Pages

Senin, 10 Agustus 2015

WANITA 5 MUSIM ITU......



Wanita 5 musim. Akukah? Ingin aku mengatakan pada dunia bahwa akulah wanita 5 musim. Akulah wanita yang dapat melewati segala rintang, di ganasnya musim panas, di bekunya musim dingin, di hilangnya harapan musim gugur. Akulah wanita yang dapat tersenyum ketika musim semi datang, walau tahu musim kemarau yang kering detik demi detik akan mendekati.
Akulah wanita 5 musim, yang walaupun terhina oleh cinta masih kokoh berdiri seperti menara Eifel yang tak jemu menebar indah di kotanya. Akulah wanita 5 musim, tidur dengan beban, bangun dengan kemalangan. Akulah wanita 5 musim.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Terduduk di kursi tua seperti biasa. Menatap langit cerah yang memainkan awan ke sana kemari. Kutatap kenari yang hinggap di pagar kayu rumahku yang nyaman. Sendirian aku terduduk, menikmati hari mati seperti hantu.
Kutarik napasku sekali lagi. Ku yakinkan diriku bahwa aku belum mati dan jadi hantu. Ku hembuskan napasku pelan dan awan putih berdebu menyemburat dari mulutku.  Menguap dan tersapu oleh angin yang tak jemu mendatangiku. Membantuku untuk tetap bisa bertahan.
Namun, buat apa angin membantuku bertahan? Aku tak lebih hanya seonggok besi tua berkarat yang tak berguna. Aku tak lebih hanya benalu yang akan selalu menghisap harap dari inangnya.
Sepuluh tahun yang lalu, aku bersama dia di pinggiran telaga, menatap sepasang angsa yang sedang bercinta di payungi langit senja. Aku dan dia waktu itu malu-malu memadu janji, mengikat hati dengan seutas cincin main-main yang dia buat ketika kami mulai duduk berdua di sana.
Dia bisikkan aku kata-kata madu seorang pria pada seorang wanita. Dia katakan padaku bahwa dia akan membahagiakan aku apapun yang terjadi. Apapun yang aku minta akan diturutinya. Kami akan hidup di rumah mungil yang dia bangun dengan segenap jiwa. Kami akan merawat anak kami yang lucu-lucu bersama ibuku yang mulai menyenja.
Aku mengingat jelas janji yang dia ucapkan padaku. Aku ingat betul dan mencatatnya jauh di dalam hati.
“Aku mencintaimu,” bisiknya menutup senja yang tertidur penuh tanda tanya.
“Aku juga mencintaimu,” balasku tanpa prasangka.
Bersamanya musimku selalu musim semi. Tampak bunga dari penjuru dunia menghias setiap langkah kakiku. Tak peduli orang mengatakan ini kemarau. Tak peduli kami harus mengangkut ber tong-tong air dari kali beratus-ratus meter dari rumah, ini tetaplah musim semi.
Tak peduli daun jati dan mahoni menaburi sekujur badan rumahku, ini tetaplah musim semi dan bunga semakin mekar di mataku. Di jemputnya aku di depan kantor dengan sunggingan senyum. Di belakang punggungnya dia menyembunyikan sesuatu. Dan aku tahu pasti apa yang di bawanya.
“Taraaaaaaa!” serunya riang sambil mengacungkan dua buah es krim ke wajahku. Aku tersenyum melihatnya dan meraih salah satu es krim di tangannya. Dia mengelak dan berlari meninggalkanku. Aku akan mengejarnya, berlari hingga kami sampai di depan halte yang kadang ramai kadang sepi. Di situlah kami akan mencuri waktu dari mentari yang tersenyum iri sendirian. Kami akan makan es krim dan bercengkerama hingga bus terakhir yang akan mengantarkan kami memanggil-manggil.
Dia langsung mengulurkan tangannya yang halus padaku yang langsung aku raih. Dan kami akan naik bus itu berdua, mencari tempat duduk paling belakang. Kami biarkan Pak sopir mengintip kami dari kaca kecil di atasnya. Namun kami tak peduli dan cekikikan lebih keras lagi.
Seperti sore-sore yang lalu dia akan melepaskan gengamanku di ambang pagar rumahku.
“Ayo mampir dulu!” ajakku.
Dia hanya menggeleng dan mengecup keningku sebelum dia pergi menyisakan samar-samar bayang hitam di malam yang menyelesup datang.
“Baru pulang Nduk?” tanya ibu sesampainya aku di pintu. Aku menciumnya di pipi ceria sebelum mejawab, “iya bu, tadi di kantor banyak kerjaan.”
“Lain kali jangan pulang terlalu sore,” katanya. Matanya tak lepas memandangi bayangan yang tertinggal dari pria itu.
“Kenapa Bu?”
“Ibu tak suka saja,” jawabnya dan dia langsung masuk ke dalam rumah.
Aku merasa ada yang aneh dari cara ibu menjelaskan dan menjawab. Aku merasakan ada rahasia yang sengaja ingin ibu tutupi dariku. Tapi apa? Apa yang ibu sembunyikan dariku?
Malam itu ibu tak bersikap seperti biasanya. Kami makan malam lebih banyak dalam diam. Dan ibu yang biasanya menggandrungi serial drama Tukang Bubur Naik Haji, malam ini tidur lebih cepat.
“Ibu kenapa? Sakit?” tanyaku khawatir. Namun ibu hanya menjawab bahwa dia sedang lelah dan ingin tidur lebih awal. Dia berpesan padaku agar bangun pagi dan sholat berjamaah dengannya esok pagi.
Aku  hanya mengangguk, menanggapi permintaan ibu yang agak aneh. Sebelumnya ibu tak pernah mengajakku untuk sholat bersama. Namun malam ini..... ibu terlihat begitu aneh.
Pagi seperti yang beliau minta aku bangun dan mengikuti ibu yang sudah memakai mukena. Tergopoh-gopoh aku menyusul ibu yang sudah mulai duduk di tempat sholat.
Setelah aku siap, ibu mengimamiku untuk sholat. Ibu juga berdoa lama sekali. Di belakangnya aku mengamini doa yang dia bacakan. Ada serak yang aku dengar setiap kali ibu membacakan ayat-ayat doanya. Aku bertanya dalam hati, “kenapa ibu menangis?”
Aku menyalaminya setelah itu. Dia membelai kepalaku dengan lembut dan kurasakan tetes-tetes basah tersasa di ubun-ubunku.
“Ibu kenapa?” tanyaku entah yang keberapa kali.
“Nduk, ibu minta kamu jangan pulang sore hari ini, pulanglah siang saja?”
“Bu?”
“Dengarkan ibu Nduk, sekali ini saja ibu minta, jangan pulang sore, jangan main sama laki-laki itu lagi, jangan Nduk, jangan, kamu pulang saja.”
“Memangnya kenapa Bu? Ibu nggak suka sama dia?”
Ibu diam, namun sorot matanya yang kutangkap sudah menjawab semuanya.
“Kenapa Bu?”
“Perasaan ibu Nduk, perasaan ibu tak mengikhlaskan kamu bersama dia.”
“Kalau begitu ubahlah Bu, aku sayang sama dia Bu, dia orangnya baik dan dia juga sayang sama aku.”
“Kamu masih muda Nduk, belum bisa membedakan mana cinta dan mana nafsu, kamu hanya terjebak dengan nafsu saja Nduk.”
“Ini cinta Bu, ibu yang tidak mengerti aku,”
“Nduk, ibu punya intuisi seorang Ibu.”
Aku menggeleng tak mau. Ibu menarik tanganku yang mendingin karena ucapannya. Dia remas tanganku yang keras membeku.
“Ibu tak pernah minta apa-apa darimu Nduk, tidak kerudung yang selalu kau belikan, tidak tas, tidak baju, dan tidak sandal, ibu hanya minta kamu turuti perkataan ibu kali ini saja.”
“Ibu, aku sudah besar sekarang, yang aku tahu aku mencintainya dan akan tetap begitu.”
“Lepas saja Nduk, lepas saja dia. Akan ibu carikan laki-laki yang lebih baik dari dia untukmu.”
“Tidak Bu, dia sudah menjadi pilihan hatiku. Dan apapun yang ibu katakan, permintaan ibu, aku tidak bisa memenuhinya.”
Aku melenggang pergi meninggalkan ibu yang terduduk pasrah dengan banjir matanya membasahi lantai.
“Maafkan aku ibu, rasa cinta yang ada di hatiku lebih besar dari yang ibu tahu.”
Kutepiskan ucapan ibu pagi itu. Kutantang semua perkataannya. Berdua dengannya aku pergi ke tempat pertama kali kami memulai janji suci. Kami nikmati lagi sebaris senja jingga di hangatnya sang surya. Hari ini tak ada lagi angsa-angsa yang mengganggu, karena telaga mulai mengering. Hanya kamilah yang ada di sana, melukis cinta di langit yang memainkan warna.
Di sandaran bahunya kunikmati langit yang habis di makan malam hingga tersisa hanya gelap dan yang kurasakan hanya pundaknya yang hangat saja.
Terlambat, semua terlambat, seharusnya aku tak membiarkan malam itu menelanku. Terlambat, ibu berlari menghampiriku dari jauh. Aku mendengar suaranya namun gelap mengambil penglihatanku. Aku dengar raung tangis ibuku namun aku sama sekali tak bisa memastikan dia sedang berada di mana.
Berhari-hari aku mencari suara ibu, aku ingin lari kepelukannya, aku ingin mengatakan padanya bahwa aku membenci kegelapan. Akhirnya aku menemukan ibu setelah tenggorakanku kering memanggilnya. Aku menemukan ibu yang sibuk menggegami tanganku. Tubuhnya masih di balut mukena seperti saat kami terakhir kali sholat bersama. Namun aku berbeda, aku bukanlah aku yang sama-sama duduk bersama ibu yang menangis. Kini aku mendapati diriku terbaring di atas ranjang dengan banyak perban.
Kutatap sekujur tubuhku dan bertanya kenapa aku berada di sana. Kuperiksa setiap jengkal tubuhku memastikan bahwa semua baik-baik saja. Ibu tak mengatakan apapun melihatku yang kebingungan memandangi sekujur tubuhku.
Aku memeriksa, memeriksa dan memeriksa dan mendapati bahwa ada sesuatu yang hilang.
“Kaki, kakiku mana Bu? Bu, kakiku mana?” tanyaku histeris. Ibu menggeleng hanya air matanya yang meluap tanpa henti bertemu dengan air mataku sendiri.
Hari itu semua telah lenyap, semua yang aku kumpulkan semenjak aku melepas baju abu-abuku, semua yang kusiram dengan peluh keringatku, yang dipupuki ibu dengan doa-doanya telah sirna tanpa bekas, menyisakan kebekuan dan kedinginan. Hari itu telah merenggut semua dariku. Tak kusangka musim semi yang aku rajut dengannya dia bekukan tanpa melewati musim gugur. Tak diberinya aku waktu untuk melawan.
“Nduk, ayo makan dulu,” suara ibu seperti suara cemeti yang menghujani sekujur tubuhku. Pedih, perih, inilah siksa dunia yang nyata. Kenapa kau tak cabut napasku saja Tuhan?
Tangannya yang semakin renta mengulurkan sesendok nasi untukku. Aku tak bergeming masih memandang langit yang ditutupi awan.
“Ayo, makanlah sedikit saja ya,” bujuknya. “Sedikit saja, Nduk,” dengan sabar dia membujukku hingga mulutku mau membuka.
Maafkan aku ibu, kata itu selalu memenuhi hatiku, mengalir bersama suapan ibu dan leleh tangis yang akan membanjir sebentar lagi. Kaulah wanita 5 musimku ibu, kaulah yang pantas dengan gelar itu ibu. Senyummu di setiap musim tak akan padam, walau keras rintangan menghadang semua harapan.
“Kamu juga harus jadi wanita 5 musim juga anakku, bangkitlah hadang setiap musim yang menghampirimu.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar