Wanita 5 musim. Akukah?
Ingin aku mengatakan pada dunia bahwa akulah wanita 5 musim. Akulah wanita yang
dapat melewati segala rintang, di ganasnya musim panas, di bekunya musim
dingin, di hilangnya harapan musim gugur. Akulah wanita yang dapat tersenyum
ketika musim semi datang, walau tahu musim kemarau yang kering detik demi detik
akan mendekati.
Akulah wanita 5 musim,
yang walaupun terhina oleh cinta masih kokoh berdiri seperti menara Eifel yang
tak jemu menebar indah di kotanya. Akulah wanita 5 musim, tidur dengan beban,
bangun dengan kemalangan. Akulah wanita 5 musim.
Aku menarik nafas
dalam-dalam. Terduduk di kursi tua seperti biasa. Menatap langit cerah yang
memainkan awan ke sana kemari. Kutatap kenari yang hinggap di pagar kayu
rumahku yang nyaman. Sendirian aku terduduk, menikmati hari mati seperti hantu.
Kutarik napasku sekali
lagi. Ku yakinkan diriku bahwa aku belum mati dan jadi hantu. Ku hembuskan
napasku pelan dan awan putih berdebu menyemburat dari mulutku. Menguap dan tersapu oleh angin yang tak jemu
mendatangiku. Membantuku untuk tetap bisa bertahan.
Namun, buat apa angin
membantuku bertahan? Aku tak lebih hanya seonggok besi tua berkarat yang tak
berguna. Aku tak lebih hanya benalu yang akan selalu menghisap harap dari
inangnya.
Sepuluh tahun yang
lalu, aku bersama dia di pinggiran telaga, menatap sepasang angsa yang sedang
bercinta di payungi langit senja. Aku dan dia waktu itu malu-malu memadu janji,
mengikat hati dengan seutas cincin main-main yang dia buat ketika kami mulai
duduk berdua di sana.
Dia bisikkan aku
kata-kata madu seorang pria pada seorang wanita. Dia katakan padaku bahwa dia
akan membahagiakan aku apapun yang terjadi. Apapun yang aku minta akan
diturutinya. Kami akan hidup di rumah mungil yang dia bangun dengan segenap
jiwa. Kami akan merawat anak kami yang lucu-lucu bersama ibuku yang mulai
menyenja.
Aku mengingat jelas
janji yang dia ucapkan padaku. Aku ingat betul dan mencatatnya jauh di dalam
hati.
“Aku mencintaimu,” bisiknya
menutup senja yang tertidur penuh tanda tanya.
“Aku juga mencintaimu,”
balasku tanpa prasangka.
Bersamanya musimku
selalu musim semi. Tampak bunga dari penjuru dunia menghias setiap langkah
kakiku. Tak peduli orang mengatakan ini kemarau. Tak peduli kami harus
mengangkut ber tong-tong air dari kali beratus-ratus meter dari rumah, ini
tetaplah musim semi.
Tak peduli daun jati
dan mahoni menaburi sekujur badan rumahku, ini tetaplah musim semi dan bunga
semakin mekar di mataku. Di jemputnya aku di depan kantor dengan sunggingan
senyum. Di belakang punggungnya dia menyembunyikan sesuatu. Dan aku tahu pasti
apa yang di bawanya.
“Taraaaaaaa!” serunya
riang sambil mengacungkan dua buah es krim ke wajahku. Aku tersenyum melihatnya
dan meraih salah satu es krim di tangannya. Dia mengelak dan berlari
meninggalkanku. Aku akan mengejarnya, berlari hingga kami sampai di depan halte
yang kadang ramai kadang sepi. Di situlah kami akan mencuri waktu dari mentari
yang tersenyum iri sendirian. Kami akan makan es krim dan bercengkerama hingga
bus terakhir yang akan mengantarkan kami memanggil-manggil.
Dia langsung
mengulurkan tangannya yang halus padaku yang langsung aku raih. Dan kami akan
naik bus itu berdua, mencari tempat duduk paling belakang. Kami biarkan Pak
sopir mengintip kami dari kaca kecil di atasnya. Namun kami tak peduli dan
cekikikan lebih keras lagi.
Seperti sore-sore yang
lalu dia akan melepaskan gengamanku di ambang pagar rumahku.
“Ayo mampir dulu!”
ajakku.
Dia hanya menggeleng
dan mengecup keningku sebelum dia pergi menyisakan samar-samar bayang hitam di
malam yang menyelesup datang.
“Baru pulang Nduk?”
tanya ibu sesampainya aku di pintu. Aku menciumnya di pipi ceria sebelum
mejawab, “iya bu, tadi di kantor banyak kerjaan.”
“Lain kali jangan
pulang terlalu sore,” katanya. Matanya tak lepas memandangi bayangan yang
tertinggal dari pria itu.
“Kenapa Bu?”
“Ibu tak suka saja,”
jawabnya dan dia langsung masuk ke dalam rumah.
Aku merasa ada yang
aneh dari cara ibu menjelaskan dan menjawab. Aku merasakan ada rahasia yang
sengaja ingin ibu tutupi dariku. Tapi apa? Apa yang ibu sembunyikan dariku?
Malam itu ibu tak
bersikap seperti biasanya. Kami makan malam lebih banyak dalam diam. Dan ibu
yang biasanya menggandrungi serial drama Tukang Bubur Naik Haji, malam ini
tidur lebih cepat.
“Ibu kenapa? Sakit?”
tanyaku khawatir. Namun ibu hanya menjawab bahwa dia sedang lelah dan ingin
tidur lebih awal. Dia berpesan padaku agar bangun pagi dan sholat berjamaah
dengannya esok pagi.
Aku hanya mengangguk, menanggapi permintaan ibu
yang agak aneh. Sebelumnya ibu tak pernah mengajakku untuk sholat bersama.
Namun malam ini..... ibu terlihat begitu aneh.
Pagi seperti yang
beliau minta aku bangun dan mengikuti ibu yang sudah memakai mukena.
Tergopoh-gopoh aku menyusul ibu yang sudah mulai duduk di tempat sholat.
Setelah aku siap, ibu
mengimamiku untuk sholat. Ibu juga berdoa lama sekali. Di belakangnya aku
mengamini doa yang dia bacakan. Ada serak yang aku dengar setiap kali ibu membacakan
ayat-ayat doanya. Aku bertanya dalam hati, “kenapa ibu menangis?”
Aku menyalaminya
setelah itu. Dia membelai kepalaku dengan lembut dan kurasakan tetes-tetes
basah tersasa di ubun-ubunku.
“Ibu kenapa?” tanyaku
entah yang keberapa kali.
“Nduk, ibu minta kamu
jangan pulang sore hari ini, pulanglah siang saja?”
“Bu?”
“Dengarkan ibu Nduk,
sekali ini saja ibu minta, jangan pulang sore, jangan main sama laki-laki itu
lagi, jangan Nduk, jangan, kamu pulang saja.”
“Memangnya kenapa Bu?
Ibu nggak suka sama dia?”
Ibu diam, namun sorot
matanya yang kutangkap sudah menjawab semuanya.
“Kenapa Bu?”
“Perasaan ibu Nduk,
perasaan ibu tak mengikhlaskan kamu bersama dia.”
“Kalau begitu ubahlah
Bu, aku sayang sama dia Bu, dia orangnya baik dan dia juga sayang sama aku.”
“Kamu masih muda Nduk,
belum bisa membedakan mana cinta dan mana nafsu, kamu hanya terjebak dengan
nafsu saja Nduk.”
“Ini cinta Bu, ibu yang
tidak mengerti aku,”
“Nduk, ibu punya
intuisi seorang Ibu.”
Aku menggeleng tak mau.
Ibu menarik tanganku yang mendingin karena ucapannya. Dia remas tanganku yang
keras membeku.
“Ibu tak pernah minta
apa-apa darimu Nduk, tidak kerudung yang selalu kau belikan, tidak tas, tidak
baju, dan tidak sandal, ibu hanya minta kamu turuti perkataan ibu kali ini saja.”
“Ibu, aku sudah besar
sekarang, yang aku tahu aku mencintainya dan akan tetap begitu.”
“Lepas saja Nduk, lepas
saja dia. Akan ibu carikan laki-laki yang lebih baik dari dia untukmu.”
“Tidak Bu, dia sudah
menjadi pilihan hatiku. Dan apapun yang ibu katakan, permintaan ibu, aku tidak
bisa memenuhinya.”
Aku melenggang pergi
meninggalkan ibu yang terduduk pasrah dengan banjir matanya membasahi lantai.
“Maafkan aku ibu, rasa
cinta yang ada di hatiku lebih besar dari yang ibu tahu.”
Kutepiskan ucapan ibu
pagi itu. Kutantang semua perkataannya. Berdua dengannya aku pergi ke tempat
pertama kali kami memulai janji suci. Kami nikmati lagi sebaris senja jingga di
hangatnya sang surya. Hari ini tak ada lagi angsa-angsa yang mengganggu, karena
telaga mulai mengering. Hanya kamilah yang ada di sana, melukis cinta di langit
yang memainkan warna.
Di sandaran bahunya
kunikmati langit yang habis di makan malam hingga tersisa hanya gelap dan yang
kurasakan hanya pundaknya yang hangat saja.
Terlambat, semua
terlambat, seharusnya aku tak membiarkan malam itu menelanku. Terlambat, ibu
berlari menghampiriku dari jauh. Aku mendengar suaranya namun gelap mengambil
penglihatanku. Aku dengar raung tangis ibuku namun aku sama sekali tak bisa
memastikan dia sedang berada di mana.
Berhari-hari aku
mencari suara ibu, aku ingin lari kepelukannya, aku ingin mengatakan padanya
bahwa aku membenci kegelapan. Akhirnya aku menemukan ibu setelah tenggorakanku
kering memanggilnya. Aku menemukan ibu yang sibuk menggegami tanganku. Tubuhnya
masih di balut mukena seperti saat kami terakhir kali sholat bersama. Namun aku
berbeda, aku bukanlah aku yang sama-sama duduk bersama ibu yang menangis. Kini
aku mendapati diriku terbaring di atas ranjang dengan banyak perban.
Kutatap sekujur tubuhku
dan bertanya kenapa aku berada di sana. Kuperiksa setiap jengkal tubuhku
memastikan bahwa semua baik-baik saja. Ibu tak mengatakan apapun melihatku yang
kebingungan memandangi sekujur tubuhku.
Aku memeriksa,
memeriksa dan memeriksa dan mendapati bahwa ada sesuatu yang hilang.
“Kaki, kakiku mana Bu?
Bu, kakiku mana?” tanyaku histeris. Ibu menggeleng hanya air matanya yang
meluap tanpa henti bertemu dengan air mataku sendiri.
Hari itu semua telah
lenyap, semua yang aku kumpulkan semenjak aku melepas baju abu-abuku, semua
yang kusiram dengan peluh keringatku, yang dipupuki ibu dengan doa-doanya telah
sirna tanpa bekas, menyisakan kebekuan dan kedinginan. Hari itu telah merenggut
semua dariku. Tak kusangka musim semi yang aku rajut dengannya dia bekukan
tanpa melewati musim gugur. Tak diberinya aku waktu untuk melawan.
“Nduk, ayo makan dulu,”
suara ibu seperti suara cemeti yang menghujani sekujur tubuhku. Pedih, perih,
inilah siksa dunia yang nyata. Kenapa kau tak cabut napasku saja Tuhan?
Tangannya yang semakin
renta mengulurkan sesendok nasi untukku. Aku tak bergeming masih memandang
langit yang ditutupi awan.
“Ayo, makanlah sedikit
saja ya,” bujuknya. “Sedikit saja, Nduk,” dengan sabar dia membujukku hingga
mulutku mau membuka.
Maafkan aku ibu, kata
itu selalu memenuhi hatiku, mengalir bersama suapan ibu dan leleh tangis yang
akan membanjir sebentar lagi. Kaulah wanita 5 musimku ibu, kaulah yang pantas
dengan gelar itu ibu. Senyummu di setiap musim tak akan padam, walau keras
rintangan menghadang semua harapan.
“Kamu juga harus jadi
wanita 5 musim juga anakku, bangkitlah hadang setiap musim yang menghampirimu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar