Pagi
menjemput matahari terlalu dini. Sinarnya yang menguar dari ufuk timur
memberikan tetes cahaya pada pucuk-pucuk pohon yang gelap. Suasana merambat
menjadi terang, udara dingin yang digantung malam pada panjang jalan itu
menguap perlahan, digantikan dengan terang yang mulai merambat membangunkan
setiap kehidupan. Ayam, burung, padi yang separo menguning dan pintu-pintu yang
semalaman tertutup rapat sampai ke pagarnya mulai membuka mata.
Aku
merapatkan tubuhku yang terbungkus jaket merah tebal. Lima belas menit yang
lalu aku keluar dari mobil travel yang membawaku dari malang. Sisa-sisa udara
AC di mobil itu masih terasa menggigiti pori-pori tubuhku membuatku
gemeletukan. Sebuah ransel besar merek westpack terlihat menggunung di sisi
kiriku. Tas ransel warna abu-abu menempel di pundakku dan aku terpaksa menaruh
kresek salah satu pusat perbelanjaan di Malang di sebelah kananku. Aku lelah
menentengnya lima belas menit terakhir, menunggu sesuatu yang akan benar-benar
membawaku pulang, tidak hanya ke kotaku tetapi benar-benar ke rumahku.
Seorang
ibu dan bapak yang semalaman berjualan gorengan dan kopi panas menawariku untuk
duduk di bangku panjangnya. Namun aku menolak, aku lebih suka di tepi jalan
ini, malas harus memindahkan ransel besar yang berat itu. Lagipula pagi datang,
aku tahu kedua orang itu ingin membereskan dagangannya dan bergegas pulang
untuk mengerjakan hal lainnya.
“Duduk
sini Nduk,” katanya hangat sehangat kopi yang masih tersisa di tremosnya. Aku
hanya tersenyum mengangguk dan tetap mematung memandang ke arah kanan, berharap
bus besar dengan nama “Aneka Jaya” itu segera datang menghampiriku.
Lima
menit, sepuluh menit, aku menggosok kedua telapak tanganku mengharapkan hangat
yang dijanjikan oleh gesekan kedua telapak tangan itu. Namun tanganku yang kebas
itu tak juga menghasilkan hangat, kesal aku meniupnya dengan nafasku hal itu
lebih membantu karena uap mulutku terasa hangat di udara pagi yang mengembun.
Setengah
enam pas bus warna putih merah itu berhenti setelah aku melambaikan tangan
menghentikannya. Aku tersenyum untuk terakhir kalinya pada sepasang suami istri
yang sekarang sedang mengangkat kursi panjang agar menyatu dengan gerobak
bertuliskan “sego hek” itu.
Pagi
itu dimulai dengan cicit burung-burung yang menyasak padi ketika pijakan terakhirku
berhasil naik ke bus dan mencari tempat terdekat. Aku menaruh ransel besar di
dekat kakiku menaruh kresek berisi magic com di dekatnya dan menaruh tas
abu-abu di sebelahku. Pagi itu bus “Aneka Jaya” dipenuhi separuh penumpang yang
masih kuyu menyambut hari. jaket-jaket tebal membungkus tubuh mereka yang
merapatkan badan, masih merasa dingin.
Aku
menempelkan wajah pada kaca bening yang buram melihat potongan-potongan
bangunan yang berjalan cepat senada dengan laju bis memecah jalanan yang masih
lengang. Dengus lelah dari hidungku membentuk embun yang menghalangi mata yang
langsung kuusap, menampakkan pemandangan di luar yang bernuansa hijau tua. Aku melihat STM Bina
Karya tempat teman-temanku yang berjiwa bebas bersekolah. Aku mendapati kuburan
nasrani dengan nisan-nisan pongahnya, lalu nisan-nisan muslim yang berjejalan,
disusul sebuh MI yang berdiri teduh di akhir jalan itu, menyisakan sebuah petak
tanah sebagai jalan ke stadion kebanggaaan kotaku, merayap melalui jembatan
yang entah kapan telah terbangun, patung sapi coklat yang setia berdiri dan
dinding-dinding tanah yang ditumbuhi tumbuhan liar.
Aku
melenguh sangat lelah, belajar banyak hal di luar kota menjadikan aku pengenang
ulung untuk mengenang masa-masa kecilku selama 19 tahun belakangan. Sesekali
menarik nafas lega karena telah sampai dan jauh dari kepenatan tugas dosen,
organisasi-organisasi yang tak bisa kucengkeram kuat, dan teman-teman yang
kuanggap tidak peduli. Aku senang setelah rutinitas membunuhku dari segala hal
tentang kenangan, hari ini, di pagi yang menjemput siang aku dapat
tersenyum-senyum sendiri mengingat kisahku yang terlukis di seluruh jalan ini,
puluhan kali, ratusan kali, ribuan kali, aku tak bisa menghitung lagi berapa
kali aku mondar-mandir di lintasan jalan ini.
Aku
sengaja tidak menghubungi orang tuaku untuk pulang. Aku ingin kepulanganku ini
menjadi perjalananku untuk mengingat lagi kenangan. Kenangan yang akhirnya bisa
mengantarku ke bangku kuliah. Bangku yang aku harapkan sejak SMP, sejak aku
membaca karya-karya besar Andrea Hirata, bangku yang akhirnya kusingkirkan
karena aku tidak ingin membebani keluargaku, bangku yang akhirnya kutemukan dan
kududuki pada akhirnya.
Aku
menarik nafas berat dan aku merasakan mataku mengembun, aku mengingat tentang
teman-temanku yang menganggapku ambisius dan gila prestasi. Aku yang selama
satu semester dianggap pelit berbagi ilmu. Memangnya apa yang bisa dibagi, aku
selalu mendengarkan ocehan dosen tentang keluarganya, lalu sore-sore pergi ke
kampus utama untuk mengikuti kegiatan rutin organisasi, saat aku sampai di kos
aku hanya bisa mengerjakan tugas yang dikumpulkan esok hari dan jatuh
terjerembab di kasur busa tipisku. Apa yang bisa kubagi ketika aku tak banyak
baca buku, tidak banyak teori yang kukuasai. Aku hanya tidak ingin tersesat
dengan teori yang kunalar sendiri, bukankah lebih baik aku bilang tidak tahu,
itu lebih banyak menjaga orang dari tersesat. Seharusnya mereka tak memandang
hanya dari sisinya saja tapi diri sisiku yang masih belum banyak membaca buku,
aku malah ingin terjun di diskusi-diskusi mereka mendengarkan sembari
mengumpulkan puing-puing pengetahuan yang harus kurangkai pada akhirnya.
Pada
akhirnya mereka gagal mengerti dan menjadikan aku makhluk terangkuh yang tak
pantas untuk dijadikan teman. Aku mencoba mengerti, mungkin langit memiliki
jawaban atas pilihanku yang telah lalu. Sayangnya aku telah menjadi tokoh jahat
dalam ceritaku sendiri.
Sudahlah
lupakan tentang masalah yang membayangi liburan semesterku. Udara sejuk yang
menyelinap dari lubang kaca yang tidak rapat memberiku suapan energi. Usil aku
membayangkan cinta pertamaku yang berterbangan di atas jalan ini ketika aku
diajak ngebut gila-gilaan dan diturunkan paksa di depan kuburan tadi. Cinta
pertama yang berkhianat, cinta pertama yang aku lupakan, dan cinta pertama yang
jatuh dalam kenangan membuatku merasa bodoh dan tersenyum sendiri.
Aku
mengingat diriku berjalan jauh melintang dari garis rencana hidupku ketika SMP,
ketika mimpiku yang aku lukis indah-indah padam tersiram air sekali. Mimpi
bagai api yang mengkungkungku selama 3 tahun di SMP itu lenyap dan aku sudah
tidak memiliki mimpi itu lagi, mimpi-mimpi besar itu lagi.
Aku
masih marah, marah pada semuanya sampai hari ini. Walaupun pada saat sadarku
aku bertanya pada langit yang biru “apakah nasibku akan sama jika aku menuruti
jalan mimpiku, apakah aku akan bahagia sekarang?” pertanyaan itu hanya sampai
pada langit, aku tak tahu apakah Tuhan cukup peduli dengan orang macam aku.
Orang yang masih sering meninggalkan sholat padahal itu sudah tertulis rapi
bahwa itu kewajiban.
Seyogyanya
guru ngajiku selalu mengajariku agar menjadikan sholat sebagai kebutuhan bukan
kewajiban maka kau tidak akan pernah meninggalkannya. Tapi hatiku masih suka
untuk menolak hal-hal baik, aku lebih suka menerima hal-hal yang menyenangkan,
bukankah manusia memang seperti itu?
Matahari
mulai menyinari pelabuhan yang mengayunkan perahu-perahu tertambat membuat
mereka terlihat seperti bayi yang sedang dininabobokan oleh ibunya, warna-warna
biru kusam menghujam mataku menyadarkan aku bahwa ini kotaku. Kotaku yang dari
ketinggian dapat melihat laut begitu dekat ingin tumpah ke hadapan muka.
Melihat perahu batu bara itu mencicit di tengah lautan. Sekali lagi kotaku,
kota yang dengan tanahnya memberikan aku makan, memberikan aku uang untuk
sekolah, memberikan aku kesempatan untuk dididik para guru yang berdedikasi.
Kota yang aku rindukan ketika aku ditimpa kesedihan dan kekasaran kehidupan
baruku.
Aku
menertawakannya yang mengembalikan kenangan menyakitkan yang ada di umurku
sampai 19 tahun ini. Hal itulah yang membuatku akhirnya pergi dengan kemarahan
untuk menemukan hidup baru yang aku anggap lebih baik. Akhirnya seperti kalian
tahu, rumah adalah tempat ternyaman untuk berdamai dengan keadaan seberapa
besar tempat itu memberimu luka lebam di seluruh hatimu. Rumah aslimuah yang
akan mengusapkan alkohol dan mengguyurnya dengan betadine agar mengering dan
kembali seperti sedia kala. Kota yang walaupun hanya dilihat sesaat akan
melukiskan lebih banyak kenangan indah dari pada kepahitan.
Sejenak
aku melupakan jalan-jalan kembar yang ramai, patung-patung pahlawan yang
berdiri megah, air-air mancur, tempat foto di jalan, bunga-bunga yang menghiasi
tengah jalan, dan hal-hal padat lainnya yang tidak bisa aku jelaskan.
Aku
menyukai pemandangan ini, pemandangan penuh pohon-pohon yang tak kutahu namanya
kecuali jati, akasia, dan mahoni. Menyaksikan monyet-monyet turun memanjat
pohon demi pohon, menyaksikan beberapa ibu-ibu dengan baju dinas mereka yang
sederhana menenteng arit, mengenakan capil, dan membawa karung besar untuk
membabat rumput. Aku melihat air terjun entah dari mana membuncah dan berbuih
mendendangkan lagu alam memberi irama pada cicitan burung pagi yang semakin
menjadi.
Dua
tahun lalu aku naif jika orang terbaik hanya dari kotaku saja, dan aku hanya
menyukai mereka. Tapi nyatanya waktu membenturku pada orang-orang baru yang
jauh lebih baik dan membuatku ternganga, orang-orang yang ingin aku susul
keberadaannya. Tapi mereka tidak bisa membuatku tenang, mereka tidak
memuaskanku tentang pertanyaan-pertanyaan kehidupan yang akhirnya aku coba
singkirkan demi melihat keelokan mereka.
Di
rumah ini, pertanyaan itu muncul lagi. Menarik-nari tanganku untuk menikmati
masa-masa jayaku di bangku sekolah. Menikmati pujian guru dan tepuk tangan
antusias dari teman-teman.
Aku
memaksa diriku berhenti bertanya dan mengajaknya untuk menikmati rumput-rumput
hijau berkilau karena embun, menikmati setiap kelok yang dilalui bus.
Aku
tersenyum menangkap basah diriku yang duduk di tempat yang sama bertahun-tahun
yang lalu. Dulu ketika aku tak menemukan angkot aku akan naik bus, duduk paling
belakang dan mengeluarkan buku untuk menulis puisi, menulis potongan-potangan
kisah yang terjadi seharian sampai tanganku kelu, sampai bus berhenti, sampai aku tak punya ide lagi. Ingatanku
menatap indah di mana aku masih leluasa untuk menulis tanpa takut
membuang-buang waktu karena belum mengerjakan tugas. Tugasku dulu sepele
sekolah sampai jam 2 siang, kadang meneruskan les bahasa Jepang sampai pukul 4
baru pulang, membantu orang tua, mengerjakan PR dan akhirnya tertidur. Jika PR
sudah kukerjakan aku akan membuka buku catatanku menulis banyak hal, tentang
teman, tentang pelajaran, tentang guru, dan tentunya tentang orang yang aku
sukai saat itu. Hidup memang menggemaskan ketika kamu menganggap hidup masih
main-main. Hidup begitu keras ketika kau memahami bahwa hidup ini sungguhan.
Hidup ini seperti game besar yang jika kamu salah langkah dapat berakibat
sangat fatal.
Matahari
meninggi walaupun jam masih menunjukkan pukul 6 pagi, ketika akhirnya
pemberhentianku terlihat dan bus berhenti pelan dan teratur di tikungan tajam
itu. Aku buru-buru menyandang tas abu-abuku. Membawa ransel besar yang dibantu
kondektur bus menenteng magic com dan benar-benar menghirup udara rumah. Aku
menatapnya sesaat, silau, asing dan keras. Tapi ini rumahku. Kenangan yang
melaju di bus selama setengah jam itu hanyalah sepotong kisah diriku yang tidak
utuh dan tercerai berai, kusut. Aku hanya ingin katakan padamu, aku mau
liburan, aku tidak ingin mengingatmu selama liburanku. Entah perasaan sayangku
padamu atau benci yang kini terlanjur tumbuh. Aku juga tidak akan peduli dengan
perasaanmu saat ini. aku hanya ingin peduli pada diriku sendiri. Diriku yang
beberapa menit lagi akan dapat tergeletak di kasur busa rumahku dengan aroma
masakan yang disiapkan Simbahku. Hidup ini indah, maka aku akan menikmatinya.
Pulang adalah cara terbaik untuk menyembuhkan luka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar