coklat yang setia berdiri dan dinding-dinding tanah yang ditumbuhi tumbuhan liar.
Aku melenguh sangat lelah, belajar banyak hal di luar kota menjadikan aku pengenang ulung untuk mengenang masa-masa kecilku selama 19 tahun belakangan. Sesekali menarik nafas lega karena telah sampai dan jauh dari kepenatan tugas dosen, organisasi-organisasi yang tak bisa kucengkeram kuat, dan teman-teman yang kuanggap tidak peduli. Aku senang setelah rutinitas membunuhku dari segala hal tentang kenangan, hari ini, di pagi yang menjemput siang aku dapat tersenyum-senyum sendiri mengingat kisahku yang terlukis di seluruh jalan ini, puluhan kali, ratusan kali, ribuan kali, aku tak bisa menghitung lagi berapa kali aku mondar-mandir di lintasan jalan ini.
Aku sengaja tidak menghubungi orang tuaku untuk pulang. Aku ingin kepulanganku ini menjadi perjalananku untuk mengingat lagi kenangan. Kenangan yang akhirnya bisa mengantarku ke bangku kuliah. Bangku yang aku harapkan sejak SMP, sejak aku membaca karya-karya besar Andrea Hirata, bangku yang akhirnya kusingkirkan karena aku tidak ingin membebani keluargaku, bangku yang akhirnya kutemukan dan kududuki pada akhirnya.
Aku menarik nafas berat dan aku merasakan mataku mengembun, aku mengingat tentang teman-temanku yang menganggapku ambisius dan gila prestasi. Aku yang selama satu semester dianggap pelit berbagi ilmu. Memangnya apa yang bisa dibagi, aku selalu mendengarkan ocehan dosen tentang keluarganya, lalu sore-sore pergi ke kampus utama untuk mengikuti kegiatan rutin organisasi, saat aku sampai di kos aku hanya bisa mengerjakan tugas yang dikumpulkan esok hari dan jatuh terjerembab di kasur busa tipisku. Apa yang bisa kubagi ketika aku tak banyak baca buku, tidak banyak teori yang kukuasai. Aku hanya tidak ingin tersesat dengan teori yang kunalar sendiri, bukankah lebih baik aku bilang tidak tahu, itu lebih banyak menjaga orang dari tersesat. Seharusnya mereka tak memandang hanya dari sisinya saja tapi diri sisiku yang masih belum banyak membaca buku, aku malah ingin terjun di diskusi-diskusi mereka mendengarkan sembari mengumpulkan puing-puing pengetahuan yang harus kurangkai pada akhirnya.
Pada akhirnya mereka gagal mengerti dan menjadikan aku makhluk terangkuh yang tak pantas untuk dijadikan teman. Aku mencoba mengerti, mungkin langit memiliki jawaban atas pilihanku yang telah lalu. Sayangnya aku telah menjadi tokoh jahat dalam ceritaku sendiri.
Sudahlah lupakan tentang masalah yang membayangi liburan semesterku. Udara sejuk yang menyelinap dari lubang kaca yang tidak rapat memberiku suapan energi. Usil aku membayangkan cinta pertamaku yang berterbangan di atas jalan ini ketika aku diajak ngebut gila-gilaan dan diturunkan paksa di depan kuburan tadi. Cinta pertama yang berkhianat, cinta pertama yang aku lupakan, dan cinta pertama yang jatuh dalam kenangan membuatku merasa bodoh dan tersenyum sendiri.
Aku mengingat diriku berjalan jauh melintang dari garis rencana hidupku ketika SMP, ketika mimpiku yang aku lukis indah-indah padam tersiram air sekali. Mimpi bagai api yang mengkungkungku selama 3 tahun di SMP itu lenyap dan aku sudah tidak memiliki mimpi itu lagi, mimpi-mimpi besar itu lagi.
Aku masih marah, marah pada semuanya sampai hari ini. Walaupun pada saat sadarku aku bertanya pada langit yang biru “apakah nasibku akan sama jika aku menuruti jalan mimpiku, apakah aku akan bahagia sekarang?” pertanyaan itu hanya sampai pada langit, aku tak tahu apakah Tuhan cukup peduli dengan orang macam aku. Orang yang masih sering meninggalkan sholat padahal itu sudah tertulis rapi bahwa itu kewajiban.
Seyogyanya guru ngajiku selalu mengajariku agar menjadikan sholat sebagai kebutuhan bukan kewajiban maka kau tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi hatiku masih suka untuk menolak hal-hal baik, aku lebih suka menerima hal-hal yang menyenangkan, bukankah manusia memang seperti itu?
Matahari mulai menyinari pelabuhan yang mengayunkan perahu-perahu tertambat membuat mereka terlihat seperti bayi yang sedang dininabobokan oleh ibunya, warna-warna biru kusam menghujam mataku menyadarkan aku bahwa ini kotaku. Kotaku yang dari ketinggian dapat melihat laut begitu dekat ingin tumpah ke hadapan muka. Melihat perahu batu bara itu mencicit di tengah lautan. Sekali lagi kotaku, kota yang dengan tanahnya memberikan aku makan, memberikan aku uang untuk sekolah, memberikan aku kesempatan untuk dididik para guru yang berdedikasi. Kota yang aku rindukan ketika aku ditimpa kesedihan dan kekasaran kehidupan baruku.
Aku menertawakannya yang mengembalikan kenangan menyakitkan yang ada di umurku sampai 19 tahun ini. Hal itulah yang membuatku akhirnya pergi dengan kemarahan untuk menemukan hidup baru yang aku anggap lebih baik. Akhirnya seperti kalian tahu, rumah adalah tempat ternyaman untuk berdamai dengan keadaan seberapa besar tempat itu memberimu luka lebam di seluruh hatimu. Rumah aslimuah yang akan mengusapkan alkohol dan mengguyurnya dengan betadine agar mengering dan kembali seperti sedia kala. Kota yang walaupun hanya dilihat sesaat akan melukiskan lebih banyak kenangan indah dari pada kepahitan.
Sejenak aku melupakan jalan-jalan kembar yang ramai, patung-patung pahlawan yang berdiri megah, air-air mancur, tempat foto di jalan, bunga-bunga yang menghiasi tengah jalan, dan hal-hal padat lainnya yang tidak bisa aku jelaskan.
Aku menyukai pemandangan ini, pemandangan penuh pohon-pohon yang tak kutahu namanya kecuali jati, akasia, dan mahoni. Menyaksikan monyet-monyet turun memanjat pohon demi pohon, menyaksikan beberapa ibu-ibu dengan baju dinas mereka yang sederhana menenteng arit, mengenakan capil, dan membawa karung besar untuk membabat rumput. Aku melihat air terjun entah dari mana membuncah dan berbuih mendendangkan lagu alam memberi irama pada cicitan burung pagi yang semakin menjadi.
Dua tahun lalu aku naif jika orang terbaik hanya dari kotaku saja, dan aku hanya menyukai mereka. Tapi nyatanya waktu membenturku pada orang-orang baru yang jauh lebih baik dan membuatku ternganga, orang-orang yang ingin aku susul keberadaannya. Tapi mereka tidak bisa membuatku tenang, mereka tidak memuaskanku tentang pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang akhirnya aku coba singkirkan demi melihat keelokan mereka.
Di rumah ini, pertanyaan itu muncul lagi. Menarik-nari tanganku untuk menikmati masa-masa jayaku di bangku sekolah. Menikmati pujian guru dan tepuk tangan antusias dari teman-teman.
Aku memaksa diriku berhenti bertanya dan mengajaknya untuk menikmati rumput-rumput hijau berkilau karena embun, menikmati setiap kelok yang dilalui bus.
Aku tersenyum menangkap basah diriku yang duduk di tempat yang sama bertahun-tahun yang lalu. Dulu ketika aku tak menemukan angkot aku akan naik bus, duduk paling belakang dan mengeluarkan buku untuk menulis puisi, menulis potongan-potangan kisah yang terjadi seharian sampai tanganku kelu, sampai bus berhenti,  sampai aku tak punya ide lagi. Ingatanku menatap indah di mana aku masih leluasa untuk menulis tanpa takut membuang-buang waktu karena belum mengerjakan tugas. Tugasku dulu sepele sekolah sampai jam 2 siang, kadang meneruskan les bahasa Jepang sampai pukul 4 baru pulang, membantu orang tua, mengerjakan PR dan akhirnya tertidur. Jika PR sudah kukerjakan aku akan membuka buku catatanku menulis banyak hal, tentang teman, tentang pelajaran, tentang guru, dan tentunya tentang orang yang aku sukai saat itu. Hidup memang menggemaskan ketika kamu menganggap hidup masih main-main. Hidup begitu keras ketika kau memahami bahwa hidup ini sungguhan. Hidup ini seperti game besar yang jika kamu salah langkah dapat berakibat sangat fatal.
Matahari meninggi walaupun jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, ketika akhirnya pemberhentianku terlihat dan bus berhenti pelan dan teratur di tikungan tajam itu. Aku buru-buru menyandang tas abu-abuku. Membawa ransel besar yang dibantu kondektur bus menenteng magic com dan benar-benar menghirup udara rumah. Aku menatapnya sesaat, silau, asing dan keras. Tapi ini rumahku. Kenangan yang melaju di bus selama setengah jam itu hanyalah sepotong kisah diriku yang tidak utuh dan tercerai berai, kusut. Aku hanya ingin katakan padamu, aku mau liburan, aku tidak ingin mengingatmu selama liburanku. Entah perasaan sayangku padamu atau benci yang kini terlanjur tumbuh. Aku juga tidak akan peduli dengan perasaanmu saat ini. aku hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Diriku yang beberapa menit lagi akan dapat tergeletak di kasur busa rumahku dengan aroma masakan yang disiapkan Simbahku. Hidup ini indah, maka aku akan menikmatinya.

Pulang adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar