Pages

Minggu, 05 Februari 2017

NO TITLE

Malamku pukul 10.40, mataku menatap layar tak berkedip hanya untuk menikmati garis-garis pahatan Tuhan yang dibekukan dalam gambar-gambar. Sebuah senyum lalu melengkung diujung bibirku, teringat bagaimana pertama kali aku jatuh hati.
Semakin aku menikmati tiap potongan gambar diammu batinku tertawa kecut betapa aku begitu jatuh tersungkur di hadapanmu, begitu aku telah jauh menggandaikan apa yang orang katakan harga diri hanya demi untuk menerima kalimat-kalimat, jawaban-jawaban pendek darimu.
Ini sebuah kegilaan yang jika bahasanya diperhalus mungkin bisa dikatakan cinta. Tapi aku lebih suka menganggapnya kegilaan saja, sebuah obsesi, sebuah khayalan untuk memiliki.
Malam semakin larut dan aku masih saja bermesraan dengan gambar diammu, mengganggap bahwa tatapan matamu itu memang kau desain hanya untuk menatapku menemani malamku yang tanpa kopi. Ah, buat apa aku butuh kopi, sedang kamu adalah kafein yang nyata untukku. Senyum bekumu itu sudah bisa mengaktifkan hormon bahagiaku yang akan mengaktifkan otakku untuk terus bekerja.
Semakin aku menatapmu di potret itu, khayalanku menanjak tinggi. Aku membayangkan kamu ada di sampingku menangkupkan penghangat tubuh di pundakku. Ya, malam ini begitu dingin untuk duduk sendirian dan menatap layar tak berkedip. Aku butuh baju tebal yang bisa mendekap tubuhku dan itu aku harap dari kamu.
Nyatanya, malam inipun aku tak tahu kamu dimana. Apa kamu lagi ngumpul dan ngopi-ngopi sama temanmu? Atau kamu lagi mengintimidasi laptop sepertiku yang kau sebut kegiatan produktif. Aku tidak tahu apa kamu begitu hangat di sana atau merasa dingin seperti yang aku rasakan saat ini. Aku tidak tahu apakah kamu menyeduh kopi kesukaanmu atau ada seseorang spesial yang menemanimu hingga kafein dari kopi idolamu tak lagi perlu.
Yang aku tahu aku sekarang rindu, tak bisa hanya melihat gambarmu di mayaku. Aku butuh untuk sekedar live melihat kamu. Tapi aku tak tahu lagi harus mencarimu dimana, aku tak tahu tempat nongkrong produktifmu dan racun rindu ini semakin lama semakin membunuhku.
Apa kamu bilang ini omong kosong? Aku juga ingin menganggap ini omong kosong seperti kamu, sayangnya aku tak bisa bohong pada diriku sendiri. Aku rindu, rindu, rindu, rindu. Aku harap rinduku akan sampai biar kamu mengerti aku rindu, rindu, dan rindu maka datanglah padaku pakai cara apapun biar aku tetap hidup dan menemukan penawarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar